Atap Rumah Maisa

Yudha Mahawani
Chapter #6

Ruwatan

Maggy belum pulang sampai pagi. Aku berangkat sekolah dibonceng May. Kabar terakhir sebelum aku dan May berangkat sekolah, Maggy terlibat perkelahian dengan murid sekolah lain. Maggy dan Anas mengalami luka-luka. Anas kakak laki-laki Septa. Maggy sekelas dengan Anas. Aku sekelas dengan Septa. Sungguh dunia selebar daun kelor.

Ceritanya, Maggy menjemput Anas dengan sepeda motor bebek bapak. Selesai mengerjakan PR, mereka berdua pergi ke kios dekat Pasar Lama mau bermain dingdong. Pulang bermain dingdong, di tengah jalan, empat lelaki seumuran Maggy dan Anas mengeroyok mereka. Luka Anas tidak banyak, hanya lecet di bagian lutut karena terjatuh dari sepeda motor. Luka Maggy paling parah, karena memasang badan untuk melindungi Anas yang saat itu asmanya langsung kambuh.

Beruntung banyak orang yang melihat. Orang-orang menolong mereka. Membawa ke unit gawat darurat. Siang aku pulang sekolah, Maggy sudah di rumah. Tertidur di kursi dengan mata bengkak biru kehitaman tidak bisa dibuka. Kelopak matanya sebesar buah apel.

Sedang Anas masih di rumah sakit karena menginya. Beruntung lagi, ke mana-mana Anas selalu membawa inhaler. Perjalanan ke UGD, Anas bertahan dengan inhalernya. Ganti aku ingin meledek Maggy. Mengeluarkan kata-kata yang selama ini ia godakan ke aku. "Sokor. Sukurin. Kwapok. Haha…."

Tapi ibu melarangku. Mengingatkan supaya aku tidak berurusan dengan Maggy saat ini. Meski dia sedang sakit, tetap saja aku bisa terpicu amarah dan jiengkel dibuatnya. Ujungnya tetap aku yang akan menangis, bukan Maggy. Aku menurut. Menjauh dari Maggy, menonton TV.

Maggy meminta maaf kepada ibu. Ibu bertanya kenapa sampai mesti berkelahi.

"Kata bapak, jangan cari musuh. Tapi kalau ada musuh, jangan lari."

"Hem."

***

Bapak-ibuku prihatin. Memelas terutama karena kedua anaknya nakal-nakal. Hari kelima pasca-perkelahian, Maggy sudah bisa menggerakkan anggota badan. Perkelahian ternyata dipicu karena berebut dingdong di Pasar Lama. Ibu tidak hentinya mengomel sampai kapan Maggy meneruskan kebiasaan buruk non-stop bermain dingdong.

Kaus gajahku yang ia pakai ketika keluar rumah malam itu sudah tidak berbentuk. Compang-camping. Rusak parah. Tinggal kenangan. Jadi keset.

Alhasil, bapak memutuskan untuk mengadakan ruwatan. Dalam tradisi Jawa, ada yang namanya Pancuran Kapit Sendang merujuk pada tiga anak, di mana yang pertama perempuan, kedua laki-laki, dan ketiga perempuan. Nah, katanya, dalam situasi ini, harus dilakukan ruwatan. Anak laki-laki menjalani serangkaian prosesi adat Jawa untuk menolak bala. Hem, banyak banget prosesi yang harus dijalani Maggy.

Pertama, menyediakan sesaji. Jadi, ibu diminta menyediakan nampan besar berisi pisang raja, ingkung ayam, tumpeng, unggas berpasangan. Setiap sesaji mempunyai makna filosofis tersendiri. Pisang raja, misalnya, bermakna penguasa. Bagaimanapun, karena tumbuh besar di bawah didikan Muhammadiyah dari Kakung Subardi dan Eyang Supirahayu, ibuku tetap berdoa di dalam hati hanya meminta tolong satu-satunya kepada penguasa langit dan bumi, Allah SWT.

Lalu dilanjutkan prosesi penyerahan sarana. Maggy sungkem kepada bapak-ibu. Berikutnya ada pagelaran wayang kulit. Menghadirkan kisah nilai-nilai kebaikan dalam manusia berperilaku sehari-hari. Kemudian lagi, ritual potong rambut. Rambut Maggy dipotong sebagai simbol hal-hal buruk telah dibuang. Yang terakhir, siraman. Tubuh Maggy disiram menggunakan air kembang setaman (kenanga, kembang melati, dan kembang mawar). Siraman diteruskan dengan pembuangan kain mori. Kain mori berwarna putih menjadi simbol terlahir kembali. Ikhtiar bapak dan ibuku agar semua jauh dari malapetaka dan selalu mendapat perlindungan-Nya.

