Atap Rumah Maisa

Yudha Mahawani
Chapter #11

Senpi

Lebaran ini aku berencana dengan bapak merayakan di rumah Mbah di Lampung. Maggy sedang ikut kapal besar mencari ikan ke Ende. Nyusul ke NTT lebih mahal, pun belum tentu ketemu Maggy. Walau ketemu juga, buat apa jauh-jauh ke sana cuma menemani Maggy salat Idul Fitri. Kalau ke rumah Mbah Mi kan banyak saudara. Mempertemukan bapakku dengan adik-adiknya, mengantar ia tali asih dengan saudara-saudaranya.

Dari semua adik-adik bapak, ada satu adiknya bernama Yani yang belum pernah bertemu sama sekali. Adik lainnya pernah ke rumah. Jauh sebelum Paklik Sis, Bulik Sus juga sekolah di Pare. Malah sampai lulus sekolah teknik menengah, tidak seperti Paklik Sis yang berhenti di tengah jalan. Aku tidak punya ingatan lengkap tentang Bulik Sus karena waktu itu aku masih kecil.

Dari cerita ibu, Bulik Sus datang ke rumah saat aku berusia tiga hari. Bulik Sus sengaja datang untuk membantu bergantian menjaga aku. Saat selapanku, yaitu perayaan kelahiran bayi hari ke-35 dalam tradisi Jawa, keponakan ibu dari Banyuwangi, Tante Lusi namanya, turut datang. Membantu masak-masak untuk selamatan, esoknya Tante Lusi tidak mau pulang ke Banyuwangi. Menetap di rumahku dan sekolah barengan dengan Bulik Sus.

Mereka berdua jadi bestie. Satu kelas, satu pria yang ditaksir. Nah lho, yang awalnya bestie akhirnya pecah kongsi. Tengkaran dan musuhan. Kwkkwkw. Om Rudi, nama teman sekelas yang sama-sama mereka taksir. Masih dari cerita ibuku, Om Rudi suka ngapel ke rumah. Entah siapa yang diapeli, baik Bulik Sus maupun Tante Lusi sama-sama menemuinya, duduk di ruang tamu. Begitu terus setiap minggunya. Di Sabtu malam bakda Isya, keduanya selalu dandan menawan menyambut pujaan hati datang. Hingga suatu kejadian menghempaskan impian mereka semua.

Bapak-ibuku berencana menemui Om Rudi terlebih dulu sembari dua wanita pemujinya sedang membuatkan minuman di dapur. Hendak mengingatkan, jika serius, pilih salah satu. Bulik Sus atau Tante Lusi. Sudah lulus sekolah semua, tidak masalah jika hendak menuju pelaminan. Bapak-ibu memberi restu. Namun jika tidak dua-duanya juga tidak masalah. Hanya berteman tak jadi soal. Silaturahmi membuka pintu rezeki.

Belum rencana itu terwujud, terdengar suara gedebuk dari dapur. Tante Lusi berteriak minta tolong. Bulik Sus jatuh rupanya. Tapi kenapa jatuh? Jatuh dari mana? Apa yang tengah dilakukan Bulik Sus hingga jatuh ke lantai dan pingsan?

Pertolongan pertama diberikan kepada Bulik Sus. Tidak lama kemudian Bulik Sus siuman. Tapi segera menutup muka dengan bantal. Bulik Sus malu karena tercatat sebagai lulusan STM jurusan listrik namun kesetrum.

"Ngopo koe kesetrum?"[1]

"Air untuk membuat teh sudah mendidih. Kami berbagi tugas. Lusi mengaduk teh, aku mencuci panci. Saat membilas panci, lampu tiba-tiba mati." 

"Koe ganti lampu karo tangan teles?"[2]

"Ho-oh."

"Bocah edan."

Anak STM listrik coi, gak pakai ngelap dulu tangan yang basah langsung main pegang lampu tanpa mematikan arus listrik, taruh di mana muka kalau ketemu teman-teman, serta jajaran guru dan kepala sekolah.

