Michael menjawab dingin pertanyaan Astoria, suaranya nyaris tak berwarna. "Kau tak perlu tahu lebih dalam," katanya, menatap lurus ke depan. "Karena kau tak akan mengerti."
Mendengar jawaban itu, darah Astoria mendidih. Ia merasa diremehkan, seolah-olah semua perjuangannya, semua rasa sakitnya, tidak berarti apa-apa bagi pria ini.
Kemarahan dan kebencian membara di dadanya, ia berjalan cepat meninggalkan Michael di belakangnya, berusaha menjauh dari kehadiran yang membuatnya muak.
Namun, nasib seakan mempermainkannya. Dalam kemarahan dan langkah tergesa-gesanya, kakinya tiba-tiba menginjak bebatuan yang tidak rata. Rasa sakit menyengat menjalar dari pergelangan kakinya saat ia kehilangan keseimbangan. Astoria terhuyung, nyaris terjatuh ke tanah.
Dalam sekejap, Michael bergerak dengan kecepatan yang tak terduga. Tangannya yang kuat dan cekatan segera menangkap tubuh Astoria, menahannya agar tidak terjatuh. Mereka saling pandang, mata mereka bertemu dalam jarak yang sangat dekat.
Astoria menatap Mikhail dengan tatapan penuh kebencian, matanya menyala-nyala dengan kemarahan yang membara. 'Mengapa kau harus menyelamatkanku?' tanyanya dalam hati, penuh dengan rasa frustasi dan kebencian.
Sementara itu, Mikhail menatapnya tanpa emosi. Tatapannya dingin, nyaris seperti es, tidak menunjukkan perasaan apa pun.