Setelah persiapan yang singkat dan perpisahan yang penuh haru dengan Karuru dan seluruh penduduk Suku Lembah Cendrawasih. Astara, Raen dan Kurila dibimbing oleh Kakek Sinole, memulai langkah mereka menuju tujuan akhir yaitu tempat buah kuansu berada. Mereka menyusuri rimbunya hutan di malam hari menyusuri jalan setapak dari tanah yang berumput. Gunung Jaya yang menjulang tinggi itu terlihat megah dari kejauhan, puncaknya diselimuti salju lebat dan juga awan tebal.
Perjalanan mereka dimulai dengan menyusuri sebuah sungai yang berkelok-kelok, membelah hutan yang dipenuhi pepohonan tinggi nan lebat. Sungai itu tampak tenang di permukaan, tetapi arusnya cukup kuat. Kakek Sinole berada di depan, memimpin rombongan menuju gerbang timur. Mereka berjalan dengan hati-hati di sepanjang tepian sungai, memperhatikan setiap langkah yang mereka pijak agar tidak tergelincir. Cahaya bulan yang terselip di antara ranting pohon menciptakan bayangan-bayangan dedaunan di permukaan tanah yang mereka lalui.
Setelah berjam-jam berjalan, langkah mereka harus terhenti karena jembatan yang harus mereka lalui dalam kondisi rusak. “Kakek Sinole, apakah tidak ada jalan lain menuju gerbang timur?” tanya Astara.
“Sayang sekali, ini adalah jalan satu-satunya.” jawab Kakek Sinole singkat.
Arus sungai di bawah jembatan itu terlihat sangat deras, tentu sangat berbahaya jika mereka tidak berhati-hati, arusnya melebar dan berputar-putar, menciptakan pusaran-pusaran air kecil dan jeram yang berbahaya.
“Jika begitu maka tidak ada pilihan lain, kita harus melompati bebatuan untuk sampai ke seberang.” kata Kurila sambil menatap aliran sungai di hadapan mereka.
Astara mengangguk “Berhati-hatilah, arusnya sangat kuat bisa menyeret tubuh kita.”
Mereka mulai menyeberangi sungai. Airnya dingin menusuk tulang dan batu-batu licin membuat langkah mereka tidak stabil. Beberapa kali, arus hampir menyeret mereka, walau terasa sulit namun dengan kerja sama yang baik, akhirnya mereka berhasil menyeberangi sungai itu. Di tengah perjalanan, tiba-tiba Raen mendengar suara gemerisik aneh dari dalam rimbunan rumput yang tinggi. “Berhenti!” teriaknya dengan cepat. Mereka semua berhenti dan menajamkan pendengaran.
Dari balik rumput yang tinggi, muncul sekelompok makhluk kecil, berwarna biru terang, tubuhnya menyerupai api yang melayang. “Tenanglah mereka adalah Gnih, makhluk api yang tidak berbahaya.” ucap Kakek Sinole.
“Oohh… Sepertinya tidak ada yang harus kita khawatirkan!”
Mereka melanjutkan perjalanan di tengah malam yang dingin, setelah mencapai kaki gunung jaya, mereka berempat mulai menyusuri jalur yang lebih sulit. Hutan di sekitar mereka menjadi semakin lebat, dan jalan yang mereka lalui semakin terjal dengan bebatuan yang licin dan tajam. Di antara pepohonan besar dan semak-semak yang lebat, mereka melangkah hati-hati, menjaga agar tidak terpeleset atau terjatuh.
“Ini lebih sulit daripada yang aku bayangkan,” gumam Raen sambil menarik napas dalam-dalam, berusaha menstabilkan langkahnya di antara bebatuan yang bergelombang. “Medannya benar-benar berat.” imbuhnya.
Astara mengangguk setuju, namun matanya tetap fokus pada jalur yang dia lalui. Setelah beberapa waktu mendaki, mereka seperti mendengar suara napas yang menderu, napas itu terdengar dalam dan berat, seperti bunyi dengkuran atau semacamnya. Mereka terus mendaki karena menganggap itu hanyalah suara yang dihasilkan dari hembusan angin di atas gunung. Saat Kakek Sinole yang berada di paling depan, lebih dulu mencapai atas bukit yang dikelilingi oleh tebing batu tinggi. Kakek itu segera melambatkan langkahnya dan memberi isyarat kepada yang lain untuk melakukan hal yang sama. “Pelankan langkah kaki kalian, jangan menimbulkan suara yang berisik atau bergerak secara tiba-tiba, aku sudah memperingatkan kalian!” bisiknya pelan.
