Aku mencuci piring sembari mengomel. Sepagi ini, tumpukan piring kotor sudah dihadiahkan suami untukku, istri penurutnya. Aku sungguh tak tahu bagaimana dia tidak pernah merasa kenyang, atau kenapa bapak tega menikahkanku dengan lelaki macam dia. Hidupnya hanya dipenuhi dengan makanan, minuman, gula, dan garam. Kami belum pernah pergi berlibur ke tempat-tempat indah, lebih sering jalan ke rumah makan dengan menu jumbo-jumbo. Jika jalan bersama dia, aku biasa disangka anak bungsunya. Timbangan suamiku itu tiga kali lipat dari timbangan istrinya. Bahkan, tempat tidur besar, hanya muat dirinya seorang. Dari malam pertama, hingga menginjak empat bulan pernikahan kami ini, aku tak pernah sudi tidur sekamar dengan dia. Ruangan terasa sangat sempit jika ada dia di dalamnya.
"Kok piringnya di banting-banting, Dek?" wajahnya muncul dari balik pintu, bertanya dengan alis berkerut..
Aku hanya menoleh sebentar, memasang tampang galak, lalu kembali fokus mencuci piring. Haruskah seumur hidupku dihabiskan dengan pekerjaan mencuci piring dan memasak saja?
Setelah piring-piring sudah bersih, aku masuk ke kamar mandi dan bergegas membersihkan diri.
"Dek, Dek." Dari arah luar, suara Mas Atala terdengar lagi.
Mematikan kran air, aku bertanya ada apa.
"Adek mau corndog rasa daging atau coklat?"