Astara dan Buku Catatan Pendahulu

Swaradtri
Chapter #11

BAB 11 : NYALI YANG TERUJI

Saat ini mereka berempat harus melewati labirin hutan yang sangat rumit, salah memilih jalan maka mereka bisa saja terjebak di sana selamanya. Pepohonan dan semak belukar membentuk dinding tinggi yang seolah tak berujung. Jalanan sempit dan berkelok, menciptakan rasa cemas di hati mereka. Setiap beberapa langkah, Karuru berhenti untuk memastikan arah yang mereka lewati benar, memperhatikan dengan seksama petunjuk yang ada.

Astara mencoba menginterupsi, “Apa ada cara untuk menavigasi labirin ini?”

“Tidak ada!” jawab Karuru. “Aku sudah pernah melewati labirin ini sekali. Kita harus mengikuti tanda-tanda tertentu yang dibuat oleh alam, tetapi tanda-tanda itu bisa berubah setiap waktu.”

Tiba-tiba, dari balik semak, terdengar suara langkah kaki yang cepat. “Ada yang mendekat,” bisik Raen.

Mereka semua merapat, bersembunyi di balik dinding semak yang lebat. Dari balik dedaunan, muncul sekelompok suku kanibal dengan tubuh yang dipenuhi tulang belulang sambil menggenggam senjata. Mereka tampak sedang berburu, pandangan mereka tajam.

Astara merasakan jantungnya berdetak cepat. "Apa yang harus kita lakukan?" tanyanya pada Karuru dengan berbisik.

“Diamlah suaramu bisa saja menarik perhatian mereka!” ujar Karuru dengan setengah berbisik. “tetap tenang dan jangan membuat suara apapun.”

Dengan pandangan yang tajam dan senjata yang sudah siap di tangan, rombongan itu bergerak perlahan-lahan melewati semak belukar tempat mereka bersembunyi. Suku kanibal itu saling berkomunikasi dengan bahasa yang sama sekali tidak dimengerti Karuru dan yang lainya, seperti mengisyaratkan sesuatu yang berbahaya dan setelahnya rombongan itu pergi menjauh. Melihat situasi yang mulai kondusif Karuru dan yang lainnya mulai keluar dari tempat persembunyian mereka dan melanjutkan perjalanan, Karuru berpesan kepada yang lainnya kalau saja mereka melihat sesuatu yang tidak biasa, maka segera informasikan, karena bisa saja itu adalah petunjuk untuk menuju jalan keluar.

“Sebetulnya petunjuk seperti apa yang harus kita cari?” tanya Raen.

Karuru menunduk dan berpikir, “Aku juga tidak begitu yakin tentang bentuk, warna atau apapun itu, namun yang pasti petunjuk itu pastilah sesuatu hal yang tidak lazim”

“Heem… Contohnya!?”

“Arrrg… Itu bisa apa saja, bisa saja ranting yang berbentuk tak lazim, daun yang memiliki warna yang berbeda dari yang lainnya, atau bisa apapun…” jelas Karuru.

“Atau semut raksasa yang sedang berbaris ini?” celetuk Astara.

“Aaah… Bisa saja seperti itu juga! tunggu, apa kamu sedang melihat semut yang sedang berbaris?” kesadaran Karuru tersentak.

“Yaah… Itu! semut besar yang sedang berbaris sepertinya sedang menuju ke suatu tempat.” jelas Astara.

“Yaah… Kamu benar, mungkin ini adalah petunjuk yang dimaksud oleh Karuru, mari teman-teman kita ikuti semut-semut ini.” seru Kurila kepada yang lainnya disertai anggukan setuju dari Karuru.

Semut hitam dengan ukuran yang sangat besar, seukuran ibu jari orang dewasa itu terlihat berbaris dengan rapi menuju ke suatu arah. Mereka berempat mengikuti kemana semut-semut itu pergi, semakin jauh mereka mengikuti semut-semut itu cahaya matahari mulai terlihat dari balik dedaunan yang rimbun.

“Lihatlah cahaya matahari mulai terlihat lagi, itu tandanya kita berjalan ke arah yang benar.” ucap Karuru.

Setelah berjam-jam menyusuri jalan berkelok di dalam hutan yang misterius itu, Karuru, Astara, Raen, dan Kurila akhirnya melihat cahaya samar di depan mereka. Dengan nafas yang tertahan, mereka sedikit berlari, menembus batas terakhir dari labirin hutan yang penuh dengan kekuatan magis. Setiap pohon di dalam labirin itu tampak hidup, seolah-olah memiliki keinginan sendiri untuk membuat mereka tersesat. Namun, berkat semut-semut itu akhirnya mereka berhasil keluar.

