Atap Rumah Maisa

Yudha Mahawani
Chapter #5

Pesaing Tangguh

Di sekolah baru energiku tidak hanya terkuras lewat bermain, namun juga lewat berpikir. Karena banyak terkuras, aku merasa lapar terus. Sehari bisa sampai empat kali makan. Pagi sebelum berangkat sekolah, ibu menyuapiku nasi, telur ceplok, dan kecap. Di kantin sekolah jam istirahat pertama, kalau tidak jajan siomay, ya bakso. Istirahat kedua, kalau tidak lontong sayur, ya lontong pecel. Belum lagi menu berat makan siang, sore, dan malam.

Kelas 3 SD, bobot tubuhku hampir mencapai 70 kilogram. Banyak aktivitas supaya gerak badanku tersalurkan, tetapi imbasnya mulutku juga tidak berhenti mengunyah. Ibu-bapakku pusing. Renang sudah, basket sudah, kasti sudah, lompat tali sudah, bersepeda sudah, nyapu rumah sudah. Mereka berusaha mencarikan aktivitas yang dapat mengalihkan nafsu makanku.

"Opo tapi?"[1] Ibu mengeluh kepada bapak.

"Seng ora fisik maneh. Seng duduk manis."[2]

"Ngaji uwis."[3]

"Gambar? Lukis?"

***

Bapakku membeli cat. Menggambar burung di kanvas. Bapak memamerkan kepadaku hasil karyanya. Aku bergeming.

"Biasa aja."

"Seru main cat."

"Enggak mau. Kotor."

"Jajal to."

Lambat laun aku bergerak. Aku mengambil kuas lalu mencelupkan ke palet yang sudah diracik warna oleh bapak. Aku poles perlahan paruh burung dengan warna hitam.

"Sini, duduk."

"Aku mau berdiri."

"Capek lho nanti."

"Gak apa-apa, biar kurus."

"Subhanallah."

Benar saja, lama-kelamaan pegal juga berdiri. Aku mengambil kursi. Kemudian duduk dengan tenang. Hampir satu jam aku menghabiskan waktu di depan kanvas bergambar burung buatan bapak. Bapakku senyum-senyum ke arah ibu. Ibuku, yang menggoreng pisang, juga tersenyum sipu. May dan Maggy tidak memedulikan. Sibuk menonton tayangan basket di televisi. Hari Minggu mereka sengaja tidak ke mana-mana, seharian di depan TV.

Eh, sampai besoknya, May dan Maggy masih juga tidak ke mana-mana. Mereka membolos karena tim basket kesayangannya masuk final, Chicago Bulls melawan LA Lakers. For your information, demi menonton Michael Jordan beraksi di TV, mereka berdua selalu bolos sekolah.

Karena mereka membolos, aku tak mau kalah. Aku beralasan kepada ibu, habis bertengkar dengan teman sekelas. Ia mengejekku tidak bisa bernyanyi. Suaraku tak merdu sama sekali ketika menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Tanah Airku saat upacara. Aku menonjok temanku itu sampai pingsan. Ibu tersenyum. Imajinasiku tidak meyakinkan. Akal-akalanku tidak dipercayainya. Meski begitu, ibu mengizinkan aku membolos.

Sampai sini percaya kan ADHD diturunkan? Hahaha. Tiga anaknya bolos sekolah cuma mau ongkang-ongkang di rumah, diokein. Kalau saja netizen sudah lahir waktu itu, pasti kami panen hujatan. "Mon maap, Bapak, Ibu, situ sehat?"

Untungnya belum ada netizen, juga kami bukan selebgram. Alhamdulillah hanya sebatas tetangga yang bingung. Hari apakah ini? Kenapa anaknya berangkat sekolah, sementara kami masih rembes[4] saja di rumah? Kwkkwkwkw.

***

Bapak belum membuat sketsa di kanvas. Jadi tidak ada yang bisa aku warnai. Aku mencari bapak, meminta dibuatkan sketsa gambar Mickey Mouse. Tapi yang dicari, tidak terlihat sama sekali.

"May, Bapak ke mana?"

"Bapak uwes berangkat ke sekolah."

"Ngapain?"

"Ngajar to."

"Oh, ta kira anter surat izin kita."

"Itu juga."

"Ibu juga uda berangkat ke puskesmas?"

"Uwes."

"Wuo, ta kira bolos juga."

"Bhahahaha. Keluarga aneh."

"Keluargamu itu."

"Iya sih."

"Hahahha."

"Tau gak, kemarin lho Bapak ke sekolah Maggy."

"Dipanggil kepsek?"

"Enggak, cuma ngasi uang saku 50 ribu ke Maggy."

"Hah, gak bisa apa dikasih di rumah?"

"Nah itu, entahlah. Caper banget bapak kita. Ckakakkk."

Aku, May, dan Maggy di ruang tengah. Menikmati hari membolos massal kami. May merebus kentang sebagai teman menonton siaran NBA. Meski ada Maggy teman nobarnya, ia tetap membutuhkan yang lain. Maggy meletakkan piring nasi di meja depan TV. Melahap nasi sayur sambil menyimak laga tim kesayangannya. Ia memiliki banyak singlet Chicago Bulls. Mereka berdua berisik, aku dengan tenang menggambar kartun Mickey Mouse di kertas manila besar.

