Atap Rumah Maisa

Yudha Mahawani
Chapter #4

Pindah Sekolah

Lilitan perban di antara tulang selangka dan ketiakku belum bisa dilepas. Kata dokter Imam, minggu depan baru bisa dilepas. Tentunya ibu-bapakku menurut. Sayangnya aku yang tidak menurut. Karena bosan terus-terusan memakai perban, aku gunting lilitannya seusai mandi. Bapak-ibuku marah-marah. Aku yang dimarahi hanya diam saja. Siap menerima semua akibat dari tindakan brutal kepada perban yang memulihkan keretakan tulangku.

Bergegas bapak memboncengku dengan motornya ke dokter Imam. Ibu juga berpesan kepada bapak agar sepulang dari dokter Imam langsung membawaku ke dokter tumbuh kembang. Untuk meyakinkan sebenarnya aku, anaknya ini, kenapa?

Setelah mengantre dua pasien, aku dan bapak berjumpa dokter Imam.

"Haloo, wah kamu gak sabar yaa pengen lepas perban." Dokter Imam menyapa sambil memeriksa selangkaku. "Sakit?"

"Sedikit."

"Dokter Imam pasang lagi, jangan digunting, ya?"

Aku mengangguk. Tertunduk. Takut menatap matanya. Tiba-tiba hatiku sedih telah mengecewakannya. Tidak tertib, tidak disiplin.

Perban telah dipasangkan kembali oleh dokter Imam ke badanku. Aku masih menunduk. Lagi-lagi tanpa marah, dokter Imam mengajakku bicara.

"Dulu dokter Imam juga nakal. Gak bisa diem, ngomong gak berhenti-berhenti."

Aku mendongak, menunggu kalimat selanjutnya yang akan ia ucapkan. Tapi dia tidak melanjutkan. Berbalik badan dan memberikan sekantong plastik kepada bapakku. Obat yang harus aku minum.

"Vitamin penguat tulang. Tambahkan dengan obat yang masih ada."

Bapakku mengangguk. Setelah mengucapkan terima kasih, bapak berpamitan. Aku menatap dokter Imam. Seperti tahu isi kepalaku, dokter Imam mengucapkan kalimat yang aku nantikan.

"Gak apa-apa. Dokter habis itu terus belajar. Belajar setiap hari. Jadi dokter kan sekarang."

"Aku ga mau jadi dokter, aku mau jadi arsitek."

"Oke, itu bagus!"

***

Dokter tumbuh kembang approve aku ADHD tanpa gangguan penyerta disleksia. Mengucapkan kata yang terbalik-balik tempo hari—lip gloss menjadi gloss lip atau kambing hitam menjadi hitam kambing—aku hanya belibet karena terlalu cepat berbicara. Bukan hal yang mengkhawatirkan seperti halnya b dibaca d atau p dibaca q pada ciri-ciri anak dengan disleksia, meski aku kesulitan membaca, menulis, dan mengeja. Aku mengalami gangguan fokus dan hiperaktif saja (ADHD) tanpa penyerta disleksia.

Berikut aku rangkumkan ciri-ciri ADHD yang paling menonjol: Hiperaktif, tidak bisa diam, banyak bergerak, menggerakkan tangan dan kaki berlebih, impulsif, kalau pengin sesuatu harus langsung dilakukan, sulit fokus (tapi hiperfokus untuk hal-hal yang disenangi), ceroboh, pelupa (bukan yang long term memory, melainkan sering lupa terhadap hal-hal yang sort memory, ada saja barang yang ketinggalan :p), mudah bosan (sering bermasalah di kehidupan sosial, pindah-pindah sekolah, berpindah-pindah pekerjaan), mood swing, mudah terdistraksi.

Misalnya sedang menyapu rumah, tapi tiba-tiba lihat TV acaranya bagus, jadi berhenti menyapu dan duduk depan TV; tapi iklannya lama, jadi bangkit dari kursi melanjutkan menyapu; tapi mampir ke kamar sebentar, eh keasyikan di kasur, rebahan sambil baca buku enak juga; tapi kamarnya berantakan, meski begitu, tidak bisa ada satu biji pasir pun di atas sprei karena sensitif terhadap tekstur; kamar yang berantakan lalu dirapikan, itu pun tidak berlangsung lama, terdistraksi nyari satu buku lain lagi untuk dibaca; jadi berantakan lagi, hahaha! Halo, kegiatan awal menyapu rumah apa kabarrrr?? Kwkwkw.

Orang dengan ADHD juga sulit mengantre (aku sih lebih memilih makan nasi sama kecap di rumah daripada makan sate yang antre sampai tukang satenya tidak kelihatan karena tertutup kerumunan pembeli), sulit mengikuti instruksi, suka memotong percakapan (konon otak ADHD bekerja lebih cepat, sehingga tahu orang mau ngomong apa, langsung disambar—terlihat tidak sopan, tapi begitulah ciri ADHD).

