Kami baru sampai ke rumah mama mertua saat jam menuju angka dua belas siang. Sebenarnya mama menyuruh kami datang lebih pagi dari ini, tetapi apalah daya ada tragedi kecil yang menghambat keberangkatan. Suamiku itu, yang pendek dan gemuk, menolak terus baju yang kusodorkan. Dia kukuh ingin memakai kemeja biru dongker, dengan dasi kupu-kupu merahnya. Lengkap dengan celana jeans hitam, malah terlihat lucu Mas Atalaku itu. Mengingatnya, aku sontak terkekeh geli.
"Kenapa lagi kamu, Dek?" Mas Atala menyikutku.
Kami masih di depan rumah mama mertua, belum masuk ke pekarangannya yang besar nan luas. Mas Atala kesulitan memasukkan mobil ke halaman, karena depan gerbang banyak sekali mobil yang berjajar parkir.
"Kamu lucu sekali, Mas. Dasimu itu, seperti mencekik lehermu saja. Juga celanamu, terlihat sangat ... sempit dan ingin robek."
Aku terkekeh lagi, menutup mulut. Mas Atala mendelik, tapi tak bisa marah-marah.
Dia rapi sekali hari ini. Rambutnya disisir, dipakaikan minyak rambut pula. Sebelum pergi tadi, Mas Atala juga memakai sedikit bedak baby di mukanya. Saat kutanya, dia menjawab agar kelihatan lebih putih.
"Ya, akhirnya kita sampai juga." Mas Atala memberhentikan mobil di halaman.
Menarik napas, aku harus berhenti terkekeh-kekeh sendiri.
Kami berdampingan berjalan masuk, dengan tangan yang saling bergenggaman. Dari ruang tamu, keluarga Mas Atala sudah bersuit-suit riuh, mengira kami pasangan teromantis yang pernah ada. Sebenarnya aku jengah, ingin sekali melepas genggaman tangan. Tapi, apa nanti yang akan dipikirkan keluarga suamiku.
Bersalaman dengan mama mertua, tante-tante dan om Mas Atala, kemudian berlanjut pada keponakan-keponakan yang masih kecil nan imut. Yang terakhir, menyalami adik ipar yang sungguh terlihat tampan.
Dia memakai kemeja biru muda, lengan kemejanya digulung sesiku. Tingginya tak lebih jauh dariku, mungkin hanya berselang dua jari. Tersenyum manis, Anata mempersilahkanku untuk duduk.
"Di New Zealand dingin, ya, Ta?" aku membuka percakapan, basa-basi bertanya.
"Iya, Mbak. Di sana kadang hujan batu es, bukan salju, bukan juga air hujan biasa. Seperti potongan batu es." Anata menjawab ramah.
Ternyata dia anak yang supel, mudah mengakrabkan diri. Padahal baru saja sekali kami bertemu, saat resepsiku dengan Mas Atala dulu.
"Jadi kuliahmu sudah selesai?" tanyaku.
"Iyalah, Mbak. Kalau belum selesai aku belum pulang." Dia tersenyum, memamerkan deretan gigi bersihnya.
Tak seperti Mas Atala, yang giginya selalu kuning karena hobi makan.