Bunyi langkah kaki mereka terdengar bersahut-sahutan di lorong kelas 2. Sesekali netra mereka memantulkan sinar rembulan yang datang dari arah jendela.
"Aku menyesal sudah mempercayaimu. Oh, betapa lugunya diriku ini," Yang lebih tua menghela nafas entah sudah berapa kali.
"Katakan apa yang akan terjadi jika aku tidak belajar malam ini?"Â
Mendapat respon demikian, lelaki dengan suara berat tadi langsung bungkam.
"Seungmin, sudah berapa kali aku bilang untuk mengecek barangmu sebelum pulang? Jangan mengaku pintar kalau kelakuanmu saja masih seceroboh ini," Ia membuka mulut lagi.
"Aku tidak mau menghabiskan waktu ku hanya untuk bertele-tele mengecek barang-barang ku. Kau memahaminya, Felix," Ungkap lelaki yang dipanggil Seungmin.
Felix makin bungkam saja.
Keduanya berhenti didepan pintu kelas milik mereka, Seungmin segera menggeser pintu. Sedangkan Felix meraba dinding sekitar untuk menyalakan saklar lampu.
Ctak!
Lampu berpendar mengalahkan kegelapan, mereka mendongak.
Seketika menyesal dengan apa yang indra penglihatan mereka tangkap. Tubuh keduanya bergetar hebat.
Bahkan untuk berteriak saja terasa amat menyakitkan di kerongkongan. Felix menutup mulutnya rapat-rapat, sedangkan Seungmin sendiri sudah menjatuhkan dirinya pada lantai porselen yang dingin.
Air mata mereka turun seperti air terjun yang mengucur deras.
"Kumohon, jangan..." Seungmin sibuk meremat dadanya yang terasa sangat sesak.
Felix mencoba menggenggam ponselnya kuat-kuat, tenaga nya seperti tersedot.
"C-changbin hyung..." Lirihnya memanggil seseorang diseberang telepon.
Tangis Felix semakin menjadi, bahkan tidak menjawab pertanyaan 'ada apa?' yang dilontarkan oleh Changbin.
Ia hanya terisak, berlomba dengan tangis milik Seungmin.