Aku tidak lagi mengajar di kelas. Rumah Marco menjadi tujuanku setiap hari. Ibu kosku, Tante Sofyan, bertanya apakah aku baik-baik saja. Biasanya sibuk dari pagi sampai sore di sekolah bersama banyak murid, sekarang hanya dengan Marco seorang. Ia juga mengkhawatirkan keuanganku. Apakah cukup hanya mengajar satu anak di rumah.
"Ini masih liburan sekolah, Tante. Drilling Marco baca, tulis, hitung di rumah. Nanti kalau sudah masuk sekolah, aku menemani Marco di kelas."
"Lho, boleh?"
"Boleh, Tante. Namanya shadow teacher."
"Berapa gitu gajinya?"
"Saya deal dengan mamanya setara dengan gaji Sekolah 01, Tante. Mamanya oke."
"Alhamdulilah kalau gitu. Pokoknya Maisa jangan sampai kekurangan."
"Iya, Tante."
"Diusahakan nabung. Buat beli apa yang ingin dibeli."
"Pengin haji, Tante."
"Ikhtiarkan untuk itu. Insya Allah, diijabah."
"Amin, terima kasih Tante."
Tante Sofyan tinggal bersama anak bungsunya mengelola bisnis kos-kosan. Tiga anaknya yang lain sudah berumah tangga dan menetap di kota lain. Cucunya delapan. Almarhum suaminya dulu pejabat Badan Usaha Milik Daerah. Selain aktif kajian bersama ibu-ibu kompleks di masjid, Tante Sofyan rajin senam aerobik di Taman Bungkul. Usianya 65 tahun. Ia dijuluki Neli, si nenek lincah.
Sukanya mengajakku ke pasar loak, Gombong. Dekat International Trade Center (ITC) dan Pasar Atom. Mencari barang thrifting. Prinsipnya, tidak apa-apa bergaya sosialita, asal belanjanya di Gombong. Dijamin tidak akan pailit, apalagi sampai terlilit kartu kredit. Enggak akan. Tidak ada penjual yang menerima kartu kredit di Gombong. Padahal, sebagai pengusaha kos-kosan, mudah saja bagi Tante Sofyan shopping di mal. Namun itu tidak ia lakukan. Ia penganut aliran yang mahal badan, bukan yang dikenakan. 🥰
Anak bungsunya sudah menikah namun belum dikaruniai momongan. Adisti namanya. Guru SD juga di Sekolah Jingga 01. Kami teman seangkatan masuk SD Jingga. Waktu open recruitment—ketika itu dia belum menikah—kami berkenalan. Saat tahu sama-sama diterima, kami senang. Ia menanyaiku apakah aku sudah punya tempat tinggal selama On the Job Training (OJT). Kalau belum, ia menawariku mengekos di rumahnya. Aku setuju. May lantas mentransfer uang 300 ribu rupiah sebagai pembayaran awal. Kata May, tinggal seatap dengan induk semang lebih aman untukku dibanding kosan yang hanya dijaga satpam. Aku sepakat. Di samping itu, aku jadi punya teman. Di rumah dan sekolah, aku dan Adisti selalu bersama-sama. Kami bagaikan botol dan tutupnya. Sampah dengan tempat sampah.
Selain aku dan Adisti, ada tiga teman seangkatan kami lainnya. Kami membuat geng. Namanya Pancawarna. Maisa suka kuning. Adisti suka ungu. Lyli suka biru. Mayang suka hijau. Bambang suka merah.
"Nama gengnya kayak toko cat."
"Iyo, iki gak elite blas."
"Orapopo. Kalau ganti Girlsquad, kasian Bambang."
"Iyo, Rek. Aku huduk[1] Ardi Bakrie iki."
"Lha sopo? Sule?"
"Hahahhaha."
Geng kami sangat populer di sekolah. Di awal tahun ajaran pertama, hanya Lyli dan Mayang yang sudah menikah. Pengantin baru. Aku datang ke pernikahan Lyli dan lupa datang ke pernikahan Mayang. Bagaimana ceritanya lupa datang ke pernikahan bestie? Se-geng pula. Hanya aku yang tidak ada di foto bridesmaid! Mayang mengirim pesan menanyakan ke mana aku belum datang-datang. Aku santai menjawab, "Di rumah, mencari ayam petelur bapakku yang hilang."
Bersisa tiga orang yang lajang di Pancawarna, aku, Adisti, dan Bambang. Kami terlibat cinta segitiga. Bambang memiliki postur tubuh atletis. Putih bersih. Sedang aku dan Adisti sama-sama berkulit gelap dan gendut. Tapi kami memiliki senyum yang manis. Semanis kembang gula di pasar malam. Aku breadcrumbing Bambang. Adisti tidak mau kalah. Ia terus menempel, love bombing dan benching Bambang. Anehnya, Bambang juga tidak risih kami pepet terus. Pada akhirnya Adisti memilih menikahi pacarnya yang dari Madura. Sedang Bambang menikah dengan teman kuliahnya, gadis asal Lamongan. Berakhir aku jomblo sendirian.
Kini Lyli ibu dua anak. Mayang ibu tiga anak. Bambang ayah dua anak. Adisti galau menanti anak. Ditambah lagi akhir-akhir ini suaminya yang sering kerja ke luar pulau, ia semakin ingin mengakhiri pernikahannya. Kami mencegah. Pancawarna belum mengentaskan aku dari kejombloan, mau nambah lagi jomblonya. Itu merepotkan.
Setelah aku tidak lagi di Sekolah Jingga, Pancawarna bubar. Di tahun aku resign, Adisti dipindah ke SD Jingga 02. Mayang ke 03, dan Lyli bertahan seorang diri di 01. Bambang menyusul mundur setahun setelah aku. Karena balasan surat pengunduran dirinya dari yayasan berbunyi normal, menyetujui pengunduran diri Saudara Bambang, tidak berbunyi memberhentikan dengan hormat seperti surat balasanku, Bambang tidak mendapat pesangon. Dinar, partner sekelasku, juga kemudian resign. Surat balasan pengunduran dirinya sama dengan Bambang. Keduanya hanya menerima uang jasa.
***
Aku mengendarai motorku ke rumah Marco. Setiba di sana, Marco merengek, merayuku untuk tidak drilling baca dan matematika lagi. Aku bergeming. Tetap mengajarinya calistung. Baca, tulis, hitung. Tapi Marco kesal. Belajar lagi ... belajar lagi. Ketemu Bu Maisa lagi.
"Pulang sana!"
"Enggak mau. Bu Maisa masih mau uang dari Mama."
"Kamu gak seru."
"Bu Maisa, buka kamu. Kamu itu untuk teman."
"Aku bukan temanmu?!!?? Kenapa, kenapa .... kamu gak mau jadi temanku!!????!!!"
Marco menangis.
***