Atap Rumah Maisa

Yudha Mahawani
Chapter #14

Kandas

Aku ditaarufkan dengan kakak kelas semasa kuliah oleh temanku. Aku dengan sang kakak kelas tidak pernah saling kenal. Hanya tahu rupa. Temanku mengenalkan, kakak kelas orang yang pintar, sastrawan di jalan pedang. Rajin pengajian di masjid. Kalau aku sudah islah dengannya, May pasti cocok sama kandidat satu ini. Jalur langitan, kesukaan May.

Aku sampaikan ke temanku, aku oke. Sayangnya, malah si kakak kelas tidak oke. Pertama-tama masih merespons percakapan, lama-lama nomorku diblokir. Apa aku sangat mengganggu? Kwak. Ya, kakak kelas sudah menolak secara halus, namun aku maju terus pantang mundur. Mengajak ngobrol tentang Jessica Wongso, Rocky Gerung dan segala unek-uneknya, hingga drama Korea. Tetap saja, tidak ada yang dibalas.

Temanku memarahiku. Wong sudah ditolak kok tidak mundur balik kanan, malah sok asik mengajak ngobrol. Maisa, sadar Maisa.

Lha aku ya sadar, one hundred percent. Belum tahu aku ADHD saja sudah ditolak. Apalagi tahu? Mungkin ia akan kencang berdoa, semoga dijauhkan dari aku. Temanku menasihati supaya aku beranjak melupakan. Tidak setiap hari membahas dia dan dia lagi.

"Daripada gak ada bahasan."

"Sama Novi cintamu sana, lho."

"Gak aman, beda amin."

"Lah, udah baca Rumi masih galau iman aja."

"Ngantuk aku pas baca. Pokoknya, gimana ijab kabulnya sama bos KUD itu? Jabat tangan, bilang apa terusan dia?"

"Tanya Allah di sepertiga malam."

"Syukron."

***

Geng Pancawarna mengajak ketemuan. Kebetulan jam mengajarku banyak berkurang, tidak sepadat sebelumnya. Ali dan Ziney sudah SMA, malu didampingi lagi. Sedang Marco, ayahnya pindah tugas ke Papua.

Aku berangkat dengan Adisti ke warung penyetan dekat rumah Tante Sofyan. Lily, Mayang, dan Bambang sudah tiba duluan. Mereka sedang makan ayam penyet. Aku dan Adisti menyusul memesan menu yang sama. Kami merumpi tentang sekolah Jingga. Tetap membandingkan Bu Muara dan penggantinya, Bu Habibah. Protes orang tua terhadap pembelajaran, dan juga kasak-kusuk perpindahan Bu Habibah ke SD Jingga 04.

Lily, Mayang, dan Bambang saling bertukar cerita anak-anak mereka. Aku dan Adisti mendengarkan.

"Maisa, Kepala Sekolah Jingga 01 yang baru ngasih info ada taarufan massal. Kamu ikut, ya."

"Hem. Di mana?"

"Di Rumah Sakinah. Samping kecamatan."

Geng Pancawarna mendorong setengah memaksa supaya aku ikut.

Hari yang sudah ditentukan, aku datang ke Rumah Sakinah seorang diri. Ini kali pertama aku ikut taarufan masal. Aku duduk bersila di lantai, memandang tidak tega dua ibu-ibu dan seorang bapak paruh baya di hadapanku. Usianya kisaran 60-65 tahun. Aku membatin, sudah sepuh masih semangat bertemu jodoh. Sekitar 30 menit berselang, ruangan Rumah Sakinah penuh. Aku semakin tidak tega memandang mereka. Kenapa aku tadi tidak membawa buah tangan atau semacamnya. Aku meminta izin menjadi pembawa acara kepada panitia. Panitia bingung.

"Mbak Maisa kan peserta."

"Saya peserta yang memperkenalkan diri pertama, boleh?"

"Oh iya. Ndak apa-apa."

Seusai ibu ketua penyelenggara membuka acara, mikrofon diberikan kepadaku. Oho, mik dalam penguasaan. Aku maju memperkenalkan diri. Menyapa khalayak ramai sambil tebar pesona. Aku hibur kakek dan nenek paruh baya tadi dengan melontarkan jokes, Mundur, Wir! Tidak hanya kakek dan nenek, pemuda kisaran usia 18 tahun yang duduk tepat di hadapanku pun terkekeh mendengarkanku melucu. Karena terhibur, aku tambah lagi dengan jokes bapak-bapak. Setelah semua terpingkal, aku mengundurkan diri. Mik aku berikan kepada panitia lagi, sekaligus pamit.

"Loh mau ke mana?"

"Sebentar Bu, setelah ini saya kembali. Sebentar saja njih, ibu saya mencari."

