Hari ini Mas Atala telat bangun. Ia masih mendengkur, sementara adzan subuh sudah berlalu sejak berjam-jam lalu. Aku bimbang, antara ingin kembali membangunkan atau membiarkan ia tetap meringkuk saja. Sudah tiga kali aku mondar-mandir, mencolek atau meneriaki suamiku itu. Namun, nihil. Ia hanya menyahut sebentar, lalu tidur lagi. Jika dipikir-pikir, ada baiknya juga dia telat bangun seperti ini. Kan, jam makannya akan terlewat beberapa kali. Aku terkekeh geli karena hal itu.
Merasa jenuh di dalam kamar, aku memilih keluar rumah. Memandangi halaman depan rumah minimalis kami, yang bersih nan teratur. Maklumlah, pemilik toko bunga. Aku menatap beberapa bunga yang baru saja diankut Mas Atala dari tokonya.
Setiap hari, lelaki gemuk itu memang tak harus pergi bekerja. Dia memiliki toko bunga besar di sudut kota sana, dengan puluhan pegawai. Maka tak jarang, ia membawa bunga sebagai kejutan untukku. Saking seringnya, aku sudah tak merasa terkejut kala ia membawa bunga indah-indah. Sudah dua pekan ini dia tak pergi bekerja lagi, hanya ke toko untuk mengambil bunga saja. Jika kutanya, Mas Atala dengan pipi tembemnya hanya menggeleng. Menjawab lagi malas.
Sebenarnya aku ingin marah, juga bosan melihatnya setiap hari di rumah. Kalau tak tidur, makan lagi kerjanya. Tapi aku tak memiliki alasan marah pada dia. Sebab walau tak bekerja sekalipun, harta dari orang tuanya bergunung siap untuk digadaikan. Aku mengurut pelipis, bagaimanakah bisa bertahan dengan pernikahan yang seperti ini.
"Adek lagi apa?" tetiba suara yang sangat kukenal itu menegur.
Terlonjak, aku menyilanggkan ttangan di depan dada.
"Aduh, Mas, bikin kaget saja." Kataku.
Dia tertawa, perutnya yang buncit itu bergetar dibuatnya.
"Apa, sih, Mas. Orang terkejut, dia malah ketawa." Protesku.
"Istri mas gitu amat, deh." Dia melambaikan tangan.
Mendengus, aku merasa tak ada yang perlu ditertawakan. Aku yang awalnya sumpek di dalam kamar, kini berlari menabrak Mas Atala, terus menuju ruang nonton. Tapi dasar lelaki itu tak bisa membiarkanku tenang sejenak, dia kembali mengikutiku. Membawa satu pot bunga mungil di genggamannya. Pot bunga itu terlihat amat mungil, bersembunyi di tangan Mas Atala yang gemuk sekali.
"Astagfirullah, Mas." Aku menunjuk potnya dengan histeris.
"Kenapa, Dek?"
"Kasihan potnya, Mas. Nanti malah remuk digenggam sama kamu."
Kini ganti Mas Atala memasang tampang jutek, aku yang terkikik geli sekali. Oi, lucu kali wajahnya yang kesal itu.
"Jadi pagi ini kita makan apa, Dek?" suamiku itu duduk di samping.
"Mas mau aku masakin apa?" tanyaku.
"Kita go food aja, ya. Ada makanan baru yang sepertinya enak di dekat sini." Mas Atala menyimpan pot di bawah lantai, lantas merogoh handphone dari saku celana.
"Makanan siap saji lagi, Mas? Apa kamu tak takut kena penyakit?" aku mengerutkan kening, tak setuju.
"Satu kali ini sajalah, Dek. Lagi pula rumah makan itu masih baru, malu rasanya Mas kalau nanti ditanya orang, lalu mas hanya jawab belum coba. Nanti dikiranya tak mampu beli makanan." Jawabnya.
Menutup mulut, aku merasa miris dengan pola pikir suamiku sendiri. Dia malu jika ada orang yang tahu ia belum mencoba satu menu makanan? Bahkan, kami sangat berbeda dalam cara pikir. Aku malu jika teman-temanku tahu aku punya suami rakus, sedangkan ia malu jika dianggap tak rakus. Aduhai, sulitnya.