Keluarga besar ibu dari Banyuwangi datang. Juga keluarga bapak dari Lampung. Semua terlibat dalam prosesi ruwatan yang digelar di rumah. Rumahku banyak orang. Di dapur, penuh ibu-ibu mengupas bawang sambil bergosip. Di belakang, semua paklikku menyembelih kambing. Kambing, yang sudah dipotong di bagian lehernya, dibentangkan di antara pohon mangga dan pohon salam. Kakinya diikat dengan tali. Tali yang panjang diikatkan pada batang pohon supaya kambing mudah dikuliti. Daging dipotong-potong, dicuci, lalu dimasak gule dan sate.

Prosesi ruwatan bisa dibilang berjalan lancar. Tetangga dan semua teman bapak-ibuku datang. Teman sekelas Maggy juga. Wali kelas dan guru sekolah Maggy tak ketinggalan. Maggy bak raja hari itu. Pakai baju Jawa. Duduk di kursi dikelilingi sesajen yang aku tata bersama May.

Seminggu setelah acara ruwatan, keluarga dari Banyuwangi dan Lampung pulang. Tapi Paklik Sis dan sepupuku bernama Indah dari Banyuwangi tetap tinggal. Paklik Sis akan melanjutkan SMA di Kediri. Indah akan kuliah keperawatan. Kampusnya tidak jauh dari rumah, sehingga tidak perlu tempat kos. Pulang-pergi saja dari rumah. Namun tampaknya Indah tidak begitu senang. Ingin ngekos.

Ibuku berkeras, tinggal di tempat kos hanya akan menambah banyak biaya. Alhasil, tak ada yang bisa Indah lakukan selain menerima nasib. Mungkin dia malu menumpang di rumah saudara. Mungkin pula ia tidak malu, namun hanya merasa tidak bebas. Terikat aturan yang ibuku buat. Haha … sabar Ndah, aturannya boleh bolos kok.

***

Indah tidur sekamar denganku. Paklik Sis sekamar dengan Maggy. Berangkat sekolah, aku dibonceng Paklik Sis, pulangnya naik angkot. Sedang Maggy, May, dan Indah naik angkot purnawaktu.

Hingga beberapa waktu, Indah masih saja menunjukkan wajah yang tampak kesal. Raut muka tidak bersahabat. Aku jadi kesal, aku jambak rambutnya dari belakang. Dia merintih kesakitan. Maggy dan May datang menolong Indah. Paklik Sis muncul tergopoh-gopoh. Menggendongku di punggungnya. Mengajakku keluar rumah. Dibonceng sepeda miliknya. Dibelikannya aku es legen di alun-alun.

Malamnya, tentu saja Indah tidak mau tidur denganku. Ia tidur sama May. Tapi tidak aku izinkan. Aku meminta May tidur bersamaku. Pokoknya aku tidak suka dia ada temannya. Bapakku menasihati, tidak boleh seperti itu. Kasihan Indah, tidak punya ayah. Dia harus kuliah.

"Tapi dia tidak baik."

"Maisa lebih tidak baik, jambak rambut Indah."

"Biar dia tau rasa."

"Rasa apa?"

"Rasanya tidak disukai orang."

"Maisa tidak suka Indah? Karena Indah tidak suka tinggal di rumah kita?"

"Iya."

"Ya, berdoa kepada Allah supaya Allah buat hati Indah suka tinggal di sini. Bukan dijambak."

🏚

***

Kejadian penjambakan rambut Indah adalah kali pertama dan terakhir. Setelahnya, aku tidak pernah menyakiti dia lebih dari itu. Bapak mengancam akan membuangku kalau melakukannya lagi. Indah tidur di kasurku dan aku tidur di kolong jembatan kalau sampai itu terjadi lagi.

Aku pun berjanji kepada bapak. Bukan karena sadar itu perbuatan tidak baik, tapi aku takut tidur ditemani Mbah Moein di kolong jembatan. Mbah Moein siapa, aku juga tidak tahu. Ibu suka memanggil nama itu buat menakut-nakutiku. Mbah Moein, ini lhooo Maisa di sini, bawa ajaa .... Teman Grandong dan Maklampir lah kurang-lebih Mbah Moein.

Hari demi hari dilalui Indah dan Paklik Sis di rumah kami. Ibu membagi tugas dengan merata. Aku masih menyapu. Maggy tidak lagi menanak nasi. Tugasnya berpindah tangan ke Indah. Tugas Maggy kali ini mengepel. Indah mendapat tugas menanak nasi dan menyetrika. May membersihkan kamar mandi dan mencuci baju. Paklik Sis mencuci piring dan merawat kolam lele.

Kami pun merasa Indah sudah ikhlas menerima kenyataan harus tinggal bersama kami. Terlihat dari raut mukanya yang tidak jutek lagi. Ia bahkan punya girl area bersama May. Di bawah pohon mangga. Setiap libur, mereka selalu menghabiskan waktu merumpi berdua di tempat itu. Tidak ada yang boleh bergabung.

Meski pernah aku jambak, dia tidak takut tetap berbagi kasur denganku. Kadang kami juga bertukar baju. Aku pernah pula diajak ke kampusnya. Dikenalkan dengan teman-temannya sesama calon perawat.

Lihat selengkapnya