Sudah 3 hari tepatnya, SMA J School menjalani kegiatan belajar mengajar seperti biasanya— seperti dulu.
Sejak kejadian 4 minggu lalu yang menggemparkan seluruh kota. Para peserta didik serta guru yang mengajar akhirnya bisa melaksanakan aktivitas mereka tanpa hambatan.
Bukan masalah sebenarnya, jika kegiatan mereka kadang terganggu karena penyelidikan para polisi yang mengemban tugas. Hanya saja, kadang mereka menjadi sedikit tidak fokus.
Ada rasa sedih, tidak rela, bahkan perasaan bersalah yang menyelimuti reluh hati kecil mereka. Sekolah sangat berduka.
Dan didalam kurun waktu 4 minggu itu, polisi tidak menemukan apapun. Bahkan detektif profesional yang sudah mereka kerahkan pun hanya mendapat bukti yang tidak begitu jelas.
Hingga puncaknya adalah kemarin, di mana kasus ini ditutup oleh kepolisian. Dengan memberikan keterangan pada awak media— bahwa ini merupakan kejadian bunuh diri massal.
Bukti yang cukup kecil itu hanya dibesar-besarkan. Hanya karena ditemukannya sidik jari masing-masing korban— alih alih sidik jari orang lain pada tali yang meggantung tubuh mereka, itu lantas menjadikan hipotesis akhir.
Semua orang benci dan marah! Tapi mereka juga tidak bisa melakukan apapun ketika polisi membungkam mereka dengan bukti yang jelas-jelas cuman di perkuat itu.
Mereka juga tahu, kok! Hanya itu yang bisa disimpulkan, namun entah mengapa ada perasaan mengganjal saja.
Lagian, orang mana yang setiap hari selalu ketawa-ketiwi tidak tahu tempat dan situasi, tiba-tiba dinyatakan meninggal bunuh diri? Oke, bisa saja mereka memendam perasaan depresi nya. Namun, mungkinkah jika 10 orang melakukannya sekaligus? Dan yang paling parah, mereka saling mengenal dengan baik.
Tidak mungkin mereka tidak membagi kecemasan satu sama lain, karena hal sekecil apapun yang terjadi, mereka selalu bisa terbuka. Sungguh, ini menjengkelkan!
Mereka selalu berhasil mengumpati pihak kepolisian, termasuk salah satunya adalah Felix. Ia berjalan tergesa kearah cafetaria sekolah, lalu melempar koran harian pada meja dimana ke-tujuh temannya berkumpul.
"Keparat itu! Tak henti-henti nya membuat kepalaku mendidih!" Felix merotasikan matanya kesal.
"Apa lagi kali ini?" Jisung menyambar koran tadi, lalu seketika tertawa hambar.
'Polisi sudah menetapkan kasus di SMA Swasta favorit 'J School' yang melibatkan 10 korban, merupakan kasus bunuh diri massal!
Diduga seluruh korban merasa depresi karena terlalu banyak belajar mempersiapkan ujian masuk universitas'.
"Hanya orang yang tidak mempunyai nalar yang bisa menerima ini," Minho mendecih.
"Apa benar mereka depresi karena terlalu banyak belajar? Mereka tahu kapan dilaksanakannya ujian saja tidak!" Sahut Jeongin.
"Benar juga, katakan padaku pernahkah mereka memikirkan masa depan mereka sendiri?" Tanya Hyunjin.
Mereka kompak menggeleng, kecuali Seungmin.
"Jaemin, Heejin, dan Sohye-noona. Mereka orang-orang normal yang ingin menjadi sarjana," Cicitnya— yang tanpa sadari, ia kembali memutar memori lama saat mereka berempat belajar bersama di perpustakaan.
"Cukup tahu mereka yang paling normal diantara semuanya, tapi coba pikirkan. Mereka orang yang pintar, tidak pernah sekalipun mengeluh saat belajar. Mereka pasti juga bisa berpikir rasional, bunuh diri tidak akan menyelesaikan segalanya. Dan kau tentu ingat Seungmin, di mana setiap hari kau selalu mengajak mereka untuk belajar. Dan diangguki dengan semangatnya," Chan menatap Seungmin yang menunduk tanpa diperintah.
"Aku tidak tahu, ada semacam orang bodoh yang seperti ini di bumi," Felix frustasi.
Changbin yang juga sama-sama muak, memilih untuk meremat koran tadi menjadi gumpalan kecil. Lalu melemparnya ke sembarang arah, tidak peduli akan ditegur seseorang, yang penting ia dapat menyalurkan rasa kesalnya.
"Aku tahu saat ini mereka tidak bisa tidur dengan nyenyak," Seungmin menggenggam sendoknya kuat-kuat, menahan air matanya agar tidak tumpah. Ia tidak mau cengeng didepan sahabat-sahabatnya, karena bukan hanya dia saja yang sedang gundah.
"Kita harus melakukan sesuatu," Lirih Felix.
"Aku siap jika harus menjadi detektif dadakan!" Jeongin bersemangat— bermaksud menghibur teman-temannya.
Dan, usahanya berhasil. Semua orang lantas tersenyum hangat.
.
.
"Tolong aku~"
"Demi Tuhan! Tidak bisakah aku belajar dengan tenang semalam saja?!!"
Seungmin membenci kelebihannya sendiri. Menurutnya, mempunyai sixth senses bukanlah hal yang keren. Katakan saja ia tidak mensyukuri apa yang Tuhan berikan pada garis tangan-nya, tapi apapun itu ia tidak peduli.
Dan Seungmin tidak pernah mengerti, apakah ia harus mencampuri urusan makhluk yang—maaf— sudah mati itu atau ia harus seperti apa?
Bagaimanapun juga, Seungmin masih bocah SMA. Ia cengeng, masih sering mengeluh.
"Kakak, tolong aku hiks."
Oke, tapi Seungmin tidak tahan jika ini menyangkut anak kecil. Ia masih mempunyai rasa empati yang tinggi juga.