Atap Rumah Maisa

Yudha Mahawani
Chapter #7

Oh, Basket!

"Buk, gimana masuk SMP nanti? Maisa gak bisa rumus matematika kecepatan."

"Bisa."

"Susah."

"Enggak."

"Pak Tono berkendara sepeda motor dari kota A pukul 08.00 dengan kecepatan 80 km/jam dan tiba di kota B pukul 10.00. Pak Banu berangkat dari kota B pukul 7.30 dengan kecepatan 75 km/jam dan tiba di kota A pukul 10.30. Jarak kota A dan Kota B 80 km. Pukul berapa Pak Tono bertemu Pak Banu?"

"Jarak J, kecepatan K, waktu W."

"Itu aku tau."

"Nanti ibu belikan soal yang ada kunci jawabannya."

"Kok, orang itu tau Pak Tono dan Pak Banu bertemu? Ketemu di mana? Ada urusan apa? Pak Banu juga, naik apa?"

"Orang itu siapa?"

"Itu yang cerita di soal."

"Embuh, Sa."[1]

***

Berseragam putih-biru, pukul 11 siang, aku gowes sepeda ke sekolah. Di bawah terik matahari yang panas. Kelas 1 masuk siang. Bergantian dengan kelas 2. Bel berbunyi pukul 12.00. Setidaknya aku butuh waktu satu jam melakukan banyak hal sampai tiba di sekolah. Banyak hal entahlah, pokoknya ada saja yang aku lakukan.

Kelasku 1A. Jangan salah kira abjad pertama berarti kelas unggulan. Memang iya ada murid dari SD lain dengan Nilai Ebtanas Murni (NEM) tertinggi. Dia ada di kelasku. Tapi NEM terendah kesatu dan kedua juga di sini. Uke nama pemilik NEM tertinggi. Nayla pemilik NEM terendah. Dan aku pemilik NEM peringkat kedua dari bawah. Di atasku satu peringkat, ada teman sebangku, Agnes. Sebenarnya masih ada dua murid cadangan di bawah Nayla. Tapi mereka tidak jadi masuk karena memilih sekolah lain.

Jadi, fixed Nayla, aku, dan Agnes si trio-paling-belakang akan beradu otak dengan si paling encer dalam satu kelas. Kelas apa dong ini disebutnya?

Total semua ada 10 kelas. Berabjad A sampai J. Kelas A sampai E di halaman depan sekolah. Kami biasa menyebutnya kelas depan. Kelas F sampai J di halaman belakang. Kami menyebutnya kelas belakang. Sedang laboratorium, ruang guru dan kantor kepala sekolah, kantin, mushola, tempat parkir, serta toilet ada di bagian samping halaman sekolah.

Agak jauh memang jarak antara kelas 1A dengan toliet, sedikit berputar melewati kantor kepala sekolah dan ruang guru. Tapi tidak dibenarkan juga jarak yang jauh itu menjadi alasan ketika mules tidak melangkahkan kaki ke toilet. Mungkin memang sedang apes aja, di hari pertama sekolah, Maryam—teman kami—diduga pup di celana.

Heboh seantero sekolah. "Kelas A ada yang kecipirit!"

Awalnya tidak ada yang mengetahui siapa yang pup di kelas. Bu Mardi, wali kelas kami, kebetulan baru saja meninggalkan kelas setelah perkenalan. Sesudahnya, kami menunggu Pak Hasan datang. Pergantian jam inilah yang diwarnai kericuhan bau tak sedap. Tobiin tiba-tiba berceletuk sangat lantang tentang aroma aneh yang menusuk hidung kami. Aprias ikut bereaksi. Dika, Soni, dan Barkah menyusul berkomentar, menjadikan suasana akhirnya gaduh tidak terkandali.

"Ambu opo iki? Yiek gak enak!"[2]

"Sopo ngentut?!"[3]

"Metu, Rek, nek ngentut!"[4]

"Kok gak ilang-ilang seh ambue."[5]

Hari pertama, kami hanya tahu nama. Belum saling mengenal lebih dalam. Kami tidak bisa mengira-ngira siapa pembuang aroma jahanam di kelas kami. Selama jam Pak Hasan, semua bertahan dengan menutup hidung. Termasuk Pak Hasan.

"Anak-anak yang duduk di dekat jendela, tolong jendelanya dibuka lebar-lebar."

"Sudah, Pak."

"Sepertinya ada aroma yang menganggu. Apa ya ini, nanti Bapak minta Pak Bono penjaga sekolah untuk mengecek."

"Sekarang saja, Pak."

"Nanti saja. Kalian ...."