Dalam penasaran yang tinggi mereka bertiga mengangguk mengerti dan berjalan perlahan mengikuti langkah Kakek Sinole dan begitu sampai di atas bukit, mereka baru mengerti apa yang diucapkan Kakek itu. Seekor naga raksasa sedang tertidur lelap di atas rerumputan, tubuhnya yang besar dan bersisik biru gelap menyelimuti sekujur tubuhnya. Sayapnya yang besar terlipat rapat di samping tubuhnya dan ekornya yang panjang melingkari tubuhnya. “Na.. Naga!!!” ucap Kurila terkejut, suaranya yang parau segera ditutup oleh Raen. “Ini luar biasa. Aku tidak pernah membayangkan bisa melihat naga dari jarak sedekat ini!”
Raen menatap naga itu dengan perasaan campur aduk antara ketakutan dan kekaguman. “Baru kali ini aku melihatnya, sungguh sangat luar biasa! Apalah daya kita semua jika saja naga ini bangun, kita pasti…”
“Sebaiknya kita segera pergi dari sini sebelum hal itu terjadi.” timpal Kakek Sinole buru-buru kepada mereka semua.
Astara menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang. “Kita tidak boleh membuat suara atau gerakan yang bisa membangunkannya, kita harus melewati tempat ini seolah kita tidak pernah ada.”
Mereka mulai berjalan dengan sangat hati-hati, mencoba menghindari benda-benda yang mungkin bisa membuat mereka tergelincir atau menimbulkan suara yang keras. Setiap langkah terasa seperti beban yang berat, setiap suara kecil yang timbul terasa seperti orkestra kematian. Karena mereka tahu bahwa sedikit saja kesalahan bisa membangunkan makhluk yang sangat kuat itu.
Namun, ketika mereka hampir melewati tempat itu, tanpa sengaja sebuah batu kerikil tersandung dan terlempar dari kaki Astara dan berguling ke arah ekor naga. Batu itu menabrak ekor naga dengan tenaga yang lemah, tetapi cukup untuk membuat naga itu bergerak sedikit dalam tidurnya.
Napas mereka tercekat seketika, saat melihat ekor naga itu bergerak perlahan, sebelum akhirnya diam kembali. Mereka menunggu sejenak, memastikan naga itu tetap tertidur, lalu melanjutkan perjalanan mereka dengan lebih hati-hati lagi. Saat mereka akhirnya berhasil melewati tempat itu dan mencapai jalan setapak yang lebih aman, mereka melepaskan napas lega. Astara menoleh ke belakang, melihat naga itu masih tertidur lelap tak beranjak sedikitpun.
“Kita berhasil, huuh… Hampir saja!” ucap Astara.
Tuung!!! Tuung!!! Tuung!!!
Suara pukulan telak di kepala Astara.
“Sialan, hampir saja kita pindah alam! apa kamu tidak bisa lebih berhati-hati!” ucap Raen kesal.
Kurila yang berada di antara mereka berusaha melerai kemelut yang sedang terjadi. Kakek Sinole yang melihat mereka bertiga hanya dapat tertawa saja. “Tempat ini penuh dengan kejutan, bukan!” sahutnya. “Itulah mengapa tempat ini selalu menyimpan misteri.”
Setelah kejadian konyol itu mereka melanjutkan perjalanan menuju Gerbang Timur. Bebatuan terjal masih menjadi tantangan utama, tetapi pertemuan dengan naga yang tertidur telah memberikan mereka pelajaran berharga, bahwa dalam setiap langkah yang mereka ambil, kehati-hatian adalah kunci untuk bertahan hidup di tempat yang penuh dengan bahaya.
Setelah berjam-jam mendaki Gunung Jaya, akhirnya mereka mencapai salah satu puncak di bagian perut gunung. Udara semakin tipis dan dingin, sementara angin bertiup kencang, membawa kabut tipis yang menyelimuti sekeliling mereka. Di depan mereka terbentang pemandangan yang mengagumkan, jajaran pegunungan tersebar sejauh mata memandang, ujungnya menjulang tinggi di sisi gunung jaya, tempat Gerbang Timur berada.
Namun, di puncak bukit yang mereka pijak memiliki kondisi geografis yang unik. Di antara mereka dan bukit itu, terdapat serangkaian bebatuan besar yang melayang di udara, seolah-olah tak terikat oleh gravitasi. Bebatuan itu bergerak perlahan, naik turun, dan berputar di atas jurang yang dalam, menciptakan jalur yang tampak mustahil untuk dilewati. Astara memandang bebatuan itu dengan wajah yang terpukau. “Ini… Luar biasa! Aku belum pernah melihat sesuatu seperti ini.”