Namaku Maisa. Aku pengidap attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Apa itu ADHD dan bagaimana aku bisa mendapatkannya? Akan aku ceritakan.
Aku terlahir dari pasangan suami-istri dari Kediri, Jawa Timur. Mungkin saja nenek moyangku Kertajaya, raja terakhir Kediri yang digulingkan Ken Arok. Namun tidak ada bukti tertulis yang meriwayatkan aku keturunan Paduka Raja Kediri.
Sejarah yang kuketahui bahwa Ken Arok merebut Ken Dedes dari Tunggul Ametung. Ken Dedes memiliki paras cantik jelita. Ken Arok pengawal Tunggul Ametung. Kala berlibur ke hutan, kain penutup tubuh Ken Dedes tersingkap sewaktu turun dari kereta. Ken Arok melihat cahaya menyilaukan dari balik kain Ken Dedes. Mulai saat itu, Ken Arok tidak bisa mengendalikan diri untuk memiliki Ken Dedes.
Demi melancarkan ambisi mendapatkan Ken Dedes, Ken Arok membunuh Tunggul Ametung—suami Ken Dedes—berbekal keris buatan Empu Gandring. Sang Empu murka dan mengutuk Ken Arok dengan mengatakan keris buatannya akan membawa malapetaka, anak keturunannya akan saling bunuh.
Ken Arok dan Ken Dedes berasal dari Kerajaan Singasari, Malang. Tapi entah mengapa ketika aku taman kanak-kanak dan bandel, bapak-ibu senang sekali mengataiku, "Dasar turunane Ken Arok!"[1] Sedang jika aku nice, tertib, sopan, dan menyenangkan, pujian yang aku terima adalah "Pintere cah ayu, seayu Ken Dedes."[2] Padahal, secara geografis, aku sama-sama berasal dari tanah Kediri seperti Kertajaya. Orang tuaku kompak memilih Ken Arok dan Ken Dedes sebagai acuan. Tidakkah mereka ingin aku menjadi raja meneruskan Kertajaya, Airlangga, dan Jayabaya?
"Kertajaya, Airlangga, Jayabaya itu nama-nama kereta milik PT KAI."
"Iya, sih. Gak ada pas pesen tiket nama keretanya Ken Dedes atau Ken Arok."
"Ya, jadi sudah suratan takdir kamu yang terpilih mengabadikannya."
***
Ibuku bernama Murti, bidan desa. Bapakku bernama Sukar, guru olahraga sekolah menengah atas. Kakak pertamaku perempuan bernama May. Kakak keduaku laki-laki bernama Maggy. Ibu Murti terkenal sebagai bidan galak tapi sayang anak. Hobinya berkeliling desa mendata anak-anak yang kekurangan gizi, mengajak ibunya ke puskesmas untuk mendapatkan penyuluhan, serta menebar kampanye gizi baik di posyandu-posyandu.
Sama, bapakku hobinya juga berkeliling ke rumah murid-murid yang bermasalah di sekolah. Menasihatinya agar tetap semangat dan tidak putus sekolah, menenangkan orang tuanya, membesarkan hati mereka bahwa anaknya kelak akan menjadi kebanggaan keluarga. Sementara, anak laki-lakinya sendiri troublemaker di sekolah, bahkan hingga pernah disel. Tapi bapakku tetap menekuni hobinya, mendatangi rumah murid-murid, memberikan “penyuluhan” layaknya ibuku kepada pasien-pasiennya. Hahahaha.
Aku lahir pada hari Kamis Pahing dengan weton paling banyak di rumah. Ibuku 10, bapakku 13, kakak perempuanku 12, kakak laki-lakiku 11, dan aku 17. Kata orang-orang, weton paling banyak bersifat keras kepala, penguasa di rumah. Mari kita cek kebenarannya.
Sore itu aku memanggil tukang bakso yang lewat depan rumah. Membawa mangkok bergambar ikonik ayam jago, aku meminta tukang bakso untuk mengisi bakso lima dan kuah saja. Tanpa mi, kubis, daun selederi, bawang goreng, saus, dan kecap.
Di meja makan, aku seruput kuah yang masih panas. Kakak laki-lakiku lewat sambil mengalungkan handuk di leher berniat mandi, namun mampir berhenti di hadapanku, beralih niat mau mengincip baksoku.
"Minta, Dek. Satu aja."
"Emoh."[3]
"Ya Allah pelite, siji tok."[4]
Aku geser mangkokku. Aku tutupi dengan kedua tangan. Menggelengkan kepala ke kanan dan ke kiri.
Maggy lalu berteriak ke arah ibuku yang sedang menonton TV. "Buk, Maisa lho, gak mau ngasih baksonya!"
"Maisa ... kasih Maggy satu."
Tenggghh!! Aku lempar sendok ke lantai. Marah, nangis sejadi-jadinya karena akan kehilangan satu bakso dari mangkok. Ibu menghampiriku. Menenangkan. Maggy mengambil satu bakso di mangkok dengan jarinya tanpa menghiraukan aku yang tidak jelas tiba-tiba marah dan menangis kejer, kemudian memasukkan bakso ke mulut, meletakkan di depan geraham hingga muncul benjolan di pipi kanannya. Lalu berbalik badan melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Ibu memelukku. Mengusap air mata dan mengelap liurku yang ngeces dari mulut dengan dasternya.