Atap Rumah Maisa

Yudha Mahawani
Chapter #2

Nakal

Jangan memarahi anak dengan sebutan "nakal". Ucapkan kalimat yang positif. Ah, rasanya kata-kata itu hanya akan menjadi slogan para pakar tumbuh kembang anak. Saat aku naik TK A ke TK B, guruku bernama Bu Is berganti Bu Umi. Aku tidak suka rambut panjang Bu Umi yang selalu terurai. Kenapa tidak diikat ketika hendak berangkat sekolah? Dililit melingkar sehingga berbentuk seperti konde kan rapi.

Ketika Bu Umi menulis di papan tulis contoh huruf a, i, u, e, o, aku beranjak dari bangku, maju menjambak rambutnya sampai Bu Umi teriak kesakitan.

"Maisa, lepaskan. Jangan nakal!"

Aku tersadar, segera melepaskan jambakan tanganku dari rambut panjang Bu Umi. Aku ketakutan dan menangis. Dibilang akan diantar pulang, aku tidak mau.

"Nanti aku dimarahi Ibu-Bapak."

"Makanya jangan nakal."

Esoknya Bu Umi datang ke sekolah dengan rambut baru. Rambutnya dipotong sebahu. Kata-katanya terngiang, "Jangan nakal." Aku mengingat pesan itu. Juga omelan ibuku yang tidak berhenti hingga malam. Menakut-nakuti aku hukuman anak yang usil. Allah akan memotong tangan anak yang nakal. Aku menangis di pangkuan ibu. Meratapi kebodohan yang aku lakukan terhadap rambut Bu Umi. Juga takut membayangkan tidak punya tangan karena dipotong sama Allah. "Jangan nakal, ya Nak, ya. Yang tertib di sekolah." Ibuku menyugesti sampai aku tertidur.

Bapakku mengantar ke sekolah. Ia gandeng tangan kiriku. Sesekali mengangkat ke atas. Aku berusaha menarik ke bawah. Diangkat lagi ke atas oleh bapakku. Aku melepaskan tanganku dari tangannya.

"Itu yang Bu Umi rasakan. Risih kan?"

Aku mengangguk. Tahu perbuatanku salah. Tapi tetap ngeyel dengan bergumam di dalam hati. Bu Umi juga salah. Kenapa rambutnya digerai? Mengganggu konsentrasi saja.

Aku menunggu giliran tampil di depan kelas menyanyikan lagu Garuda Pancasila. Masih nomor tiga, giliran temanku Alif. Sebelumnya Abdul dan Amanda yang bernyanyi. Aku bosan bermain puzzle kayu, absenku nomor 15. Kurang 12 anak lagi, baru tiba giliranku. Aku menari di belakang seorang diri. Amanda menolak aku ajak bergabung.

"Alif nyanyi!"

Aku tidak memaksa Amanda. Malah kembali duduk di kursi. Buah mangga di halaman kelas tampak berbuah banyak. Satu buah masak di pohon, dan jatuh ke tanah. Perhatianku tertuju pada buah mangga yang kulitnya pecah dan dagingnya terlumuri pasir. Aku hendak bangkit dan keluar. Namun teringat, "Jangan nakal", akhirnya aku urungkan. Aku melipat kedua tangan di atas meja. Menunggu giliran maju bernyanyi lagu Garuda Pancasila. Sepertinya aku berhasil melewati godaan hasrat hati bergerak ke sana-kemari.

Akhirnya aku menyanyikan lagu Garuda Pancasila dengan baik. Aku juga terpilih tampil menari di pentas Agustusan nanti. Tarian holahop. Lima murid. Aku ada di barisan depan. Sisanya empat murid di dua barisan belakang. Sepulang sekolah kami akan latihan. Namun, belum selesai istirahat, aku kembali melakukan kesalahan. Buah mangga masak yang jatuh tadi aku pungut dan aku oles-oleskan ke tangan, juga wajah, empat temanku yang terpilih pentas menari. Sontak terjadi kegaduhan. Semua murid yang melihat kejadian itu berteriak. "Bu Umi, Maisa nakal!"

Bu Umi keluar kelas menuju ke arahku. Mengambil mangga dan membuangnya ke tempat sampah. Bu Umi memandikan aku dan empat temanku di kamar mandi.

***

Hari itu latihan menari partama kali gagal. Semua temanku pulang sesuai jam sekolah seperti biasa. Hanya aku yang tertahan. Bu Umi menghukumku di kelas. Mencecarku dengan berbagai macam pertanyaan.

"Mengapa kamu lakukan itu?"

"Aku senang terpilih menari."

"Tahu kalau itu kotor?"

"Tahu."

"Terus?"

Lihat selengkapnya