Astronomi

Ratihcntiia
Chapter #2

Sombong

6 tahun kemudian .… 

“Nom-Nom! Nomiii!” Teriakan Wirda menggema sepanjang sudut ruangan. Kebiasaan kalau Nomi belum bangun pasti Wirda mengeluarkan suara yang membuat kelelawar imut itu terbangun pada pagi hari. 

“Ngapain pagi-pagi teriak sih, Bun? Masih pagi inget, malu sama tetangga.” Firman, ayah Nomi datang sambil membawa tas kerjanya. 

“Kebiasaan tuh anakmu kayak kelelawar! Malem bangun, paginya tidur. Heran, dia itu anak siapa sih? Nggak ada mirip-miripnya banget sama kita.” 

“Pagi, Ayah, bunda,” Sahutan dari tangga membuat Wirda menghentikan ucapannya. 

Firman mengulas senyum, sehabis itu dia beranjak ke meja makan begitu juga dengan Nomi dan Wirda. Mereka bisa dibilang keluarga yang harmonis dahulunya, tetapi keadaan membuat mereka menjadi seperti ini. Argumen yang tak tertahankan sampai akhirnya tak ada satu pun yang mengalah. 

“Nom-Nom nanti sama Bunda diantar sampai ke ruang kepala sekolahnya aja nggak apa-apa, kan?” tanya Firman di sela-sela mengunyah makanannya. 

Wirda membulatkan mata. “Kok aku sih, Mas?” 

“Ya terus siapa? Tukang kebun? Mana ngerti dia soal surat-surat sekolahnya Nomi, kamu juga kan ibunya. Masa sempatin satu hari buat anak aja nggak bisa sih, daripada kamu arisan mulu, kan,” sahut Firman sambil memasang muka pucat sangar, sudah terlalu muak dengan celoteh 

Wirda nantinya. 

Seumur hidup kerjaan Wirda memang hanya arisan dan arisan. Bahkan, saat Nomi bagi rapor pun bukan Wirda yang datang, tetapi tukang kebun yang memang dekat dengan Nomi dari kecil hingga sekarang. 

“Kalau Bunda nggak mau nemenin Nomi nggak apa-apa kok, nanti Nomi bisa sendiri,” jawab Nomi sambil menyeruput susu cokelat Dancow kesukaanya. 

“Bagus deh kalau kamu bisa sendiri, jadinya kan nggak mem-be-ba-ni saya,” eja Wirda membuat Nomi hanya mengulas senyum. 

“Nggak bisa! Intinya kamu harus nemenin Nomi, kalau nggak ATM dan mobil aku sita!” ancam Firman, membuat 

Wirda semakin kesal. 

“Mas, nggak bisa begitu dong! Itu kan udah hak milik aku! Nggak bisa pokoknya!” bantah Wirda, membuat Nomi yang melihatnya merasa bersalah. 

“Kalau emang nggak mau disita, turutin apa kata aku! 

Anterin Nomi, masa begitu aja nggak bisa?” tanya Firman dengan nada membentak. 

Wirda menghela napas kasar. “Iya … iya! Aku anterin Nomi, puas kamu?!” 

Firman hanya mengangguk, lalu melanjutkan makannya, sementara Nomi sudah dihantui rasa bersalah yang amat-amat dalam kepada bundanya itu. Ia hanya tidak ingin mereka berdua bertengkar lagi, tetapi rasanya sia-sia. 

🚀🚀🚀

Nomi menatap ke sekeliling suasana yang kini kakinya pijak, SMA Taruna Kota. Sekolah elit tempat para murid-murid golongan atas bersekolah. Banyak anak-anak pejabat  di sini, tak heran kalau di sini disebut sekolah tingkat atas. 

Lihat selengkapnya