“Kau tidak menciumku?” Clara masih setengah waras saat terbangun. Entah sejak kapan Lucas sudah kembali duduk di tepi kasur, tapi Clara senang punggung Lucas adalah hal pertama yang dilihatnya, bukan lagi langit-langit kamarnya atau kamar tamu rumah Lucas.
Lucas tergelak. “Itukah hal pertama yang kau katakan setelah bangun tidur?”
Clara mengusap kedua matanya yang masih bengkak sebelum mengangkat tubuhnya. “Memangnya salah?”
“Simpanlah untuk pacarmu, Clara.”
“Apa maksudmu? Memangnya kita tidak berpacaran?” Clara makin linglung. Dia yakin di zaman ini, dua orang tidak perlu blak-blakan mengatakan ‘maukah mau menjadi pacarku’ untuk memulai suatu hubungan. Setidaknya untuk kasus mereka, jujur dengan perasaan masing-masing harusnya sudah cukup.
Lucas menoleh ke belakang dan menatap Clara. “Sadarlah. Keadaan masih belum kembali seperti semula. Aku tidak ingin terburu-buru sebelum kita menemukan jalan keluarnya.”
“Apa kau ada solusi baru?”
“Belum.”
“Oh... Aku rasa aku juga kehabisan ide...” Kedua tangan Clara meremas seprai putih di bawahnya. “Tapi aku tidak ingin salah satu dari kita mati.”
“Sudah aku katakan, bukan kita yang menentukan itu.”
Clara sebal dengan jawaban Lucas yang dingin tapi memang benar adanya. Dia memandang jendela hotel yang ditutup oleh tirai oranye gelap, cocok dengan tembok bercat putih tulang. Ujung-ujung jendela yang tidak seterang sebelumnya menjadi petunjuk hari yang mulai petang. Clara mengecek ponselnya dan mendesah kesal saat tahu bahwa sekarang sudah lewat jam tiga sore. Mereka tidak bisa berlama-lama menghabiskan waktu di tempat ini.
Perlahan, Clara merangkak mendekati tepi kasur, duduk tepat di belakang Lucas, dan memeluknya dengan kedua tangan. “Aku mencintaimu.”
Ada sentakan di bahu Lucas, lalu dia menggenggam tangan Clara yang bertemu di perutnya. “...jangan lakukan ini.”
“Kenapa? Kau bilang kau tidak pernah benci aku peluk.”
“Bukan itu maksudku,” kata Lucas.
“Lalu apa?”
“Hari ini harus berakhir.” Lucas mengusap lengan Clara. “Menyedihkan saja kalau dipikir-pikir.”
Clara tersenyum dan menyandarkan sisi kepalanya di punggung Lucas. “Kita ulangi saja hari ini. Bukannya enak kalau kita tidak bertambah tua?”
“Kau tahu itu ide buruk.”
“Delapan jam sehari harusnya cukup untuk produktif!” seru Clara. “Kita bisa melakukan banyak hal gila seperti merampok bank dan mengadopsi puluhan kucing tanpa memikirkan konsekuensinya. Susahnya memang kita tidak bisa pergi jauh seperti ke luar negeri, tapi semuanya akan baik-baik saja selama kita bersama.”
“Clara, aku tidak bisa melihatmu mati terus menerus. Hidupku sudah tidak tenang selama seminggu terakhir, atau entah bagaimana kita harus menghitung hari.”
“Aku tidak masalah menahan sakit yang kurasakan tiap kali aku mati.”
“Kau gila.”