Siapa yang bisa menduga bahwa dalam tiga puluh menit, Lucas bisa meninggalkan lebih dari seratus panggilan tidak terjawab? Lucas pasti sudah sinting, tapi Clara tidak berhak mengatakan hal itu karena dirinya tidak jauh berbeda. Jika benar-benar tidak ingin digubris, dia seharusnya mematikan total ponselnya, bukan hanya lokasinya. Mungkin dia tidak ingin mati. Mungkin dia ingin diselamatkan. Mungkin dia ingin Lucas tiba-tiba muncul di hadapannya dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Clara. Clara. Clara. Lucas bukanlah orang yang suka mengirim pesan dan lebih memilih untuk langsung menelepon jika ada perlu. Jarinya pasti ngilu karena tidak terbiasa mengetik ratusan kata kilat, tapi dia tidak berhenti memohon agar mendapat kejelasan dari Clara, apalagi setelah sadar bahwa Clara baru membaca pesannya. Kau ada di mana? Aku tidak akan menyerah sampai bertemu denganmu. Tidak pernah Clara melihat Lucas seputus asa ini.
Hanya satu balasan yang dikirim oleh Clara, yaitu lokasi hotelnya. Sungguh memalukan bertemu dengan Lucas lagi karena percakapan terakhir mereka di telepon yang begitu dramatis, tapi pikirannya sudah jauh lebih jernih sekarang. Meski begitu, bukan berarti dia akan berubah pikiran tentang berdiri di seberang Focus Supermarket sebelum jam setengah lima sore nanti. Dari segala hal, inilah satu yang tidak bisa diganggu gugat.
Dua puluh menit setelahnya, seseorang mengetuk pintu kamar hotel Clara. Hotel ini kecil dan tua sehingga semua lantai bisa diakses tanpa kartu, tapi ponsel Clara yang kembali menyala karena panggilan dari Lucas membuktikan bahwa orang yang sedang menunggunya di depan sana tidak mungkin yang lain. Dengan menaiki mobil, Lucas harusnya membutuhkan waktu sekitar empat puluh menit. Dia pasti mengebut saking tidak sabarnya.
Clara yakin Lucas belum membersihkan dirinya karena dia datang hanya dengan kaos longgar dan celana tidur yang sering dikenakannya tiap kali Clara menginap di rumahnya. Pelipisnya yang berkeringat dan napasnya yang tidak beraturan juga menjelaskan bahwa dia berlari dari tempat parkir dan hanya berhenti saat menaiki elevator. Yang paling berbeda tentu saja tatapan matanya yang mencekam, seakan-akan dia siap membantai siapa pun yang berani menghalanginya.
“Jangan lakukan ini lagi,” kata Lucas setelah masuk ke kamar hotel yang dingin dan seharusnya akan membuatnya merasa lebih baik.
“Apa?” Clara menutup pintu kamarnya dan memandang punggung lebar Lucas. Dia tidak pernah terlalu memerhatikannya, tapi pertumbuhan Lucas justru signifikan setelah lulus SMA. Dulunya, dia terlalu kurus untuk tubuhnya yang tinggi. Beberapa tahun terakhir, beratnya bertambah dan dia terlihat makin tegap.
“Mengatakan sesuatu yang tidak jelas, lalu kabur dan tidak lagi membalas pesanku.” Lucas berbalik badan dan maju dua langkah sehingga jarak wajahnya dengan Clara menipis. “Kenapa kau melakukannya?”
Pandangan Clara jatuh ke lantai. Harus diakuinya, Lucas cukup menakutkan. “Maaf...” katanya pelan.
“Kau kira aku tidak punya perasaan?”
“Bukan itu. Aku hanya... Aku tidak ingin mengkhawatirkanmu lagi.” Clara masih tidak berani membalas tatapan Lucas, tapi yang terjadi berikutnya berhasil membuat jantungnya terhenti sejenak; Lucas mengusap pipi dan lehernya, dan memeluknya. Satu tangan Lucas berada di punggungnya, sedangkan satu lagi di belakang kepalanya. Dia tahu Lucas tidak mungkin memaki-makinya, tapi dia juga tidak menyangka bahwa Lucas akan menyentuhnya dengan selembut ini.
“Aku bersyukur karena rupanya aku tidak sendirian.” Napas Lucas berhembus di telinga kiri Clara dan cengkeramannya di tubuh Clara menguat. “Aku tidak butuh permintaan maafmu. Kau tahu apa yang aku mau.”
Clara menggigit bibirnya, berusaha untuk menahan tangisannya dan lagi-lagi gagal. Sambil sesenggukan, dia membalas dekapan Lucas dengan lebih erat, seperti dia ingin melebur menjadi satu dengan sahabatnya itu. Aku merindukanmu. Terima kasih. Sekali lagi, maafkan aku. Haruskah dia mengeluarkan semua isi hatinya, tapi membebani Lucas setelahnya? Haruskah dia menahannya dan menyesal seorang diri?
Lucas melepas pelukannya dan mengajak Clara duduk di atas kasur. Dia mengambil tisu yang disediakan di meja kotak dekat pintu dan memberikannya pada Clara. Tidak hanya itu, dia juga ikut mengusap air mata Clara dengan lengan bajunya. Mungkin dia sendiri tidak sadar dengan kebiasannya, tapi setiap Clara menangis dan tidak ada tisu di sekitar mereka, dia pasti akan menggunakan tangan atau bajunya sendiri tanpa merasa jijik.
“Bu Aria bilang... Kau tidak seharusnya di sini,” Clara memulai.
“Iya.”