Atap Rumah Maisa

Yudha Mahawani
Chapter #10

Malang

Marco kemudian benar tidak lagi memakai shadow teacher di kelas 3. Namun Mama Marco tetap menginginkan aku mendampingi Marco di rumah. Maka, seusai jam sekolah, aku tetap ke rumah Marco. Membimbingnya mengerjakan semua paper yang tidak terselesaikan di sekolah. Ataupun kalau selesai, wali kelasnya tetap akan membawakan paper dengan soal yang sama untuk Marco kerjakan lagi di rumah. Jadi Marco mengerjakan soal dua kali, apa tidak bosan? Tidak. Mengerjakan soal yang berulang dapat melatih konsentrasi dan pemahaman Marco.

Berbeda dengan Ali, muridku selain Marco yang kudampingi di rumah. Sore hari ke rumah Marco, malamnya aku di rumah Ali. Ali muridku sejak toddler di TK Jingga. Kelas 3 ke kelas 4, Ali tidak naik. Satu semester Ali mengulang di kelas 3, mamanya lantas memindahkan ke sekolah yang sama dengan Marco. Mama Ali dan Mama Marco berteman. Ali autis. Mama Ali mengetahuinya saat memeriksakan Ali ke Rumah Sakit Anak Beruang Kecil. Saat aku pertama kali menjadi pendamping Ali di rumah, Mama Ali pun mengajakku menemui dr. Edo—dokter tumbuh kembang di RSA Beruang Kecil. Darinya aku tahu bagaimana harus berinteraksi dengan Ali.

"Minta dia melihat mata saat mengajak berbicara. Karena anak autis memiliki eye contact yang rendah."

"Kalau tidak terjadi eye contact, Dok?"

"Pegang pipinya dengan kedua tangan, arahkan mata bertemu mata. Tidak perlu lama, namun sering."

"Baik, Dok."

"Dia juga akan repetisi kata. Intervensi terus dia supaya mengucapkannya sekali saja. Memory graph-nya bagus. Bisa sekali baca, dia hafal."

Diagnosis dr. Edo seratus persen akurat. Sekali membaca surat Yasin, Ali langsung hafal. Karena dia sekali baca hafal, metode hafalan surat pendeknya aku balik. Aku yang melafazkan, dia yang mengoreksi bacaanku. Itu juga berlaku saat mengerjakan soal. Jika ada soal yang berbunyi sama dan aku pernah menuliskan jawabannya, ia akan ingat jawabannya sampai setitik-komanya. Sehingga kepada Ali, aku tidak pernah memberikan pengulangan pengerjaan paper sebanyak dua kali seperti Marco. Ali akan bosan. "Kok, ini lagi."

Di samping itu, Ali kesulitan mengenali ekspresi. Senang, sedih, kecewa, cemas, takut, kaget, sulit dibedakannya. Aku print semua gambar bentuk emosi di kertas besar. Aku tempel di dinding. Aku tunjuk dan terangkan ke dia.

"Ini senang. Kalau mendapat hadiah, Ali senang."

 "Aku lho gak dapat hadiah."

"Misal. Nah, ini sedih."

"Gak mau, aku gak mau sedih!!!"

"Iya, tapi ini gambar sedih. Oke."

"Oke."

"Ini kecewa. Kalau Bu Maisa janji ke Ali, lalu tidak menepati. Ali akan kecewa."

"Gak boleh, itu tidak baik."

"Iya, contoh Ali. Hanya contoh. Kalau kayak gini, hah. Ini kaget. Coba gimana kalau Ali kaget?"

"Apa."

"Kaget, hah gitu, tirukan Bu Maisa."

"Hah kaget."

"Hihi. Datar sekali. Oke kita lanjutkan. Ini takut. Lihat film horor Ali takut, gak?"

"Takut."

"Kalau naik motor tidak pakai helem bertemu polisi, Ali takut tidak?"

"Takut."

"Katahuan berbohong, Ali takut tidak?"

"Aku tidak berbohong Bu Maisa ...."

Bepergian ke Batu Secret Zoo di Malang. Sepanjang perjalanan naik kereta Surabaya-Malang, Ali tidak berhenti berbicara. Dan tentu diulang-ulang. Juga, Ali jago menghafal namun tidak menalar.

"Nanti aku ke Secret Zoo?"

"Iya."

"Bu Maisa ... nanti aku lihat gajah?"

"Iya."

"Nanti aku ke Secret Zoo ya."

"Ali sudah cukup. Sekali saja. Aku ke Secret Zoo."

Tidak ada balasan dari Ali. Ia melihat pemandangan ke luar jendela kereta.

"Itu gunung."

"Gunung apa itu, Bu Maisa?"

"Arjuno."

"Ada Gunung Arjuno ta nanti di Secret Zoo."

"Ada gunung tapi bukan Arjuno. Sudah Ali sekali saja tidak perlu diulang-ulang."

Ali menatap Gunung Arjuno di kejauhan.

"Siapa yang menciptakan gunung, Ali?"

"Allah."

"Pas kita lagi jalan di gunung lalu di depan kita ada jurang, apa yang harus kita lakukan, Ali?"

"Lompat aja."

"Jangan, mati dong kita nanti. Balik badan menjauh dari jurang, cari jalan yang aman. Paham?"

"He-eh."

Di depan loket, aku kehilangan Ali. Jadi aku meminta Ali yang membeli tiket. Aku memberinya tiga lembar uang seratusan ribu rupiah. Aku instruksikan dia membawa uang ke loket, pesan tiket untuk dua orang. Uang Ali pas, sehingga tidak perlu menunggu kembalian. Ali menjalankan tugasnya, berjalan ke arah loket. Dari kejauhan aku memantau Ali. Misi pembelian tiket berhasil. Sayangnya aku lupa menginstruksikan, setelah tiket di tangan, kembali ke Bu Maisa.

Merasa Ali sudah berhasil menjalankan misi, aku menunduk membuka tas mengambil topi dan payung. Ketika mendongak sambil mengangkat topi dan payung, Ali sudah tidak ada dari pandangan mata. Aku bergegas berlari ke arah loket. Menengok kanan dan kiri. Memutar badan menyisir jalan yang kemungkinan dilalui Ali. Nyaris aku tidak bisa bernapas. Jantungku berdegup kencang. Aku panik, takut tidak menemukan Ali.

Tapi aku teringat, Mama Ali memasukkan selembar kertas bertuliskan nama dan nomor teleponku dan mamanya. Aku masih punya harapan. Sambil terus melangkahkan kaki, aku berdoa di dalam hati memohon kepada ilahi supaya aku dipertemukan segera dengan Ali. Setelah berjalan menaiki anak tangga, aku berteriak memanggil nama Ali. Yang aku panggil tengah berdiri di salah satu toko oleh-oleh, asik melihat gantungan kunci dinosaurus.

"Ali. Ayo! Di dalam, ada kerangka dinosurus yang lebih besar."

"Kerangka?"

Lihat selengkapnya