Atap Rumah Maisa

Yudha Mahawani
Chapter #3

Cincin

Ibu ingin memakaikanku cincin. Dia bilang, agar bisa membeli cincin, aku harus ikut program menabung.

"Ikut menabung di sekolah, ya?"

"Iya."

"Mengko[1] pas kenaikan sekolah, uang tabungannya dibagikan sama Bu Umi. Kita belikan cincin."

Aku mengangguk.

Setiap hari ibuku memasukkan uang tabungan ke tas. Aku meletakkannya di meja Bu Umi bergabung dengan tabungan teman-teman yang lain. Hampir separuh murid di kelas ikut menabung. Laila ingin membeli sepeda. Aku tanya padanya mengapa ia ingin sepeda. Laila hanya menjawab karena diminta ibunya. Aku membelalakkan mata.

"Aku juga karena disuruh ibuku."

"Beli sepeda juga?"

"Cincin."

"Minta ibumu sepeda aja."

"Aku udah punya sepeda, dulu punya Maggy, sekarang jadi milikku."

"Jadinya Maggy gak punya sepeda?"

"Gantian sama May."

"Apa warna sepedamu?"

"Hitam. Sepeda yang dipakai May sama Maggy biru. Ada boncengannya. Punyaku gak ada."

"Aku nanti pilih warna merah aja, ah."

"Nanti sepedaan bareng, ya!"

"Iya."

Laila tampak bersemangat dengan cita-cita membeli sepeda baru dari uang tabungan. Sebenarnya aku tidak ingin cincin. Aku menginginkan tas. Tas berwarna merah jambu di toko seberang alun-alun. Aku melihatnya saat dibonceng bapak pulang membeli sate. Sampai di rumah ketika makan sate bersama, aku mengutarakan keinginanku. Uang tabungan nanti mau aku gunakan untuk membeli tas. Tapi orang rumah tidak merestui karena tas sekolahku sudah terlampau banyak.

"Tasssss lagii??" Kata ibuku.

"Halah mending tuku sate maneh,"[2] umpat May.

"Iyo, opo tukoke sapi. Biar kamu punya sapi sendiri. Iso meres dewe, ra mung ndelok neng tetangga sebelah omah."[3] Maggy mengide di luar perkiraan.

***

Bu Umi membagikan buku tabungan kepada murid-murid untuk dibawa pulang, agar besok dapat diisi kembali. Setiap hari ibuku mengisi buku tabungan dengan uang koin senilai 100 rupiah. Di buku tabungan tertulis jumlah tabunganku saat itu 10.000 rupiah. Harga tas di toko sebarang alun-alun adalah 15.000 rupiah. Kata May, aku masih harus terus menabung sampai lulus jika tetap ingin membeli tas.

Aku suka tas itu karena warnanya cerah. Depan berwarna merah jambu. Bagian belakang dan talinya berwarna hijau toska. Tidak ada resleting. Jika hendak menutup tas, kita harus menarik tali yang ada di sisi kanan dan kiri. Cara memakai tas seperti tas punggung pada umumnya. Masing-masing tangan kita masukkan ke tali. Tas akan menempel di punggung dengan sendirinya.

Juga aku suka tas itu karena berbahan kain, bergambar papan tulis dan bangku kelas berwarna putih. Tas ranselku tidak ada yang bergambar sebelumnya. Butuh 50 hari lagi menabung untuk mencapai jumlah tabungan seharga tas. Meski mendapat tentangan dari penghuni rumah lainnya, aku tak gentar. Keinginanku memiliki tas itu tak terbendung.

"Bu, aku ingin tas yang di seberang alun-alun. Nanti kalau dibeli orang bagaimana?"

"Ya, bagus. Itu tandanya kamu tidak perlu mengharapkannya lagi, bukan rezekimu."

"Ayolah, Bu. Belikan aku tasnya ...."

Pagi, siang, sore, malam, perkataanku pada ibu hanya itu dan itu saja. "Belikan aku tas, Bu." Tidak ada yang lain. Karena tidak tahan dengan rengekanku, akhirnya ibu luluh juga. Pembelian dengan syarat.

"Ibu belikan, bantu Ibu menyapu rumah. Dari depan sampai belakang, setiap hari."

"Iya!"

Bapak akhirnya memboncengku ke toko seberang alun-alun. Setelah motor terparkir, bapak mengikuti berjalan di belakangku. Aku melongok ke arah tas-tas yang digantung. Aku tersenyum karena tas yang aku incar belum dibeli orang. Aku menunjukkannya pada bapak. Bapakku mengambilnya dan menyerahkan kepada kasir. Membayarnya dengan uang pas. Tas dimasukkan ke kantong kresek. Aku mengulurkan tangan, menerima dan mendekapnya sampai rumah. Melihat tas yang aku keluarkan dari kresek, Maggy, May, dan ibu kompak berseru: Heleh-heleh ... yo mending sate ...!

Hahahah melihat mereka sedih, aku sungguh bahagia. Kwkwkw.

***

Aku menunaikan janji menjalankan tugas menyapu rumah. Sore menjelang mengaji, tugasku menyapu rumah. Sedang Maggy menanak nasi untuk makan malam kami. Adakalanya kami tidak mengaji karena Maggy harus bertanding bola di kelurahan. Jika seperti ini, biasanya Maggy akan mengajakku bertukar tugas. Agar bisa bertukar tugas, Maggy mengajariku cara menanak nasi.

Beras ditakar sebanyak dua cup, dicuci, diisi air setinggi dua ruas jari telunjuk. Dimasak di atas kompor dengan api sedang. Katanya, biar tidak cepat gosong. Setelah air menyusut, panci diangkat, diganti kukusan. Air kukusan mendidih, nasi setengah matang tadi dimasukkan ke kukusan. Kukus nasi sampai matang. Kurang lebih 20-30 menit. Tetap di api sedang. Maggy mewanti-wanti, kalau apinya kebesaran, akan mudah gosong. Aku mengerjakannya dengan teliti dan hati-hati. Petang menjelang magrib sepulang bermain bola, Maggy baru menunaikan tugas menyapu rumah.

"Inget, kalau rumah tidak disapu, tidak apa-apa, bisa disapu besok. Tapi kalau tidak masak nasi, kita serumah tidak makan malam. Paham?!"

Aku mengangguk. Toh, kalau aku kesusahan, tinggal panggil May, memintanya untuk membantu. Namun hal itu hampir tidak pernah terjadi. Di antara aku dan Maggy, May memiliki tugas yang paling banyak. Menyetrika, memasak, mengepel, mencuci piring, membersihkan kamar mandi, juga sesekali membantu persalinan.

Pernah aku coba bantu mengepel, May malah mengomel karena aku mengepel arahnya terbalik. Bukannya melangkah mundur, aku berjalan maju. Alhasil lantai menjadi becek dan penuh bercak kakiku. May kapok melibatkanku dalam pekerjaannya. Kata dia, tidak cepat selesai malah kerja dua kali. Untungnya menanak nasi aku jalankan dengan baik.

Lihat selengkapnya