Besok May dan Jenar akan berangkat haji. Mereka berpamitan kepada aku dan Maggy. Maaf-maafan. Kami mendoakan lewat pesan teks, semoga perjalanan haji mereka lancar dan pulang ke tanah air menjadi haji mabrur. Kami tidak mengantar ke embarkasi. Kami sibuk. Toh, kami sudah bertemu saat lebaran Idul Fitri. Itu juga tidak benar-benar "tilik haji", karena ada saja yang kami pertengkarkan.
Bisa dibayangkan, bahkan pada momen Idul Fitri saatnya kembali fitrah, kami malah bertengkar. May maunya ini-itu, aku menangkapnya itu-ini. May bermaksud begini, aku terimanya begitu. Pernah aku mau jual rambutan yang dipanen di kebun. Kata May, bagikan saja ke tetangga. Ya sudah, aku bebaskan semua tetangga mengambil sampai tandas. Eh, di lain hari dia berceletuk gak ada rambutan yang dikirim ke Semarang. Hhhh, aku menerima itu sebagai kode. Kenapa dia gak langsung bilang saja, Maisa kirimi aku rambutan. May merasa itu bukan kode, aku saja yang terlalu perasa.
Masalah sofa juga. Dia bilang, daripada berdebu, lebih berfaedah sofa di rumah aku sedekahkan ke tetangga. Lalu, saat mendapati sofa dicat cantik oleh Mbak Pur, dia berkomentar, "Wah, mok cat sendiri malah lebih apik." Otakku pusing sepuluh keliling. Ia seakan tidak ingat apa yang pernah diucapkan. Ya Allah .... Kenapa dia? Apa sebenarnya dia tetanggaku yang menyamar sebagai kakakku?
Salah paham di antara kami bertahan sampai Indonesia berganti presiden kedelapan kali. Aku berusaha mengikuti pola-pola pikir orang pada umumnya, tapi tombol di otakku banyak sekali. Aku jadi bingung. Hasilnya bisa ditebak. Aku muwarah bukan kepalang kepada May.
Sudah aku ingatkan, aku adiknya yang masih ADHD. Tapi dia mengeyel saja memaksakan jalan pikirannya yang "normal" kepadaku. Adu mulut tak terelakkan. Sampai akhirnya satu engsel pintu protol. Maaf Waski, ibumu adalah kakakku. Sampai akhir hayat, aku punya hak atas dia. Kalau hari ini aku brutal, itu karena ibumu lupa dia pelatih gajah bukan instruktur senam aerobik. Aku ngos-ngosan dibuatnya.
"Maaf aku salah. Aku kelewatan."
"Aku juga minta maaf, kurang sabar jadi Mbak."
Pecah tangis kami berdua. Selama May dan Jenar haji, kami hanya berkabar lewat sambungan WhatsApp. Hari pertama May mengabarkan telah mendarat di Jeddah. Alhamdulilah. Aku tidak tahu May mengambil miqat di mana. Apakah di Bandara King Abdul Aziz atau saat pesawat mendekati Yalamlam. Hanya ada foto yang menunjukkan Jenar berpakaian ihram usai salat sunah ihram dua rakaat hendak berjalan kaki menuju Baitullah.
"Maisa, Masjidil Haram itu gede banget."
"Iya, ta?"
Masjidnya saja gede banget, apalagi Dia.
"Jangan lupa titipan doaku!"
"Yao. Wes rampung ta panjatkan. Dari lantai dua Masjidil Haram. Gak bisa di depan Ka’bah. Pas penuh."
"Yao. Pokok panjatkan. Kamsiaa!"
"Aku gak usah oleh-oleh."
"Eh tau gak, aku udah belikan Mbak Pur emas. Qaqaqa."
"Hahahhahahaa ngakak. Dia pasti pingsan, wuah dapat emas sekarung."
Hari-hari selanjutnya May mengirimkan foto keseharian di sana seraya menunggu puncak musim haji di Arafah. Pukul 02.00 menaiki bus dari hotel ke ke Masjidil Haram. Qiyamul Lail sampai menunggu waktu subuh. Lanjut Salat Duha. Usai duha kembali ke hotel mencuci baju. Atau waktu zuhur, ashar, magrib, isya ia habiskan di Masjidil Haram. Tidak tentu. Tergantung stamina hari itu. Seringnya dia dan Jenar mengambil waktu malam untuk iktikaf di masjid.
"Naik ke rooftop penginapan. Pasang tali jemuran. Ditinggal makan, baju udah kering. Haha."
"Hahh??? Iyaa?? Hahaha."
"Itu di belakang hotelku ada bukit batu. Di balik bukit batu, Masjidil Haram."
"Oh."
"Isinya tanah berbatu."
"Katanya, kalau tanah Arab menghijau, tanda kiamat. Ada di postingan TikTok, Taif menghijau."
"Loh, Taif memang lahan pertanian. Banyak kebun mawar di sana."
"Oh."
"Ya, gak 1.000 persen batu. Kalau semuanya batu, dari mana mereka mencukupi kebutuhan dalam negeri. Masak semua sayur impor. Tadi aku ke pasar beli kangkung."
