“Apa kau tahu bahwa ibu dan ayahku adalah sahabat sejak kecil?” Selang beberapa menit, Clara mendongak, memandang Lucas yang sudah lebih dulu mengangkat kepalanya. “Dulunya, mereka seperti kita. Apa ibu atau tanteku pernah menceritakannya padamu?”
Lucas menggelengkan kepalanya, tapi dia jadi mengerti alasan kenapa raut muka ibu Clara berubah melankolis saat mereka makan pizza. Lucas ingat jelas apa yang ibu Clara katakan; tidak semua orang bisa mempunyai sahabat, apalagi yang berlawanan jenis. Ketika dia berharap Lucas dan Clara bisa terus dekat selamanya, pasti dia mengingat kenangan manis dan pahit antaranya dan mantan suami.
Jika kembali ke awal, ibu Lucas dan ibu Clara sudah bersahabat sejak SMA. Merekalah alasan utama kenapa kedua keluarga ini bisa dekat sampai anak-anak mereka menginjak usia dua-puluh-tahunan. Lucas tidak pernah mendengar tentang orang tua Clara yang tumbuh bersama, tapi itu tidaklah asing. Kota mereka yang kecil memang membuat banyak orang saling mengenal satu sama lain sejak zaman kakek-nenek mereka.
Ayah Clara berbeda dari ayah-ayah yang lain. Dia jarang berbicara dan tidak pernah tersenyum ketika disapa. Hanya sesekali dia menghadiri acara sekolah atau undangan keluarga lainnya, dan dia tidak membaur. Hobinya adalah duduk jauh dari keramaian seorang diri dan merokok tanpa henti sampai pulang. Rumor berhembus tentang dirinya yang mengidap gangguan kecemasan sosial, tapi ibu Clara yang setia tertawa di sampingnya sanggup menutupi kekurangan itu.
Clara sering bercerita tentang kebaikan ayahnya. Ayahku memang tidak banyak bicara, tapi dia membelikanku kue saat aku mendapat nilai sempurna di ujian matematika. Kemarin, ayahku pulang kerja dan menemaniku bermain di taman sampai larut malam. Ibuku mengajariku cara menggoreng telur, tapi ternyata terlalu asin. Ayahku masih mau memakannya. Ayahku sangat sabar. Aku sangat menyayanginya.
Tapi saat Clara kelas dua SMP, ayahnya pergi dari rumah setelah bertengkar hebat dengan ibunya. Keesokan harinya, Clara membisu seharian di sekolah. Lucas yang kebetulan tidak sekelas dengannya waktu itu sampai harus mendengar kabar tersebut melalui para penggosip kantin. Pulangnya, Lucas bertanya pada Clara dan harus mendengar Clara yang mengeluh dan menangis tanpa henti karena merasa bahwa ayahnya tidak peduli dengannya.
Hanya ibu, ayah, dan tante Clara yang mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Saat sedikit lebih dewasa, Clara sempat bertanya lagi ke tantenya dan mendapatkan sebuah jawaban yang sederhana namun sangat menyakitkan; orang tuamu bertengkar karena ibumu sadar bahwa dia lebih mencintai ayahmu daripada ayahmu mencintainya. Bagi seseorang yang belum mengalami berbagai rasa cinta, Clara tidak paham apa maksudnya.
“Kenapa kau tiba-tiba mengungkit masalah orang tuamu?” tanya Lucas.
“Karena aku jadi berpikir... Apa mungkin kesalahan terbesarku adalah membenci ayahku?” Clara menyandarkan kepalanya di dada Lucas. “Beberapa orang menyuruhku untuk memaafkannya. Jujur saja, aku tidak tahu apa aku masih membencinya. Aku hampir tidak pernah memikirkannya lagi. Kapan dia pergi dari hidupku? Sepuluh tahun yang lalu? Aku pasti kaget kalau tidak sengaja berpapasan dengannya, tapi aku tidak akan mengatakan apa pun. Dia sudah bukan bagian dari hidupku.”
“Apa yang akan kau lakukan kalau dia meminta maaf?”
Clara terdiam sebentar sebelum mengangkat bahunya. “Aku tidak tahu. Aku tidak pernah memikirkan sampai ke sana. Mungkin tergantung dari alasan dia meninggalkan kami dan kondisinya sekarang. Aku sempat berpikir kalau dia mempunyai penyakit parah dan tidak ingin membebani ibuku, tapi aku selalu mengingat cerita tanteku.”
“Ayahmu meninggalkan ibumu karena ibumu lebih mencintainya,” Lucas melanjutkan.
Clara tersenyum. “Kau masih ingat.”
Bagaimana Lucas bisa melupakan kalimat sedalam itu? Bahkan jika dia mendengar itu dari orang asing yang sedang mengantre dengannya di restoran cepat saji, dia pasti akan terus mengingatnya. Ditambah lagi, Clara meneleponnya di tengah malam dan menangis saat menceritakan hal itu. Lucas sungguh berharap Clara tidak akan pernah mengalami hal yang sama dengan orang tuanya.
“Aku yakin membenci seseorang bukan hal yang buruk. Itu bagian dari emosi manusia. Semuanya wajar selama kita tidak berusaha untuk menyakiti orang itu,” kata Lucas.
“Yang penting kita tidak akan menjadi seperti mereka.” Clara menepuk pipi Lucas. “Mungkin orang tuaku juga pernah berada di posisi kita sekarang; mungkin ibuku pernah memeluk ayahku dan mengatakan hal serupa, tapi kita bukan mereka. Sifatmu jauh lebih baik dari ayahku yang sulit dimengerti. Aku yakin kau tidak akan meninggalkan—maaf. Kau yang sedang ada masalah, tapi malah aku yang bertele-tele.”
“Aku tidak akan meninggalkanmu,” Lucas melengkapi kalimat Clara dan membuat gadis itu tersipu malu.
“Luc.” Clara melebarkan kedua tangannya ke samping. “Aku mengantuk. Bawa aku ke kamarku. Mungkin waktu bangun, pikiranku akan lebih jernih dan aku bisa membantumu.”