Liburan semester, Maggy dan May pulang ke rumah. Maggy kuliah jurusan hubungan internasional di Jogja. Lalu May, begitu lulus S1 psikologi di Solo, menyusul Maggy ke Kota Gudeg untuk melanjutkan S2 jurusan yang sama. Praktis, di rumah sehari-hari, tinggal aku bersama bapak-ibu. Kemungkinan besar aku juga akan bergabung bersama kedua kakakku selepas SMA. Ibu ingin aku meneruskan profesinya. Tapi bapak melarang. Aku lebih cocok di ilmu sosial, katanya. Bapak memintaku kuliah filsafat. Aku bilang oke, tapi di Bandung. Terobsesi film Petualangan Sherina, aku ingin melongok Observatorium Lembang.
"Jauh-jauh ke Bandung cuma mau ke Observatorium Lembang. Berlibur saja, tidak perlu menetap," kata bapak.
Aku meringis. Padahal aku sudah membayangkan jadi Sherina berpetualang di Kota Kembang, lalu ketemu Sadam—aku siap menyelamatkan Sadam dari penculikan. Hihihi.
"Ke Jogja sama May dan Maggy!" Meski memerintah tanpa ampun, aku tidak merasa bapak diktaktor. Ya, karena aku memang tidak ada ide lain. Toh, ide bapak menurutku tidak salah. Meski persepsi orang-orang kuliah filsafat itu kalau tidak gila, ya tidak punya pekerjaan.
"Kuliah itu mencari ilmu, Maisa. Ijazahmu tidak menentukan pekerjaanmu. Ilmumu menentukan siapa kamu."
Aku mengangguk. Sangat mengerti wejangan bapak. Dia membesarkan hatiku. Jika sampai menjadi sarjana pengangguran, aku tetap anaknya yang membanggakan. Gaji besar-kecil, bagi bapak, tergantung seberapa dekat aku berteman dengan Malaikat Mikail. Berdasarkan pengakuan ibu-bapak, sebenarnya tidak ada budget juga buat May melanjutkan S2. Tapi tidak disangka ibu mendapat warisan keluarga dari hasil menjual tanah dan sawah milik Kakung Subardi. Cukup untuk dihabiskan tiga mahasiswa menuntut ilmu di Jogja.
Kampus-kampus di Jakarta tidak masuk daftar. Karena May dan Maggy ada di Jogja, itu satu-satunya pilihan. Titik. Aku ingat, tempat kos May kira-kira ada di depan Masjid Kampus. Kampus filsafat ada di samping kosan May. Dan kampus psikologi May bersebelahan dengan filsafat. Apakah bapakku tidak setega itu melepas anaknya yang ADHD? Mungkin demikian.
***
May dan Maggy tidak pulang berdua saja. Mereka naik kereta beramai-ramai dengan teman-teman May. Teman-teman May akan ke Bromo dan Bali. Mereka ikut mampir ke rumah. Maggy didaulat menjadi tour guide. Kebetulan pacar Maggy ada di Bali. Kuliah di sana. Mereka menjalin hubungan jarak jauh. Tapi ya, meski punya pacar, Maggy tetap senang tebar pesona. Semester lalu, dia sengaja pakai tas sekolahku untuk menarik perhatian cewek-cewek di kampus. Semester ini, tas tersebut sudah sah menjadi miliknya.
"Tas Teddy Bear buat aku ya, Dek."
"Hoh?"
"Cewek-cewek gumush aku pakai tas Teddy Bear."
"Are you crazy?"
"Absolutely."
"Itu tas cewek!"
"Ini jimat untuk memikat hati cewek-cewek."
Ibu-bapak tidak mengizinkan aku ikut ke Bromo. Sebab, sedang ada ujian. Setelah ujian, baru aku diperbolehkan ikut ke Bali. Ibu dan aku naik kereta ke Banyuwangi. Menunggu rombongan May dan Maggy datang dari Bromo. Semua transit di rumah peninggalan Iyang dan Kakung sebelum esoknya bersama-sama naik bus menyeberang Selat Bali.