"Loh, ada???"
"Ada semua di pasar Indonesia. Pecel, peyek, sambel goreng. Macem-macem. Wes rasah kuatir nek mbesuk mrene."[1]
"Amin."
Di puncak haji, May bercerita dalam perjalanan ke Arafah banyak jemaah haji yang meninggal. Kata dia haji adalah ibadah fisik. Ada nenek-kakek di rombongan dia usia hampir 80 tahun. Segar bugar. Ya memang agak lambat pergerakannya, namun semua rukun dan syarat wajib haji mereka laksanakan tanpa membayar dam.
Tidak sedikit pula yang meninggal di rentang usia produktif. Jalan tiba-tiba jatuh, meninggal. Awalnya May kaget, kalau di tanah air, reaksi pertama pasti akan menolong. Tapi ini dia sedang di perjalanan haji. Lambat laun May paham, ia hanya harus fokus pada tanggung jawabnya sebagai tamu Allah. Petugas akan datang mengurus pemakaman.
May membawa banyak perbekalan saat bermalam di Muzdalifah. Karena berdasar cerita dari temannya yang tahun lalu menunaikan ibadah haji, ia merasakan keterlambatan pengiriman makanan untuk jemaah. Beruntung, pengalaman May dan Jenar sebaliknya. Pasokan makan berlimpah ruah. Hanya suhu yang panas membuat mereka harus bertahan dengan berkali-kali menyemprotkan air ke wajah.
Rangkaian prosesi wukuf di Arafah, lempar jumrah Wusta, Ula, dan Aqabah mereka tunaikan dengan lancar. Pun saat berkunjung ke makam Nabi di Madinah. Lancar pula. Ia bahkan sempat pamer ketemu artis kakak Ria Ricis. Oki Setiana Dewi. Foto di bawah payung ikon Masjid Nabawi.
"Pengajian sama ukhti Oki?"
"Enggak, potoh doang."
"Oh."
Demikian pula saat kembali ke Makkah. Sai, tahalul, dan tawaf wada. Tanpa kendala. Hanya waktu sai, air mata terus saja mengucur. Tanpa bisa ditahan. Haru, bahagia, tidak percaya. Apa saja campur jadi satu. Ia menangis tanpa tahu apa yang ditangisi.
Terbawa suasana ketika ia bercerita, aku pun ikut menangis. Aku serasa terbawa pada peristiwa ribuan tahun silam. Hajar, yang melakukan perjalanan dengan Nabi Ibrahim dan putranya, tiba-tiba ditinggalkan di padang pasir oleh Nabi Ibrahim karena perintah Allah. Ismail yang bayi menangis karena kehausan. Hajar berlari di antara bukit Safa dan Marwah sebanyak 7 kali. Bukit yang tandus tidak menyisakan oase untuk mereka. Hanya berdoa kepada Allah, tiba-tiba keluar air dari kaki mungil Ismail. Hajar berseru, "Zam ... zam ... zam ..."
Selesai tawaf wada, May masih menangis. Aku juga masih terus ikut menangis. Terbawa lagi ke peristiwa berpulangnya Rasulullah, ribuan tahun setelah Nabi Ibrahim. Mendengar khotbah wada Rasulullah, Abu Bakar menangis.
Wahai Abu Bakar, mengapa engkau menangis?
Bagaimana aku tidak menangis, kekasihku akan pergi.
Usai semua prosesi haji, besok May akan membadalkan haji ibu-bapak. Tak lupa May berdoa suatu saat nanti aku juga bisa membadalkan ibu-bapak. Yang itu artinya aku sudah harus haji terlebih dahulu. Ya Allah, panggilah aku ke rumah-Mu. 🤲
Berbeda May, berbeda pula cerita Bu Aruni, teman Tante Sofyan. Memakai visa ziarah, Bu Aruni berjuang melaksanakan ibadah haji musim ini. Tahun lalu ia juga berangkat dengan visa ziarah. Aman. Namun tidak untuk kali ini. Otoritas Arab Saudi menertibkan pengguna visa ziarah untuk behaji. Takut tertangkap, Bu Aruni harus menempuh jalan memutar untuk mencapai Muzdalifah. Bekal makan hanya terisi sepotong roti. Antre kamar mandi mencapai dua puluh orang lebih. Baju tiga hari tidak ganti. Badannya demam. Kembali ke hotel, terkena macet lebih dari 5 jam. Imbasnya ia harus bayar selangit tarif taksi yang ia tumpangi.
"Sisanya saya bayar dam, Bu Sofyan. Saya masih demam, harus bayar dam. Dam lagi dan lagi, terus sampai pulang."
Aku dan Tante Sofyan, yang mendengarkan cerita Bu Aruni, sulit mengatupkan kedua bibir. Ungkapan berhajilah setidaknya sekali seumur hidup, kalau bisa berkali-kali, sungguh terpegang teguh dalam hati sanubari Bu Aruni.
"Selalu pengen, Jeng. Pas ya uangnya ada."
Aku dan Tante Sofyan kompak menjawab, "Injih." Sambil kenceng berdoa: Allah panggilah juga kami semua ke sana ....