“Perdamaian seperti apa yang kita harapkan? bahkan sebuah kemenangan pun tak dapat membayar kepedihan dari kemenangan itu sendiri.”
Astara terkejut dengan apa yang baru saja dia dengar, bagaimana tidak. Ternyata Karuru & Mace Papeda mengenal Kakeknya.
“Haah… bagaimana mungkin kalian berdua bisa mengenal kakek ku?” tanya Astara terkejut.
Mace Papeda tidak dapat menyembunyikan wajahnya yang emosional. “Tentu saja aku mengenalnya, Dia adalah seorang penjelajah yang berani dan juga baik hati!” ucapnya sambil melihat Astara.
Mace Papeda melanjutkan, “Dia adalah salah satu dari sedikit orang luar yang berhasil menjelajahi Gunung Jaya ini dan dia pernah tinggal bersama kami di lembah ini, dia mengajari kami berbagai macam pengetahuan, teknologi, ilmu bercocok tanam dan juga beternak. Dia juga memberitahu kami banyak hal tentang dunia luar dan banyak hal lainnya.”
Tiba-tiba wajah Astara termenung. “Aku selalu mendengar cerita tentang kakekku dari orang lain, tapi aku sendiri tidak pernah bertemu dengannya.” celetuk Astara.
Mace Papeda tersenyum lembut, mendengar ucapan itu sambil mengelus kepala Astara. “Kejadian itu sudah puluhan tahun yang lalu, dan saat ini kamu berada di tempat yang sama saat kakekmu untuk pertama kalinya datang kesini. Bukan kah itu takdir yang sangat luar biasa!? Kejadian yang tak pernah aku bayangkan akan terulang kembali.”
Kakek Sinole, yang berdiri di depan lemari besar, mengambil sebuah gulungan tua yang terbuat dari daun yang telah dikeringkan, warna dan juga kerutan dari daun itu menandakan usia yang tidak sebentar, dia membaca isi dari gulungan itu yang dikatakan sebagai ramalan.
Mereka bertiga termenung mendengar yang baru saja diucapkan oleh Kakek Sinole, Merasa tidak percaya dan juga bertanya-tanya “Apa iya kami adalah sosok yang tertulis dalam ramalan itu?”
Lagi-lagi Astara menjelaskan apa yang membawanya hingga sejauh ini “Maaf kan aku Kakek Sinole, bukan maksud hati ingin mengecewakan kalian, namun kedatangan kami kemari hanyalah mencari ramuan kuansu demi menyembuhkan ibuku dari sihir jahat.”
“Baiklah kami paham dengan apa yang kamu jelaskan, namun…” belum selesai Mace Papeda menjelaskan apa yang ada di benaknya, seorang penduduk berlari kedalam ruang aula dan berteriak “Desa sedang di serang!”
Suara teriakan terdengar dari luar ruangan yang membuat suasana di dalam aula mendadak berubah genting. “Raen lihat pedang mu, benda itu bercahaya lagi.” ucap Astara.
Raen tertegung melihat pedangnya bercahaya biru, yang menandakan bahwa makhluk itu berada di dekat mereka “Datang juga kau makhluk jahanam!” ucapnya dengan marah.
Raen langsung berlari menuju pintu keluar disusul Karuru dan juga Kurila, kondisi di luar sudah sangat berantakan, beberapa rumah hancur dan atap-atap rumah terbakar, teriakan ketakutan menggema dari berbagai arah, penduduk berlarian mencari perlindungan dan juga pertolongan. Beberapa prajurit sudah bertarung dan tidak sedikit dari mereka yang terluka. “Awaaas!” teriak Karuru sambil menarik tubuh Raen yang hampir terkena panah api.
“Bala Tanduk Merah!” ucap Raen sambil menarik pedangnya, membalas serangan dari prajurit yang melesakkan panah ke arahnya.
“Aku kira kamu sudah menghabisi mereka saat di desa nelayan waktu itu?” tanya Kurila di sela-sela pertarungan.
“Ya, kami sudah mengalahkan Waraka dalam pertarungan itu, tapi kami tidak membunuhnya, tak kusangka mereka mengikuti sampai kesini.” jelas Raen.
Astara yang baru saja keluar dari ruang aula melihat pemandangan yang mengerikan di hadapannya, “Bukankah itu pasukan Bala Tanduk Merah? dan bagaimana mereka bisa sampai kesini?” tanyanya dalam hati.
Pertarungan terus berlangsung, pasukan Bala Tanduk Merah menyerang dengan bengis tanpa ampun, mereka menyerang penduduk yang tak bersenjata, anaka-anak dan wanita tanpa kecuali. Suasana tenang di Lembah Cendrawasih seketika berubah menjadi medan pertempuran. Jeritan dari penduduk bergema di setiap sudut pemukiman, mereka berempat berdiri dikelilingi api dan darah.
“Kita tidak bisa tinggal diam begitu saja!” ucap Raen sambil melompat menghunuskan pedangnya, menangkis serangan yang ditujukan kepada seorang anak kecil. “Tahukah kalian, bahwa yang kalian lakukan itu benar-benar biadab!” teriak gadis itu.
Karuru dengan busurnya, menembakkan anak panah bertubi-tubi, menghabisi musuh yang jumlahnya sangat banyak. Kurila dengan tangannya yang besar meremukkan tubuh pasukan Bala Tanduk Merah dengan sekali pukulan. ”Kita tidak bisa membiarkan mereka menghancurkan tempat ini.” teriaknya sambil menendang prajurit ke tanah.
Sementara itu, Waraka sang panglima, sedang berdiri di atas bukit sambil mengawasi pertempuran dengan senyum dingin. “Habisi mereka semua! Jangan biarkan siapapun lolos.” perintahnya dengan teriakan yang sangat keras dan penuh amarah.
Pertarungan jadi semakin sengit, pasukan Bala Tanduk Merah terus berdatangan dengan jumlah yang tak terhitung, ratusan anak panah mereka lancarkan dari udara, tombak menghunus tubuh-tubuh renta tak berdaya, suara pedang berdenting saling beradu, sungguh sangat kacau. Pertarungan terus berlanjut seperti tak ada habisnya, dengan keberanian yang luar biasa dari Raen, Kurila, Karuru dan juga para Yada, yaitu prajurit Suku Lembah Cendrawasih, terus menghalau semua serangan. ”Aku tidak melihat Astara, dimana anak itu?” ucap Raen di tengah pertempuran.
“Benar, dari tadi aku tidak melihatnya, dimana dia?” sahut Kurila menyadari salah satu temannya tidak ada disana.