Belum Pak Hasan melanjutkan kalimatnya, bel istirahat menyalip. Pak Hasan mengakhiri pertemuan awal kelas kami. Seiring dengan langkah Pak Hasan ke luar kelas, kami pun berhamburan meninggalkan bangku-bangku. Aku berlari sampai pagar sekolah. Menyandarkan tubuh ke besi pembatas. Dari kejauhan, aku melihat teman-teman yang berdiri di selasar mendadak berbondong-bondong kembali mengarah ke kelas. Berjubel di pintu. Ternyata pandangan mereka menguliti Maryam, mengapa kamu tidak keluar kelas?

Aku tidak tahu apa reaksi Maryam saat teman-teman sekelas berspekulasi dialah tersangka utamanya. Pandanganku terhalang dinding kelas. Tuhan pencipta Maryam agaknya tidak mengizinkan Maryam ciptaan-Nya dipermalukan oleh ciptaan-Nya yang lain. Sore itu, Dia segera menurunkan hujan lebat.

Aku langsung berlari ke arah parkiran. Menjangkau tempat terdekat untuk berteduh dari hujan. Aku mengelap sedikit air yang sempat jatuh di muka dan seragamku dengan tangan. Dari parkiran, aku melihat semua temanku berjalan membawa tas menuju laboratorium ditemani Bu Mardi. Tentu saja aku tidak ikut serta. Karena, jika segera melintas dari parkiran bergabung dengan teman-teman, aku pasti basah kuyup.

Aku putuskan berdiam duduk di dekat salah satu sepeda motor yang terparkir. Aku memejamkan mata, menghirup aroma hujan dalam-dalam. Berharap di rongga paru-paruku, udara yang terkontaminasi bau di kelas berganti oksigen segar banyak-banyak. Aku memainkan jari di knalpot. Besi knalpot berbunyi bersaingan dengan bunyi hujan di atap seng tempat parkir.

Cukup lama aku berdiam diri. Hingga Pak Hasan datang berpayung mendekati motor yang knalpotnya aku ketok-ketok dengan jari. Milik Pak Hasan rupanya motor ini. Aku berdiri. Menyapa Pak Hasan.

Sambil menutup payungnya, Pak Hasan membalas sapaku. "Loh, kamu. Kenapa di sini?"

"Mau kembali ke kelas kehujanan, Pak. Kelas saya pindah ke lab."

"Oh. Pakai payung Bapak. Nanti tinggal saja di lab."

"Terima kasih, Pak."

Pak Hasan berjas hujan melaju dengan motornya. Di luar pintu gerbang, tampak Pak Hasan memesan becak. Becak bertutup plastik yang dipesan Pak Hasan lalu masuk ke halaman, mengarah ke kantor kepala sekolah.

Selasar kelas sepi mengikuti jam terakhir di kelas. Hanya aku yang masih berkeliaran. Berpayung milik Pak Hasan, aku berjalan ke kelas mengambil tas. Tapi tidak kudapati tasku di laci meja. Sepertinya sudah dibawa Agnes.

Tidak ada satu pun murid tersisa di kelas. Begitu pula Maryam. Aku berjalan mendekati bangkunya. Aku tidak melihat ada pup di bawah meja-kursinya. Tidak ada apa-apa selain bau semriwing kentut yang seolah hilang, pergi, dan datang lagi. Aku lantas keluar kelas menuju lab. Aku ketuk pintu dan masuk ke lab bergabung bersama teman-teman.

Agnes melambaikan tangan. Aku menyandarkan payung Pak Hasan di tembok dekat pintu. Aku tinggalkan di situ sesuai titahnya. Karena insiden tadi, jam pelajaran terakhir kami kosong. Bu Mardi dan Maryam tidak kami ketahui ke mana rimbanya. Kami hanya bermain-main, bercengkerama, dan bergosip di dalam lab tanpa melakukan hal yang berarti.

"Iya, Maryam itu kecipirit. Wes pasti."

"Tapi gak ada pup di kelas."

"Wes diresiki."[6]

"Pak Bono?"

"Paleng."

"Bukan Maryam. Maisa tadi ya gak ada."

"Tapi kan sekarang ada. Cuma Maryam yang gak ada."

"Maryam pulang naik becak. Kenapa coba?"

Aku ingin pulang. Mandi lalu makan mi kuah ditambah irisan cabai dan telur. Menyeruputnya panas-panas. Ditemani segelas susu hangat. Ah, namun aku masih harus menggowes sepeda terlebih dahulu sebelum keinginan itu terpenuhi.

