Aku lebih baik loncat dan mati di jurang itu dari pada harus menerima cinta buaya buntung yang sudah mulai mendekat. Jurang ini kutaksir punya kedalaman 13 meter, pasti ini bisa buat aku mati, aku tidak ingin mati pelan-pelan sebab mati semacam itu sangat menyakitkan. Kupegang besi di bibir jalan tol lalu aku mulai meloncat sambil memejamkan mata tanpa bimbang.
Sekian lama kutunggu dan ternyata diriku tak kunjung merasakan sakitnya kematian, apa ini? kubuka mataku pelan-pelan dan aku mendongak ke atas seorang laki-laki memegang kuat tanganku, tangan ini sangat kokoh dan penuh dengan otot.
“Bodoh, siapa kau? Aku ingin mati!”
“Mati itu bukan hak mu!” tanpa persetujuanku ditariknya tubuhku yang memang hanya memiliki berat 58kg. Laki-laki itu kembali ke motornya, “kalau mau ikut, biar nanti saya antar ke rumahmu karena ini sudah malam?”.
Entah apa yang dilakukan pria ini sehingga para buaya buntung itu terkapar tak sadarkan diri.
“Iya aku ikut!” Aku duduk menyamping, seperti layaknya para santriwati. Ya walaupun aku tak bisa mengaji.
“Santri ya?”
“Kog tahu!”