“Phew… Kita berhasil!” seru Raen dengan lega, duduk di tanah berlumut sambil menghapus keringat di dahinya.

Astara memandang sekeliling, merasakan angin lembut yang membawa aroma segar dari luar labirin. “Ini seperti keajaiban. Aku hampir tidak percaya, tempat itu begitu mengerikan.”

Kurila tersenyum, menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon besar. “Semua berkat Karuru.” katanya sambil memberi isyarat hormat kepada pemandu mereka yang berbulu hitam-putih itu.

Karuru hanya mengangguk, “Itu karena kerja sama tim yang baik, kalau saja Astara tidak menyadari semut-semut itu mungkin kita masih berada di labirin saat ini.” tampak sedikit lelah namun tetap penuh semangat. “Tidak ada waktu untuk beristirahat terlalu lama. Perjalanan kita masih panjang, dan di depan itu masih ada Hutan Kegelapan. Tempat itu penuh dengan makhluk buas. Kita harus tetap waspada.”

Dengan dorongan semangat dari Karuru, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Di depan mereka terbentang Hutan Kegelapan, tempat di mana sinar matahari benar-benar tidak bisa menembus pepohonan yang lebat dan menjulang tinggi. Nama "Hutan Kegelapan" bukan sekedar julukan, hutan itu benar-benar gelap, seolah-olah matahari enggan untuk menyinarinya.

Saat mereka memasuki hutan itu lebih dalam, suasana langsung berubah. Udara menjadi lebih dingin dan kegelapan yang tercipta dari balik pepohonan yang tinggi membuat pemandangan semakin suram. Suara gemerisik dedaunan di atas kepala menambah suasana misterius dan sedikit menakutkan.

“Ini benar-benar seperti dalam dongeng-dongeng lama.” bisik Astara sambil menggenggam erat tongkatnya. “Aku seperti bisa merasakan banyak mata yang mengawasi kita dari balik kegelapan ini.”

Raen mengangguk, tatapannya tajam terasa hingga menusuk tulang. “Kita harus berhati-hati. Tidak ada yang tahu apa yang bersembunyi di balik kegelapan ini.”

Mereka melangkah perlahan, menghindari ranting dan akar pohon yang bisa membuat mereka tersandung. Setiap suara aneh yang terdengar membuat jantung mereka berdetak lebih cepat. Di kejauhan, suara lolongan serigala terdengar, membuat bulu kuduk mereka menegang. Suasana semakin mencekam saat hewan-hewan melata berseliweran, hutan ini tampak seperti dunia lain, dengan pohon-pohon yang tingginya menjulang hingga hampir menyentuh langit, meninggalkan lantai hutan dalam kegelapan yang abadi. Raen dan yang lainnya menyalakan obor kecil untuk memberi sedikit cahaya, namun sinar obor itu tampak rapuh di tengah kegelapan yang pekat.

Astara mengangkat kepalanya, mengamati bayangan gelap yang bergerak di antara ranting pohon. "Ada sesuatu di atas kita." bisiknya dengan cemas, terdengar suara gemerisik aneh di atas pepohonan.

Kurila menegang, merasakan kehadiran makhluk buas yang mengintai mereka. "Aku tidak suka dengan suara-suara itu! karena itu adalah suara dari hewan yang kelaparan." ujarnya sambil mengarahkan obornya kearah semak-semak.

Karuru menghentikan langkahnya, telinganya yang berbulu halus bergerak gerak menangkap suara gemerisik di sekitar mereka "Waspada! Ada sesuatu yang mendekat dari berbagai arah. Lariii!"

Mereka berlari untuk menyelamatkan diri, tetapi suara gemerisik itu semakin terdengar jelas. Dari kegelapan, muncul segerombolan burung raksasa, tubuhnya lebih tinggi dan lebih besar dari Kurila, kakinya besar dan juga kokoh, memiliki cakar berwarna hitam yang tajam untuk mencengkram mangsanya. Sayapnya yang kecil sepertinya memang tidak digunakan untuk terbang sedangkan bagian yang paling mengerikan adalah paruhnya yang membengkok ke bawah berukuran sepertiga dari tubuhnya, bulu hitam dan abu-abu pekat menutupi tubuhnya yang gempal. Burung buas itu bersuara mengerikan seolah memberitahu kawanan yang lainnya bahwa dia menemukan mangsa.

"Lari sekencang kencangnya!" teriak Karuru, mendorong mereka semua untuk bergerak lebih cepat.

Lihat selengkapnya