Saat akhirnya pulang dan menuntun sepeda keluar pintu gerbang sekolah, ada pup bercecer terbawa air hujan. Beberapa anak kelas belakang yang tidak aku kenal, berseloroh. "Pup e Maryam. Pup e Maryam!"

"Ora, kui telek ayam."

***

Temanku dari SD tidak ada yang sekelas denganku. Pita di 1B. Danik 1F. Novi 1I. Septa 1F. Sedang teman SD-ku lainnya berpencar ke SMP lainnya pula. Karena kelasku dan Pita bersebelahan, kami masih sering pulang bareng. Jalan kaki ke pangkalan angkot dekat Pasar Baru atau nggowes bersama.

Di kelas Pita ada cowok populer. Banyak penggemarnya. Ia sering menceritakannya. Dari kelasku, Pita juga sering minta cerita tentang Uke. Bagaimana Uke di kelas, bagaimana Uke belajar, bagaimana Uke mencatat. Semua tentang Uke, Pita suka. Aku bertanya, apakah Pita tidak suka aku?

Pita sewot. "Iya, aku gak suka."

"Kenapa?

"Karena kamu suka remedi. Kemarin pelajaran PKn kamu remidi kan?"

"Iya."

"PKn remedi, yang benar saja. Kata Wheni, kamu remidi sampek tiga kali. Remedi pertama dan kedua sama Agnes. Remedi ketiga sendirian."

"Pasal-pasal. Gak apal."

"Pelajaran Bu Rukiah tata boga kamu juga nyontek. Rangkuman di LKS kamu sobek, kamu bawa ke kelas, kamu liat pas ulangan."

"Tentang abu gosok. Cairan pembersih piring. Apa? Aku gak ngerti."

"Ketahuan, sobekan LKS diambil sama Bu Rukiah."

"Apes. Banyak temenku sekelas melakukannya. Hanya aku yang ketahuan. Derita orang jujur."

"Aprias kamu tarik kerah seragamnya."

"Ngejek aku bodoh. Iya, aku sudah malu remedi PKn berkali-kali. Gak usah dipertegas dengan mengucapkan 'Remedi teros, makane sinau.'[7] Ngajak perang dia?!"

"Barkah kamu tampar waktu upacara di lapangan."

"Barkah baris di paling depan. Tobiin bilang celana Barkah kependekan. Aku ikut memberi tanda sejengkal dengan tangan, becanda aja. Barkah kesal, lalu pukul aku."

"Kan kamu juga salah."

"Aku becanda, dia malah mukul. Ya aku balas lah Barkah. Pukul-pukul cewek. Aku tampar aja dia."

Bagaimanapun, aku berjanji kepada Pita untuk tidak nakal lagi. Rajin belajar biar pintar seperti Uke. Aku tenangkan Pita, aku akan jadi kuda hitam mengejar Uke yang sudah berada sangat jauh di depan. Aku juga sesumbar, suatu hari nanti namaku pasti muncul di selebaran peringkat pararel kelas waktu terima rapor. Pita mengamini. Sayangnya, itu berlangsung masih lama. Saat pembagian rapor kelas satu ke kelas dua, masih tetap nama Uke di posisi paling atas. 😝

Boro-boro peringkat pararel dari semua kelas. Dengan teman sekelas saja ancur-ancuran. Tapi lumayanlah, sudah tidak stagnan di atas Nayla di bawah Agnes. Agnes terpuruk di posisi paling bawah. Alasannya, baru punya adik baru. Mengasuh adik, sehingga tidak sempat belajar.

Ehm, tapi aku tahu saat itu, masih kelas 1 SMP, di kala kami bingung memilih ekskul, mengeluh lupa mengerjakan PR karena sepagian mantengin Nadia Hutagalung di MTV Land, Jamie Aditya di MTV Most Wanted, dan Sarah Sechan di MTV Ampuh, Agnes sempat banget pacaran dengan pelajar STM kelas 3 jurusan bangunan.

***

Kelas dua nanti, aku bertekad tidak ingin ikut ekskul pramuka. Banyak sandi, kode, isyarat yang harus aku hapal. Mumet akunya. Tinggal manggil Maisa gitu aja, pakai pluit. Bunyi pluitnya beda-beda pula. Harrrrhh, kebanyakan aturan. Pusing. Kwkkwkw.

Ibu memintaku masuk ekskul KIR. Kelompok Ilmiah Remaja. Dengan harapan, aku tertular tekun seperti teman-teman lainnya yang saintis sekolah.

"Yani anak teman ibu, temanmu di kelas belakang itu, pinter loh. Ibu bangga kalau punya anak pintar kayak dia."

"Qakh."

"Anak ibu bisa dapat beasiswa, kuliah ke luar negeri."

Lihat selengkapnya