Lucas lebih tenang saat terbangun entah untuk ke berapa kalinya. Dia mengabaikan pesan teman-temannya yang pasti sudah dia ketahui isinya, tapi dia masih ingin memastikan tanggal dan jam di ponselnya. Seperti yang sudah dia duga; 9 Agustus 2020, pukul sembilan pagi lebih dua belas menit. Lagi-lagi, dia terbangun di hari dan waktu yang sama. Lagi-lagi, harinya terulang karena dia gagal menjaga Clara.
Alasan dia mengajak Clara untuk menginap di rumahnya adalah supaya dia bisa terus memantau gadis itu. Dia juga ingin mencari tahu apakah Clara akan meninggal sebelum pukul setengah lima sore di mana kecelakaan di supermarket seharusnya terjadi. Sejauh ini, jawabannya adalah tidak. Sekarang, teka-teki terbesar adalah cara supaya Clara bisa selamat. Sungguh menyedihkan bahwa kamar mandi juga bukan tempat yang aman baginya.
Pundak Lucas terasa berat saat dia berjalan ke kamar mandi untuk mencuci mukanya. Hatinya gelisah saat dia pergi ke meja makan dan menemui Ethan dan ibu mereka yang masih melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Ingin rasanya dia bersembunyi di balik selimut dan sejenak melupakan segalanya, tapi dia tidak bisa segampang itu menyerah untuk menyelamatkan Clara. Dia masih percaya bahwa pasti ada alasan di balik semua ini.
“Kau belum tidur?” Pertanyaan ibunya sedikit membuatnya dongkol karena dia sudah bosan mendengarnya.
“Aku baru bangun,” jawabnya sebelum pergi ke dapur dan membuka kulkas. Rasanya baru saja dia makan roti lapis dan kentang goreng sampai kekenyangan, tapi tubuhnya tidak merekam kondisi terakhirnya. Dia begitu kelaparan, sama seperti pagi-pagi lainnya.
Dia baru ingat bahwa ada sisa tiramisu pemberian teman kantor ayahnya dari dua hari yang lalu. Ibunya tidak pernah mengomel jika keluarganya asal memakan sesuatu dari dalam kulkas, jadi dia menyajikan sepotong pencuci mulut tersebut di atas piring dan berjalan kembali ke meja makan. Sebelumnya, dia khawatir akan merasa bosan dengan makanan yang sama, tapi itu pemikiran yang bodoh. Ada ribuan jenis makanan yang bisa dicobanya. Lain kali, dia akan memesan dari setiap restoran di dekat rumah yang belum dicobanya.
“Kau kenapa?” tanya ibu Lucas sambil menggenggam tangan kanan Lucas yang duduk di sampingnya. “Apa kau sakit? Kenapa kau gemetaran?”
Lucas tiba-tiba mual karena mengingat tubuh membeku Clara yang tergeletak di kamar mandi. Wajah Clara yang tenang tapi sedikit membengkak dan membiru tidak bisa hilang begitu saja dari benaknya, begitu juga dengan darah yang bergenang di bawah truk yang menabrak orang-orang di seberang Focus Supermarket, dan Clara yang terjatuh di depan Marchal’s Pastry. Efek yang menimpanya tidak seperti melihat adegan serupa di layar kaca.
Dia tidak mampu menghabiskan tiramisu di hadapannya. Dia bahkan yakin akan muntah ketika meneguk segelas air putih. Tanpa menanggapi kekhawatiran ibunya, dia bangkit berdiri dan kembali ke kamarnya. Di dalam ruangan yang begitu dingin, dia terduduk di atas kasur sebelum terisak pelan meski kedua matanya hanya sedikit basah. Tidak biasanya dia menangis, tapi dia benar-benar frustrasi. Dia tidak siap melihat Clara mati lagi.
Bodoh baginya untuk lupa mengunci pintu kamarnya karena Ethan tiba-tiba masuk. Ethan tampak bingung, tapi dia masih memberanikan diri untuk bertanya, “Kau kenapa?”
Mau tidak mau, Lucas harus menimang-nimang kemungkinan Ethan untuk mengerti permasalahannya. Selayaknya banyak saudara dari berbagai belahan dunia lainnya, mereka bisa dikategorikan dekat, tapi tidak seterbuka itu. Mereka sering jalan-jalan berdua saja, tapi mereka tidak akan semudah itu menunjukkan gadis yang mereka sukai. Biasanya mereka hanya akan mendiskusikan sesuatu yang berhubungan dengan keluarga mereka.
Apa Ethan akan menganggapnya gila? Mereka tidak pernah membahas kepercayaan satu sama lain, tapi melihat dari gaya Ethan yang menganggap enteng banyak hal, dia tampaknya juga tidak memedulikan hal-hal berbau supernatural. Lucas bisa maklum jika Ethan hanya akan menertawakannya sampai hari berganti. Tidak ada salahnya juga dia bercerita karena dalam hitungan jam, Ethan akan lupa bahwa percakapan ini pernah terjadi.
Saat tidak kunjung mendapat balasan, Ethan duduk di kursi komputer Lucas dan memutarnya supaya mereka bisa saling berpandangan. “Aku tidak pernah melihatmu seperti ini. Pasti ada sesuatu. Apa kau terlilit utang dengan anggota mafia?”
Lucas menundukkan wajah untuk menutupi ekspresi kacaunya, tapi Ethan pasti sudah sadar itu. “Aku tidak tahu bagaimana menceritakannya,” katanya pelan.
“Kita punya banyak waktu.”
“Kita tidak punya banyak waktu,” Lucas menekankan. “Ethan, apa menurutmu tentang orang yang selalu terbangun di hari yang sama?”
Ethan mengerutkan dahinya. “Maksudmu?”