Atap Rumah Maisa

Yudha Mahawani
Chapter #13

Utang

Maggy menyusul kami lagi ke Jepara. Muter-muter saja dia kayak baling-baling bambu. Juga dia kayak Nobita, yang memelas meminta pertolongan Doraemon. Perjalanan Jepara-Semarang, Maggy tak henti-henti meyakinkan May dan Jenar agar meminjamkan uang untuk membeli mobil bak terbuka. Serasa dikejar mata elang, May dan Jenar mengiyakan.

Setiba di Semarang, dana cair. Uang dipindahtangankan dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Maggy menyetujui syarat yang diajukan May dan Jenar. Salah satunya, Maggy harus menyetor dua juta rupiah setiap bulan kepada Jenar—sebagai bentuk tangung jawab selaku peminjam. Konsekuensinya, jika tidak melunasi, ia kehilangan kebun warisan di desa. Kebun rambutan Maggy bakal berpindah ke tangan Jenar.

Maggy sepakat. Ia membubuhkan tanda tangan sebagai pihak kedua. Jenar menyusul tanda tangan sebagai pihak kesatu. Aku dan May ikut membubuhkan tanda tangan, bertindak sebagai saksi. Hari itu ikrar utang piutang Maggy dan Jenar sah terjadi. Jika tidak ada aral melintang, utang lunas dalam kurun waktu sekitar empat tahun ke depan. Sayangnya aral datang lebih cepat. Maggy hanya menyetorkan uang sesuai kesepakatan beberapa bulan di awal. Selebihnya dia mangkir dari tanggung jawab.

Aku sedang menonton tayangan televisi tentang pemilu. Pengamat politik yang diundang dalam gelar wicara tersebut memberikan pernyataan soal perpecahan anggota partai politik, "Tidak ada peperangan yang lebih mengerikan dari perang saudara." Kenapa related ya Allah. Ha!

"May, utang Maggy aku yang bayar bagaimana?"

"Kenapa kamu yang bayar??? Itu utang Maggy!!!"

Aku tidak menyangka May semarah itu. Aku kira May akan biasa saja menjawabnya. Ndak usah, biarkan Maggy yang bertanggung jawab. Bisa kan seperti itu. Tapi May marah besar. Aku belingsatan. Ngacir tak tahu mesti ke mana. Pokoknya menjauh saja dulu, memutus tali komunikasi, sampai May tidak lagi marah padaku.

Di tengah pelarian dari May, Novi datang. Berkeluh kesah tentang teman-teman yang menggunjingnya.

"Kamu harus temani aku jadi groomsmen Silvia nanti."

"Lah, aku gak diminta jadi bridesmaid, mana bisa?"

"Nanti aku bilang sama Silvia."

Silvia sepupu Novi. Ia akan menikah bulan depan. Novi jadi pendamping pengantin pria. Namun dia malas pulang kampung karena sedang digibahkan teman-teman sekelasnya waktu SMA. Novi merintis karier sebagai staf perusahaan di Bali. Belasan tahun menjadi staf, tiga tahun lalu ia mendapat promosi menjadi manajer di kota baru. Ia ingin membeli rumah yang lebih besar di kota baru. Rumahnya di Bali ia jual. Mobil mewah yang ia punya semenjak kuliah juga dijual. Ia tukar dengan yang lebih kecil.

Proses perpindahan aman, sesuai dengan yang ia rencanakan. Rumah baru lebih besar terbeli di kota baru. Sayangnya ujian tidak pandang bulu kapan datangnya. Entah kita siap menyambut dan menerimanya atau tidak. Sedang sibuk-sibuknya mengurus perpindahan, temannya di Bali meminjam uang. Ia berutang 25 juta rupiah. Katanya untuk keperluan keluarga. Novi yang baik hati tidak berpikir macam-macam. Ia transfer ke rekening temannya.

Hanya saja, belum utang si teman terbayarkan, Novi sudah harus membeli interior rumah. Ah, terlanjur diutangkan, tidak enak langsung meminta kembali. Kebetulan Za, temannya di desa, chat menanyakan kabar. Novi bercerita kepada Za bahwa ia sedang membutuhkan uang 25 juta rupiah. Tidak disangka Za bersedia meminjamkan uang.

Novi senang. Dengan anggapan nanti, begitu urusan temannya di Bali selesai, ia akan mendapat pelunasan dan ganti melunasi uang yang ia pinjam kepada Za. Novi bawa legal officer di kantornya pulang ke desa untuk mencatat utang dengan Za. Kesepakatan terjadi. Novi menjaminkan mobilnya kepada Za, 25 juta kemudian ada di tangan Novi.

"Terus masalahnya apa?" Aku bertanya kepada Novi serta cerita panjang utang-piutangnya.

"Masalahnya, temenku di Bali itu kabur. Gak bayar utang dia."

"Allahu Akbar. Terus???!!!"

"Itu kejadian tiga tahun lalu saat aku pindah dan udah lunas dengan Za gak lama setelah itu. Udah beres."

"Yang gak beres sampai aku harus jadi bridesmaid apa?!"

"Silvia bilang, pas lagi di salon, dia diceritain temenku sekelas, katanya aku bangkrut."

"Bahahhahahaa."

"Aku bangkrut karena menghidupi cowokku di Bali."

"HAAAAAAAAHHH. Hahahaha. Apes banget kamu …. Gak mau jadi bridesmaid di nikahan Silvia. Aku ora ayu. Gendut. Golek sing ayu kinyis-kinyis bae."[1]

"Emoh. Pokoe kudu koe!"[2]

Di waktu yang bersamaan Maggy juga mengirim pesan: Maisa, anterin aku ke Semarang. Aku mau minta maaf ke May dan Jenar.

Aku balas: Hem, wani piro?[3] Shadow mahal aku ini.

Ternyata aku tidak hanya shadow untuk murid-muridku, tetapi juga untuk dua pria ini.

***

Perang dingin antara aku dan May mulai memudar. Sudah mengobrol, namun kadang kala masih bersitegang. Maggy ingin meminta maaf secara langsung kepada May dan Jenar, namun takut. Aku, di satu sisi, mau-mau saja kalau harus mengantar Maggy ke Semarang. Tapi di sisi lain, aku khawatir juga, takut perang lebih besar berkecamuk. Hanya kutanya bagaimana kalau utang Maggy aku yang bayar saja May marah-marah, apalagi sampai mengantarkan batang hidung Maggy ke hadapannya, yakin aku bakal jadi rengginang di dalam blek Khong Guan. Remuuuk tak berbentuk.

"Kalau Maggy belum siap, lebih baik ndak usah datang." Demikian pesan May. Aku teruskan ke Maggy.

"Ya sudah. Nanti nunggu May gak marah lagi."

"Wah, itu keburu kiamat," godaku.

Dan lalu malah giliran Maggy yang marah. Loh, kok semua marah ke aku. Blokir saja sudah nomorku. Rempong banget kalian. Dewean wani![4] Aku mengomel seharian. Melampiaskan kekecewaan.

Aku curhat ke Novi namun tidak mendapat balasan. Aku ngemeng sendiri. Aku tanya Novi, kamu sayang aku gak?

Dia menjawab, sayang banget.

Berrr, dasar pembohong. Derita kayak gini aku dibiarkan sendirian.

Lha katanya dewean wani?!

Yo, kan di depan mereka!

Lihat selengkapnya