Satu-satunya jalan menuju Kota Kuil adalah melalui sebuah jembatan batu yang dikelilingi oleh pepohonan yang rindang dan sungai yang mengalir tenang di bawahnya. Atmosfer juga rasanya langsung berubah ketika mereka sampai di tempat yang jauh lebih sepi dan kuno dari distrik-distrik sekitarnya. Meski ada banyak lampu jalanan, orang pada umumnya akan berpikir seribu kali sebelum melewati jembatan ini di malam hari.
Restoran steak yang Clara sebut berlokasi di dua ratus meter setelah jembatan. Hanya ada tiga mobil di tempat parkir, dan itu memudahkan Lucas untuk mendapatkan posisi yang paling memudahkannya untuk melanjutkan perjalanan ke cenayang yang ditujunya. Setelah melepaskan sabuk pengaman, dia menepuk-nepuk lutut Clara dan baru berhenti ketika gadis itu mengerang sambil membuka matanya.
Clara mengangkat badannya dan menoleh ke sekitar. “Hmm? Kita di...”
“Di mana kau ingin makan,” Lucas melengkapi kalimat Clara yang masih belum sepenuhnya sadar.
“Oh, benar sekali! Kau mendengarkan permintaanku!” seru Clara yang terdengar lebih semangat. Dia memang terlelap selama dua jam tanpa terganggu sedikit pun karena Lucas fokus menyetir dan Ethan keasyikan menonton drama di ponselnya dengan menggunakan earphones. Satu-satunya suara berasal dari GPS Lucas yang hanya sesekali munculnya.
Mereka bertiga keluar dari mobil dan langsung memasuki restoran yang didominasi oleh kayu cokelat gelap, seakan-akan suasana sekitar tidak cukup mencekam bagi pengunjungnya. Seorang penerima tamu laki-laki menyapa mereka dan mendudukkan mereka di dekat air mancur mini yang terbuat dari batu dan dikelilingi oleh rerumputan. Hanya belasan orang yang sedang makan siang termasuk mereka bertiga, sedangkan ada lebih dari seratus kursi kosong.
Lucas memesan ribeye, Ethan memesan New York strip, dan Clara memesan T-bone. Semuanya dimasak setengah matang. Untuk minuman, ketiganya memilih merek bir yang sama, sesuatu yang sering terjadi setiap mereka sedang makan di restoran bermenu daging-dagingan. Dulunya, Lucas yang seorang diri membeli bir, sedangkan Ethan dan Clara lebih menyukai minuman bersoda. Lama-lama, mereka berganti selera dan bahkan menuduh Lucas telah diam-diam meracuni lidah mereka.
“Perutku tidak enak. Aku ke toilet sebentar,” kata Ethan setelah pelayan restoran meninggalkan meja mereka. Tanpa isyarat, Lucas sudah tahu bahwa inilah yang Ethan maksud dengan memberikan waktu berdua saja. Dia yakin Ethan sebenarnya tidak sakit perut, tapi juga tidak akan kembali sampai setidaknya lima belas menit ke depan.
“Kau sudah mendingan?” tanya Lucas pada Clara.
“Kepalaku sudah biasa saja, tapi malah punggungku yang tidak enak,” jawab Clara.
“Itu karena kau tidur sambil duduk.”
“Benar sekali.” Clara tersenyum. “Wajahmu juga terlihat letih.”
“Tentu saja aku capek. Aku baru menyetir selama dua jam tanpa istirahat.” Lucas membenarkan posisi duduknya. Punggungnya juga terasa kaku, mungkin lebih parah dari Clara, tapi dia tidak punya pilihan lain.
“Sayang sekali Ethan belum mengurus surat izin mengemudinya.”
“Dia terlalu malas melakukan tes dan segala tetek bengeknya, padahal ayahku tidak keberatan membantu mengurusnya. Dia sebenarnya bisa melakukan banyak hal kalau mau berusaha.”
Clara terkikik. “Itulah Ethan. Orang pasti mengira dia tidak peduli apa-apa, padahal dia hanya malas saja. Temannya yang kecelakaan ini pasti sangat dekat dengannya sampai dia mau repot-repot menjenguk.”
“Seharusnya,” kata Lucas sebelum sadar bahwa dia tidak boleh menyia-nyiakan waktu yang diberikan oleh Ethan. “Clara, boleh aku bertanya sesuatu?”
“Tentu saja.”
“Kenapa kau ingin pergi berdua saja denganku?”
Clara mengangkat kedua alisnya. “Kau sungguh menanyakan hal itu?”