***

Seperti kubilang, aku baru bisa membaca di akhir kelas 2. Namun sepanjang dua tahun itu aku selalu memperoleh peringkat kedua. Peringkat pertamanya Nanda. Kelas 3, bapak memindahkan aku ke sekolah dekat Pasar Baru. Alasan bapakku karena aku bolos sekolah hampir satu bulan, terus belum bisa baca hingga kelas dua namun dapat peringkat dua; bapakku tidak yakin aku mendapatkan nilai rapor yang obyektif. Aku sudah didaftarkan di SD dekat Pasar Baru, namun sudah hampir seminggu aku tidak mau memasuki gerbangnya. Rayuan apa pun tidak menggoyahkan pendirianku.

"Aku gak mau sekolah di SD dekat Pasar Baru."

"Maunya dekat Pasar Lama? Gak ada sekolah di sana. Adanya kios dingdong tempat Maggy main game!"

"Aku juga gak suka main game."

"Sudah ndak usah sekolah, belajar baca sampai bisa di rumah aja sama May!"

Aku menangis.

"Aku mau sekolah, tapi gak mau yang dekat Pasar Baru."

"SD mana mau menerima anak kelas 3 ndak bisa baca-tulis?"

Aku menangis lebih kencang. Setelah mengomeliku, bapak membiarkanku menangis sendirian. Ia berbaring di sofa depan TV dan mendengkur keras. Pagi harinya, aku menuruti keinginan bapak. Mandi, sarapan pagi, dan berangkat ke SD dekat Pasar Baru. Seorang ibu guru muda menyapaku dengan hangat. Aku bersaliman dengannya. Bapak memperkenalkan aku sebagai murid baru.

"Nitip Maisa njih, Bu. Belum bisa baca ini anaknya." Mendengar perkataan bapak kepada ibu guru baru, aku mendadak menangis di hadapannya.

"Oh, anak cantik, ndak usah takut, nanti belajar membaca sama Bu Guru ya ..."

"Ndak mau."

"Lho kenapa? Di dalam kelas Bu Guru punya buku bagus. Juga punya teman-teman yang banyak."

Aku tetap tidak mau masuk kelas. Hari berikutnya sama. Hanya sampai pintu gerbang sekolah dan disambut ibu guru yang sama. Hari keempat diantar Maggy, tidak ada perubahan. Hari kelima dan keenam diantar May, hasilnya sama. Menangis di depan pagar dan tidak mau masuk ke kelas.

Senin di minggu berikutnya, aku diantar becak langganan. Bapak senang karena aku tidak pulang secepat kilat seperti sebelumnya. Sampai bapakku pulang mengajar, aku juga belum ada di rumah. Bapakku riang tiada tara. Akhirnya aku mau sekolah. Namun kebahagiaannya tidak berlangsung lama. Karena hingga larut siang, aku belum juga pulang ke rumah. Bapakku mulai khawatir. Saat May pulang sekolah, ia meminta May ke sekolah baruku. Belum berganti seragam, May menggowes sepeda kembali meluncur ke sekolah baruku. Nihil. Aku tidak ada di sana. May kembali ke rumah dengan terburu-buru untuk mengabari bapak.

"Sekolahnya sudah sepi. Kata gurunya, Maisa gak mau masuk sama seperti hari-hari sebelumnya."

"Terus neng ngendi adimu?"[1]

May dan bapak panik. Mereka ke rumah Pak Becak langganan, tapi istrinya juga menyampaikan suaminya belum pulang dari pagi saat mengantar aku.

"Ditunggu dulu, mungkin mampir ke mana, setelah ini pulang." Istri Pak Becak langganan menenangkan.

Sore hari Maggy ke sekolah baruku, juga aku tidak ada di sana. Menjelang magrib barulah aku dan becak langganan menampakkan diri di halaman rumah. Semua menghampiri aku dan Pak Becak. Mengintrogasi kami berdua. Pak Becak langganan meminta maaf, mengakui telah teledor tidak menjalankan amanah sebagaimana mestinya.

"Mbak Maisa tidak mau masuk ke kelas. Saya ajak putar-putar dulu naik becak, siapa tahu setelah itu mau. Waktu di depan pasar, teman saya memanggil, meminta mengantar penumpang lain ke alun-alun. Dari alun-alun, diminta ke Masjid Besar mengantar kue untuk selamatan. Saya mengiyakan, Mbak Maisa juga mau ikut rewang[2] di Masjid Besar. Sampai sore, sampai ketiduran juga Mbak Maisa di sana."

Bapak ibuku, Maggy, dan May hanya terbengong mendengar penjelasan Pak Becak langganan, setelah itu mempersilakannya pulang.

"Jadi kamu maunya sekolah di Masjid Besar?"

Aku menggeleng. "Pak Becak langganan bohong, bukan aku yang mau ikut. Tapi aku dipaksa ikut."

Lihat selengkapnya