Andai tidak balita waktu itu, pasti aku akan ikut terbahak-bahak di samping tubuh bulikku yang pingsan. Setelah kejadian itu, Om Rudi tidak pernah menampakkan diri lagi mengapel ke rumah. Sadar betapa onengnya bulikku atau dia takut ikut kesetrum juga, entahlah. Yang pasti tak lama sesudahnya, Bulik Sus dan Tante Lusi pun pulang ke rumah orang tua masing-masing.

***

Jika tidak ada aral melintang, Lebaran besok ini aku akan bertemu Bulik Sus di rumah Mbah Mi di Lampung. Bapakku ingin naik bus. Ia ingin transit ke Ngawi, ke pondok keponakanku, dan Semarang untuk menengok May dan Jenar. Aku berdalih jalur darat pasti macet. Mengidekan pulangnya saja transit-transit setelah Lebaran selesai. Santai tidak buru-buru.

Padahal, pulangnya aku juga belum tentu akan mau. Pegal woi, bisa dua hari lebih di bus. Aku pesan tiket pesawat Juanda-Raden Intan atas namaku dan bapak. Dan Raden Intan-Juanda atas namaku saja. Aku biarkan bapak sendiri napak tilas Lampung, Jakarta, dan menyusur sebagian Jawa.

Nahas, di hari keberangkatan, bukan aku yang berulah, melainkan bapakku. Untungnya masih di dalam bus Damri yang membawa kami dari Terminal Purabaya menuju Bandara Juanda. Ongkos bus berdua 60 ribu rupiah. Aku keluarkan uang lima puluh ribuan. Sepuluh ribunya lagi aku minta bapak. Bapakku membuka tas pinggangnya. Waktu menarik resleting tas, Allahu Akbar! Aku melihat senjata api alias senpi di dalam tas pinggangnya. Aku buru-buru menutup tas pinggangnya dan berbisik, itu ilegal. Bapakku beralasan untuk keselamatan diri. Aku balas dengan menakut-nakuti ia bisa saja terkena pasal pidana kepemilikan senjata api ilegal.

"Punya siapa?"

"Pak Suradi."

"Jadi, Pak Suradi pentraktir kereta kelinci, pemasok senpi ilegal????!!!"

"Ngawur."

"Terus???"

"Wonge nitip, rumah kosong takut hilang ada yang curi, Bapak bawa. Buat keselamatan juga."

"Masuk Juanda, Bapak digelandang petugas habis ngelewati pintu X-Ray!"

"Lhoh, terus pie?"

Kepalaku cenut-cenut. Sepanjang bus Damri melaju, aku belum menemukan ide mau kuapakan senpi itu. Mampir kos Tante Sofyan tidak memungkinkan, bisa ketinggalan pesawat ke Raden Intan. Satu-satunya jalan yang tersedia hanya layanan kirim barang via ojek daring ke rumah Tante Sofyan, tapi ini pun berisiko. Telepon teman minta bantuan untuk mengambil, sudah bisa dipastikan tidak akan ada yang mau. Selain mereka sibuk, Juanda jauuuhhh. Buat apa juga belain senpi yang tidak ada kaitannya sama mereka. Kamu mau kami masuk penjara, Maisa. Hah?! Kkwkwkwk. Lebih ribet lagi. Duh, bapak, kenapa sih punya ide bawa-bawa senpi segalaaaa .... Gerammmhh.

Kalian tahu apa yang terjadi selanjutnya? Aku turun dari bus Damri setiba di bandara. Dan melihaaatttt sosok yang sangat aku kenal keluar dari pintu kedatangan. Aku lepaskan tas pinggang yang dipakai bapak, aku minta bapakku menungguku di kursi bandara. Segera aku berlari mendekati sosok yang sangat aku kenal.

"Novi!!!!"

"Heh, Maiso, ngopo neng kene?!"[3]

"Tolongin!!!"

"OPOOH!"

"Aku kape neng Lampung, bapakku lha kok nggowo senpi. Gawake mulih senpie!!!!"[4]

"Hah? HAHAHAHHAHA! YA AMPUUN!"

"Ojo ngguyu, darurat, cepet."[5] Suaraku tertahan pelan, memberi Novi kode agar orang lain tidak mendengar.

"Ndi, kene senpie."[6]

Aku keluarkan barang-barang bapak dari tas pinggang. Aku masukkan tasku. Dari tasku, aku keluarkan kunci rumah. Tas pinggang berisi senpi dan kunci rumah berpindah tangan ke Novi. Temanku SD sampai kuliah. Sampai hari ini!