Peralatan mengecat aku siapkan di meja depan sofa. Agak jauh dari meja May dan Maggy. Meja May dan Maggy dulunya adalah sebuah sumur. Saat membangun rumah ini, bapak dan ibuku bersepakat menutup sumur. Mengecor bagian atasnya. Sumber mata airnya tetap dibiarkan. Tidak diuruk tanah. Tentu saja rumor tersiar lagi selain soal cincin klenik. Di dasar sumur itu, bapak-ibuku menimbun pesugihan. Hahahahaha. Ya kali, mana sanggup kami teruruk harta macam Qorun.

Azan zuhur berkumandang. May dan Maggy sudah tidak teriak histeris, "Slum dunk", "Defense!", "Dewe[5], dewe, lay up josh!!", "Jordan! Scotie Pipen! Jordan! Scotie Pipen!", seakan-akan mereka berdua sedang duduk di tribun Chicago Stadium. Aku menengok pertandingan telah usai. Dimenangkan Chicago Bulls dengan Michael Jordan sebagai MPV. TV dibiarkan tetap menyala. Sedang berlangsung penayangan penyerahan hadiah kepada tim pemenang. Michael Jordan sang superstar tengah mengangkat papan hadiah simbolis ke hadapan pendukungnya. Riuh terompet dan sorakan penonton membahana dari speaker televisi. Kertas konfeti tak henti-hentinya bertebaran di ruangan stadium. Aku memelototi layar kaca TV tak berkedip.

"Nonton kui mau pas tanding, ora wes buyar,"[6] ucap May sambil merapikan baskom kosong bekas kentang rebusnya.

"Hah." Aku tersadar. Lah, kok iya. Kenapa saat Jordan melayang di udara memasukkan bola ke dalam keranjang, aku menganggapnya biasa saja. Di mana istimewanya? Aku juga sering melakukannya. Ini lihat. Aku sekarang melakukannya. Membungkuk seperti gerakan ruku saat salat. Kedua tangan merentang. Kaki kanan di angkat ke atas, lurus ke belakang. Kaki kiri tetap menapak lantai. Kan, bisa kan. Wusshh ... terbang melayang.

"Kono gek solat.[7] Piringnya taroh belakang." Lanjut May mengingatkan Maggy untuk bergegas meninggalkan TKP nobar NBA.

"Iyo, sek."[8]

Yang disuruh malah merebah ke lantai, meregangkan tubuh, dan memejamkan mata.

"Iki pisan, adegan opo maneh. Slum dunk, ora pose pesawat terbang."[9]

"Hiii."

"Ndrenges ae."[10]

***

Bapak terkesima melihat lukisan Mickey Mouse-ku. Meski sketsanya menyontek dari gambar sampul buku, kata bapak, komposisi warna yang kupilih cukup menarik. Usai makan malam, bapakku tidak mau kalah. Ia membuat gambar kuda besar. Tidak tanggung-tanggung. Bukan di kertas manila atau di kanvas besar, melainkan di tembok rumah. Goresan pensil miliknya menghiasi dinding dapur. Wah, keren sekali. Aku juga ingin menggambar sebesar itu!

"Bapak sudah di dinding, Maisa tidak boleh di dinding lagi."

"Kenapa?"

May, yang lewat berjalan dari kamar mandi hendak ke kamar tidur, berceletuk. "Ya isin[11] to ya, masak bersaing ikut ikutan. Malu lah."

Aku manyun.

"Bersaing apa?"

"Jadi pelukis handal, kan. Lawan Bapak Sukar sekarang. Ingat, nama Bapakmu Sukar. SUKAR DIKALAHKAN."

Aku nangis mencari ibuku. Berteriak May jahat. May mengikutiku.

"Nangisan. Dasar gembeng.[12] Lawan, ra nanges."

Aku pukul May dengan sapu yang kebetulan ada di dekatku. May semakin menjadi-jadi. Bagiku dia seperti Mak Lampir Nenek Grandong di serial televisi Misteri Gunung Merapi.

"Iya, aku Mak Lampir, kenapa?! Kamu Grandongnya kan. Grandong gak punya ibu. Itu ibuku. Mana ibumu?!!"

Aku semakin jengkel dengan May. Aku lemparkan sapu ke lantai. Menggaung keras sampai ke ruang depan. Awalnya, meski aku panggil-panggil, ibu tidak beraksi. Namun setelah aku semakin meraung-raung dan liurku semakin mengalir dari bibir ke lantai, ibuku berubah jadi serigala juga.

"Diem nggak! Duduk! Nggak usah ngesot-ngesot!"

Aku patuh. Aku memperbaiki posisi badanku. Lalu mengarahkan kedua tangan ke ibu, minta digendong. Maggy di belakang ibu, mendelik.

"Kapok, gak duwe ibuk."[13]

Aku seketika menutup kedua telinga dengan telapak tangan. Memejamkan mata dan bergeleng ke kanan dan ke kiri sambil berusaha menahan tangis. Lagi, May mengolok.

"Wong nangisan ra duwe bolo."[14]

Lihat selengkapnya