Astara dan Buku Catatan Pendahulu

Swaradtri
Chapter #15

BAB 15 : AWALAN DAN AKHIRAN


     Pagi hari menyapa dengan sinar matahari yang perlahan menerangi desa yang damai. Di dalam sebuah gubuk yang beratap jerami dan berdinding kayu, Astara yang terbaring di atas ranjang mulai sadar, matanya berkedip menyesuaikan dengan cahaya yang masuk melalui celah-celah atapnya. Dia merasakan tubuhnya masih lemas, saat menoleh, ia melihat seorang pria tua duduk tepat di samping ranjangnya dengan senyum penuh kehangatan di wajahnya.


“Ahh… Dimana ini?” ucap Astara setelah terbangun dari pingsannya.


“Tenanglah, kamu sudah berada di Desa Lembah, kalian tak sadarkan diri saat setelah mengalahkan Waraka.” ucap Kakek Sinole dengan lembut. 


“Kakek Sinole… Bagaimana kami bisa sampai ke sini?" tanya Astara heran.


“Aku memanggil para Yada untuk menolong kalian.” pungkas Kakek Sinole singkat.


Setelah beberapa saat berlalu, tiba-tiba sebuah pertanyaan terpintas di benak Astara

“Waraka, Apakah dia benar-benar telah dikalahkan?”


Kakek Sinole menjawab dengan anggukan disertai senyuman. “Kalian sudah berjuang dengan berani, tak kusangka kamu adalah pengguna sihir yang hebat.” pungkasnya. “Mungkin suatu hari kamu bisa mengajari ku… Hahaha…” gelak tawa memenuhi gubuk itu.


Akkkkhhh…

Pekik Astara merasakan nyeri di tubuhnya saat mencoba bangun dari tempat tidurnya.

“Lalu dimana Raen dan juga Kurila? Apakah mereka baik-baik saja?” tanya nya lagi.


“Mereka sudah pulih, bahkan pulih lebih cepat daripada dugaan ku.” sambil melirikkan matanya ke arah pintu masuk tenda yang tertutup tirai.


Sebuah wajah yang tak asing dengan senyum yang bersahabat muncul dari arah itu, “Astara!! kamu sudah sadar?!” teriak Raen mencuri perhatiannya disusul senyum Kurila yang menyapanya dari belakang. “Hahaha… Kamu sudah sadar kawan.” Mereka berlari dan saling berpelukan dengan rasa syukur.


Mereka tertawa bahagia, sebuah rasa yang sangat lega memenuhi perasaan mereka, lega dan gembira menyadari semua teman-temannya dalam kondisi yang baik-baik saja. “Jadi apakah kita sudah bisa kembali ke Bhumiloka?” tanya Astara bersemangat.


“Jangan bercanda kamu, jangan sok kuat deeeh…” jawab Raen sambil menyentuh lengan Astara yang langsung dijawab dengan pekikan kesakitan. “Aduh… Akkh…”


“Lihat, baru saja juga aku sentuh, kamu sudah kesakitan hahahaha… Dasar anak lemah!” ledek Raen sambil tertawa.


“Hahahaha…” sahut Kurila sambil terpingkal.


Mereka bertiga saling bercanda satu sama lain hingga tanpa sadar Mace Papeda sudah berada di dalam tenda itu. Kurila yang menyadarinya lebih dulu langsung mengambil posisi menghadapnya dan menundukkan kepalanya, hal tersebut langsung disadari oleh Raen dan juga Astara yang sedang bercanda.


“Heem… Kalian sudah pulih rupanya!” sahut Mace Papeda.


“Betul Mace, mereka sudah sadar namun masih perlu beristirahat untuk memulihkan tenaga mereka.” jelas Kakek Sinole.


“Baguslah kalau begitu, dengan beristirahat yang cukup kalian akan cepat pulih.” jawab Mace Papeda dengan senyuman. Pemimpin Suku Lembah Cendrawasih itu mengeluarkan sebuah botol kecil yang terbuat dari kaca, dan memperlihatkan nya kepada Astara, dalam botol kaca itu terdapat sebuah cairan yang berwarna merah terang. “Ini adalah sari dari buah kuansu yang telah lahir kembali, pergunakanlah sebaik mungkin dan jaga baik-baik ramuan ini agar dapat berguna sesuai dengan apa yang diharapkan.” ucap Mace Papeda.