Aku nyalakan motorku, mengegas secepat kilat ke arah rumah Tante Sofyan. Mengambil uang dan mampir ke toserba membeli sejumlah gula kemasan. Aku drop gula ke panitia, mengatakan ibuku menitipkan gula-gula tersebut sebagai suvenir acara hari ini. Panitia bingung lagi. Namun sumringah mengucapkan terima kasih. Sampai di rumah Tante Sofyan, Adisti memarahiku habis-habisan.

"Kamu sedang mencari jodoh, Maisa. Bukan mencari warga penerima bantuan."

"Lebih duafa dari aku. Aku gak tega."

"Kamu semugih[1]."

"Yak, apa. Mereka lebih membutuhkan."

***

Aku memutuskan pulang ke Kediri. Mbak Pur, tetanggaku, datang berkunjung. Bagiku dia selalu saja mencampuri urusanku. Aku masak apa, mandi jam berapa, pakai baju apa, mengapa belanja di swalayan, tidak di pasar. Semuanya diurusin. Perhatiannya yang berlebih itu membuat aku risih.

Kalau aku di Surabaya, Mbak Pur sering menelepon. Bapakku juga menelepon setiap hari, tapi tertib selalu setelah subuh atau usai magrib. Sedang Mbak Pur bisa setiap saat setiap menit teleponnnnn. Ya Allah, dia pikir aku operator telepoonn. Aku sudah bilang untuk biasa saja, nambeng[2] banget dia. Lama-lama aku tidak sekadar menganggap dia tetangga yang perhatian. Tetapi benar-benar punya modus.

Jadi aku, Maggy, dan May sepakat menjual kebun rambutan. Lalu dengan mencincing daster, Mbak Pur datang ke rumah tergopoh-gopoh. "Heh, ojo didol. Ora ilok."[3]

"Sudah ta ingatkan, gak usah mencampuri urusan kami! Pulang atau aku bawakan Babinsa!"

Dia tidak kekurangan akal. Kebun rambutan kami diberinya sampah-sampah dedaunan dan ranting. Apa maksudnya? May ikut geram. Aku sapu dedaunan dengan sapu lidi. Menjadikan satu dengan ranting, lalu membakarnya. Kebun rambutan bersih kembali.

Selang beberapa hari, saat Maggy pulang, betapa kagetnya ia, sepanjang pinggiran kebun rambutan dipasangi spanduk caleg. Siapa lagi yang memasang kalau bukan Mbak Pur? Apa lagi sih maksudnya? Maggy memotret spanduk lalu mengirim ke grup RT. Melengkapi foto, Maggy menulis, Ngapunten,[4] mohon menjaga kedamaian dan kerukunan.

Heboh warga RT berkomentar. Kok ada orang yang iseng sekali.

Maggy ketus membalas, kok ada yang tidak mengingatkan.

Grup lalu sepi. Mbak Pur tidak muncul sama sekali. Namun meneleponku, klarifikasi panjang dan lebar. Yang intinya dia sengaja menutup kebun supaya tidak ada ayam yang masuk. Belum selesai dia nyerocos, telepon aku matikan. Emosiku naik ke ubun-ubun.

Di sinilah aku akhirnya pulang ke rumah. Membantu Maggy membakar spanduk-spanduk. Kemudian dengan tergesa pula kulangkahkan kaki ke rumah Pak Lurah. Mengadukan perbuatan Mbak Pur yang meresahkan.

"Sebagai warga desa, saya minta perlindungan, Pak. Itu tanah kami, hak kami mau menjualnya atau tidak."

"Mungkin Mbak Pur ingin membeli."

"Namun tidak punya uang? Gak mungkin kami sedekahkan. Kami belum edan."

"Nggeh, Mbak Maisa. Nanti saya tertibkan."

Sudah diperingatkan Pak Lurah, Mbak Pur belum kapok juga. Anggrek depan rumah raib, dia mengirim surat kaleng menyebutkan bahwa Mbak Wati pelakunya. Lonceng bel pagar juga hilang. Melalui pesan WhatsApp, dia menyebut suami Mbak Wati yang mencurinya. Aku balas pesannya: Sudahlah, Mbak Pur tertangkap CCTV yang kupasang di atap rumah. Dia lalu datang menangis-nangis meminta maaf.

Apa sih Mbak Purrrr? Ya Allah! Kenapa kamu terobsesi sekali dengan kami?! Yang lebih di luar nalar, dia mengirim pemuda ke rumah. Hendak meminangku.

Aku meradang. Tapi May mewanti-wanti untuk memperlakukan tamu itu dengan baik. Menerima maksud kedatangannya. Maka, aku persilakan dia masuk. Dia datang sendirian.

"Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya disuruh datang sama Mbak Pur. Katanya sampean mencari jodoh."

Leherku tercekat. Rasanya tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Namun orang baik selalu ditolong Tuhan. Kelancaran bertutur kata dan menguasai keadaan segera kudapatkan kembali. Masak kalah di rumah sendiri. Awas ya, Mbak Pur, tunggu pembalasanku.

Lihat selengkapnya