Selama di Bali, bapak berpesan agar aku tidak berenang di pantai karena dulu waktu piknik SD ke Pantai Popoh, aku sempat terseret arus. Untung Danik menarik tanganku. Aku gelagapan. Sempat meminum air laut dalam jumlah banyak. Bu Sri memberi pertolongan pertama, kemudian air aku muntahkan. Aku selamat. Tidak lagi sesak napas. Hanya hidungku terasa sangat panas.
Aku sungguh senang di Bali. Bermain pasir di Kuta. Berjalan kaki bersama bule-bule. Belanja di Pasar Sukowati. Mengunjungi penyu dan kura-kura di Tanjung Benoa. Melihat kecak di Ulu Watu. Surga dunia! Ibuku tidak ikut, stay di rumah masa kecilnya. Ditemani adik perempuannya, ia memasak serundeng. Kelapa diparut lalu disangrai sampai kering. Juga memasak pepes cumi dan ikan nus.
Adik perempuannya tinggal di rumah itu sendirian sekarang. Tiga anaknya bekerja semua di Jakarta. Bulikku sering didatangi debt collector karena banyak utang. Sebagai guru pegawai negeri di salah satu SD, seharusnya bulikku hidup sejahtera. Tetapi slip gajinya tertera minus.
"Nggo opo utang-utang kui? Anak telu yo ra ono seng kuliah. Indah dikuliahne malah kabur."[1]
Bulikku hanya menangis meminta maaf. Selama kami liburan di Bali, ibuku mengurusi utang-utang bulik. Bapakku menjual motor vespa tuanya. Uang hasil penjulaan vespa diberikan kepada ibu di Banyuwangi.
"Tutupen utang koperasi sekolahmu. Minimal gajimu pulih, gak defisit maneh."[2]
"Matur suwun Mbak Murti ...."
Bulik memeluk ibuku. Jauh 140 kilometer ke arah timur, anak-anak ibu tidak ada satu pun yang menyaksikan adegan haru kakak dan adik perempuan ini. Kami tetap bersenang-senang di Bali. Bapak dan ibuku: 🤫 Kebahagiaan kami adalah yang utama.
***
Pulang dari Bali, teman May bernama Mbak Dian dan Mbak Silvi tinggal di rumah sampai liburan semester selesai.
"Dek, Sabtu bolos aja. Kita hiking ke Gunung Kelud," ajak Mbak Silvi dan Mbak Dian.
"Oke, siapa takut. Jalan kaki yaa, dari bawah sampai atas."
"Emang ada angkutan?"
"Ada kereta kelinci dari parkiran sampai pos pemantauan."
"Oh, ya udah, turunnya aja naik kereta kelinci."
"Siip."
Pendakian dimulai. Aku, May, Mbak Dian, dan Mbak Silvi naik angdes dari Pare ke Wates. Wates adalah desa terdekat dengan Gunung Kelud. Dari pemberhentian angdes di Wates, kami naik ojek ke parkiran pos masuk Gunung Kelud. Ternyata bapakku menyusul dengan mengendarai motor dan malah tiba lebih dulu. Ia mengobrol dengan temannya di pos masuk. Kami dibiarkan masuk tanpa membayar tiket.
"Ditraktir Pak Suradi. Nanti di atas cari Pak Suradi aja kalau ada apa-apa."
Kami tersenyum ke arah yang disebut bapakku Pak Suradi. Siapa sebenarnya Pak Suradi? Bodyguard kami? Orang kepercayaan bapakku? Seperti pejabat saja pergi dikawal orang kepercayaan.
Kami tidak menemukan jawaban soal siapa Pak Suradi. Dan membiarkan itu menjadi misteri. Kami hanya fokus, kalau ada apa-apa, kami harus datang ke Pak Suradi. Separuh perjalanan, Mbak Silvi mengeluh kecapekan. Kami memutuskan beristirahat. Memakan bekal yang kami bawa dari rumah. Usai 30 menit beristirahat, kami melanjutkan perjalanan. Banyak motor yang mendahului.
"Ngapain jalan, Mbak? Naik motor aja enak."