Astara yang semula berada di atas ranjang berusaha untuk bangkit dan berdiri, walau terasa sedikit nyeri di beberapa bagian tubuhnya namun dia menahannya sejenak. Bocah itu melepas kristal merah yang ada di lehernya dan mengembalikan benda tersebut kepada Mace Papeda. “Terima kasih Mace Papeda, terima kasih banyak!” tanpa sadar Astara memeluk tubuh Mace Papeda yang berada di hadapannya.


Sontak Raen dan juga Kurila terkejut dengan kejadian itu. Hanya raut wajah malu-malu yang tergambar di wajah mereka. Astara menerima botol yang berisi sari buah kuansu dengan perasaan yang gembira, dalam benaknya membayangkan semua kejadian yang pernah dilalui, setelah menempuh perjalanan yang begitu panjang dan juga menantang, akhirnya ramuan yang dicarinya berhasil dia dapatkan, saat ini ramuan itu sudah berada di tangannya.


“Jadi, apa rencana kalian selanjutnya?” tanya Mace Papeda singkat.


“Aku akan segera kembali ke Desa Sengguana untuk menyembuhkan ibu ku.” ucap Astara singkat.


Anggukan ramah dai Mace Papeda seolah merestui apa yang akan mereka lakukan. “Tinggallah selama yang kalian mau.” ucapnya seraya keluar dari tenda.


“Baiklah kalau begitu beristirahatlah anak manja! tinggallah selama yang kamu mau” ucapnya Raen mengulang apa yang disampaikan oleh Mace Papeda dengan nada yang mengejek.


Hal tersebut sontak membuat mereka bertiga tertawa terbahak-bahak. Selama pemulihan, mereka benar-benar menikmati waktu dengan berbaur bersama penduduk desa, Lembah Cendrawasih dipenuhi dengan keajaiban alam yang menenangkan. Udara segar, pepohonan hijau yang rindang dengan bunga-bunga eksotis yang bermekaran di setiap sudut desa menciptakan pemandangan yang memukau, Sungai-sungai kecil berkelok diantara rumah-rumah penduduk yang terbuat dari kayu dan batu.


Kurila membantu penduduk desa dengan mengumpulkan hasil panen, buah-buahan yang tumbuh subur di sekitar lembah dengan penuh semangat. Dia bekerja bersama para penduduk yang sedang bekerja di ladang, membantunya memulihkan tenaganya dengan kegiatan fisik yang sederhana. Sementara itu Raden sedang bergabung dengan para Yada yang sedang berlatih ringan mengasah kemampuan berpedangnya.


Astara, yang sudah bisa berjalan perlahan, sering kali duduk di bawah pohon besar dekat pintu masuk aula, memandangi pemandangan lembah yang memanjakan mata. Dari kejauhan, ia bisa melihat puncak Gunung Jaya yang menjulang tinggi. Hatinya dipenuhi dengan rasa syukur atas perlindungan dan perawatan yang mereka dapatkan di sini. Sambil menunggu tenaganya dan luka-lukanya pulih sepenuhnya.


Kakek Sinole, yang senantiasa ramah dan bijaksana, sering kali mendampingi mereka, menceritakan kisah-kisah kuno tentang Lembah Cendrawasih, tentang para leluhur dan makhluk-makhluk yang tinggal di sana. Setiap malam, desa dipenuhi dengan nyala lentera yang menggantung di sepanjang jalan, memberikan nuansa kehangatan. Suara seruling bambu yang dimainkan oleh para penduduk menambah kedamaian di malam hari.


"Sungguh indah dan damai di sini," kata Raen sambil duduk di sebelah Astara di pinggir sungai kecil. "Tempat seperti ini membuat kita lupa akan dunia luar."


"Ya," Astara menanggapi pelan. "Tak heran tempat ini juga dijuluki potongan surga yang jatuh ke bumi."


Kurila bergabung dengan teman-temannya, sambil membawa sekumpulan hasil dari ladang. "Makanlah buah ini, sambil menikmati ketenangan ini. Tempat ini benar-benar tempat yang penuh keajaiban, bukan?"

Lihat selengkapnya