"Leboke omah. Nek ora sempet, yawes titip sek."[7]

"Oke. Bali ngomah kapan?"[8]

"Minggu ngarep. I love you!"[9]

"I love you too."

Berpelukan, lalu kami berpisah. Ia menuju mobil jemputannya. Aku berlari ke bangku tempat bapakku menunggu. Memapahnya berdiri dan menggelinding koper kami ke masuk bandara. Check in. Wajah bapakku tegang. Takut sungguhan digelandang lalu masuk penjara.

"Tenang, wes aman senpie."[10]

"Kui mau nek ora ketemu Novi pie?"[11]

"Tak buwak, repot amat."[12]

"Tetep konangan petugas."[13]

"Petugas kebersihan, paling diloak."

"Ohh.

***

Cukup lama kami transit di Jakarta. Menjelang malam kami baru tiba di rumah Mbah Mi. Rumah tampak sepi. Hanya lampu luar yang menyala. Lampu ruangan dalam sudah dimatikan. Padam. Gelap. Kami mengetuk pintu, memanggil-manggil nama Mbah Mi. Bapakku berjalan ke samping rumah. Melihat pintu samping juga ditutup. Semua pintu dikunci. Aku dan bapak duduk di kursi depan. Mengobrol. Menunggu sampai ada yang membukakan pintu.

"Bilang sama Novi, lusa senpinya diambil Pak Suradi."

"Ketemu di mana?"

"Di pingir jalan aja, dekat rumah Novi."

"Jalan raya, depan Toko Sepatu Budiman, jam 10."

Aku sedang mengetikkan pesan untuk Novi bersamaan dengan suara perempuan paruh baya membalas salam. Aku tidak melanjutkan mengetik pesan. Memasukkan gawai ke tas. Terdengar suara anak kunci diputar. Bulik Yani membuka pintu, sontak menghambur ke pelukan bapakku. Menangis sejadi-jadinya. Bulik Ti di belakang Bulik Yani ikut menangis. Aku ikut menitikkan air mata. Ah, pemandangan haru. Aku memutuskan masuk saja. Membiarkan mereka melepas kangen.

Misyel, sepupuku anak Bulik Ti, mengantarku ke kamar depan. Aku meletakkan koper satu-satunya milikku dan bapak di ujung ranjang. Aku keluarkan oleh-oleh yang tak banyak dari tas. Aneka sambal kemasan dan petis permintaan Bulik Ti, si juru masak di rumah Mbah Mi. Mbah Mi dan Mbah Min sudah tidur pulas. Tidak kami bangunkan. Usia mereka hampir seratus. Percuma juga membangunkan, penglihatan mereka sudah tidak jelas. Sulit mengenali mana aku, Maisa cucunya, mana bapakku. Esok pagi saja, saat matahari terbit kami memberi salam.

Misyel membuka pintu belakang. Menunjukkan toilet yang bersebelahan dengan kamar mandi. Aku urungkan niat buang hajat, dan langsung mandi saja. Menggosok daki-daki sisa polusi kendaraan sepanjang perjalanan. Bapakku masih mengobrol dengan kedua adiknya, Bulik Yani dan Bulik Ti. Aku tidak mendapati Pak Lik Sis dan Bulik Sus. Ternyata mereka tidak pulang ke rumah Mbah di Lebaran ini. Aku berpamitan tidur kepada mereka, mengeluarkan selimut dari koper, mengirimkan pesan yang tadi tertunda ke Novi, lalu memejamkan mata. Mengabaikan pesan balasan Novi: Oke, Baby. Sleep tight. Gak usah pulang, jadi gajah aja di Way Kambas.

***

"Mbah Mi, Mbah Min, ini aku Maisa. Ini bapakku, Sukar."

Mbah Mi tersenyum. Memelukku. Namun tidak dengan Mbah Min. "Sopo koe, mosok putuku?"[14]

"Wuaduh. Angel iki. Cucunya Sukar."[15]

"Anake May opo Maggy?"[16]

"Haom."

"Anake Ken Arok, Mbah, aku."

Lihat selengkapnya