Perkenalkan namaku Asti, singkatan dari Astuti, sudah lima tahun ini aku mondok di sebuah pesantren. Aku bangga jadi santri, aku tidak rela jika identitas santri diejek, dipandang remeh. Tapi entah kenapa ada yang aneh dalam diriku, bahwa sesungguhnya aku tidak benar-benar santri, bahkan aku tidak tahu sebenarnya santri itu apa, dan apa yang sedang dicari di tempat ini.
Bagiku, keadaanku di pesantren ini lebih penting, jika orang bertanya tentang di mana aku belajar. Aku akan bertanya lebih dulu pada orang itu, terlepas itu cewek apa cowok. "Punya FB?" "Ow iya, punya, nama FB kakak apa?" memang gadis secantik aku tidaklah sulit menggaet teman, aku tahu mereka juga butuh menaikkan followers, jika nanti foto denganku, apalagi di masa pandemi ini, banyak mata santri putra stalker di awang-awang media, dasar laki-laki buaya buntung. Pas butuh saja datang, kalau sudah ada yang lebih bening, alamat dah motong ekornya, terus ngilang.
Aku senang mereka menganggap aku teman, meski aku tahu pertemanan ini ada ulatnya. Selain yang cantik mereka juga nyari santri yang pintar, mudah saja bagiku untuk menyiasati ini, aku punya kitab tebal walau aku tidak tahu bagaimana cara membacanya, bahkan bagiku untuk tahu penulisnya hanya perlu diingat-ingat tatkala mau cawu, biasanya ustadzah selalu menanyakan itu di poin awal. Intinya dengan kitab tebal ini, aku tinggal ambil mukenah, buka kitab, terus minta ponakan untuk motret, jadi deh. Oh iya satu lagi, untuk caption aku punya kakek yang senantiasa menjawab semua yang aku butuh, tanpa pertimbangan baik buruk bagiku, hihihi... Semudah itu untuk menjadi alim, makasih Kakek Google. Toh pondokku memang terkenal besar mulai dari pagar sampai dalemannya, bahkan konon alumninya banyak yang jadi orang. Dan bagiku, aku sudah cukup jadi orang, hanya orang kan, hihihi...
Orang-orang tidak akan curiga hihihi. Dengan medsosku yang hit dan pondokku yang besar aku yakin suatu saat akan ada gus yang terdampar di medsos yang aku racik itu hihihi. Dan otomatis panggilanku akan naik kelas, jadi Ning. Dalam bayanganku gus itu sejenis manusia yang kaya, yang uangnya tidak akan habis tujuh turunan, tujuh tikungan, dan tujuh tanjakan. Sedangkan Ning adalah perempuan paling cantik yang ketika shopping tidak perlu lagi melihat bandrol harga, karena jelas gus idamanku tidak akan berat untuk membayar semua itu.
Suatu ketika di dalam mobil sedan hitam, gus bertanya padaku dengan matanya yang tajam beserta alisnya yang tebal. "Sayang, bagaimana cara mengetahui tempat kembalinya sebuah dhomir?" Ya Allah, apa itu dhomir, apakah dhomir itu sejenis nama ustad atau.... Waduh, aku jawab apa ini, aku harus tanya kakek. Tapi aku lupa belum beli paketan. "Bagaimana kamu pantas menjadi Ning, sedangkan marji' dari dhomir saja kamu tidak tahu, keluar dari mobilku!" "saya akan mutholaah gus, mohon beri saya waktu". Aku diturunkannya di tengah tol dalam gelap malam, dan ketika aku lihat di belakangku puluhan buaya buntung ngesot sambil ngiler padaku.