Atap Rumah Maisa

Yudha Mahawani
Chapter #16

Gak Apa-Apa

Aku dan Novi pulang kampung. Pernikahan Silvia esok pukul 10.00. Seperti yang diingini Novi, dia groomsman, aku bridesmaid. Aku bertanya lagi kepada Novi, masih perlu aku ikut? Fatia sudah meminta maaf. Selesai harusnya resah yang membelenggu akibat gosip-gosip yang mendera beberapa waktu lalu. Namun tidak ada penjelasan yang keluar dari bibirnya, selain pokoknya aku harus ikut! Ya sudah, ikutlah aku bersamanya. Toh, tinggal duduk manis dan makan gratis. Tebar-tebar pesona dikit ke kerabat dan sahabat Silvia, kali saja ada peluang. Bertemu jodoh!

"Gak, boleh. Kamu hanya boleh jahat sama aku."

"Heleh. Kumat. Gak apa-apa. Mari kita pesta. Nikmati semua yang ada."

Novi menarik kebayaku dan menginjak kakiku.

"Aduh! Sandalku."

"Gak apa-apa. Sandal sewa. Rusak, Silvia yang bayar."

"Herkkkk!"

Aku mengalah. Membuntuti ke mana dia pergi. Baiklah shadow harus profesional di mana pun kapan pun. Pelayanan prima di nikahan sepupunya, tarif per jam akan kuberlakukan.

Novi menyalami kerabatnya. Perempuan muda. Cantik. Mereka mengobrol sambil makan tahu campur. Aku kesal. Iri gilak. Sama muridku, ngobrol sepuasnya aku. Sama dia, cuma nemani orang ngobrol, haaum 🥱. Dah makan aja akulah. Semua yang ada aku makan. Kuat aku tuh.

Eh kenapa aku tiba-tiba sewot? Aku cemburu?

Enggak ....!! Kayaknya aku cuma gabut. Jadi bad mood.

Tapi masak iya gak jealous?

Pokoknya aku gak suka melihat mereka berdua ngobrol!!!!! Terus tukeran nomor telepon. Terus habis itu janjian jalan bareng .... Huh. Perutku kekenyangan. Aku belum bisa melepas kebayaku sekarang. Resepsi pernikahan Silvia belum usai. Jangan tanya kenapa aku tidak bergabung dengan cewek-cewek sesama bridesmaid yang lain? Aku tidak ada yang kenal!

Yang pasti, sudah kuikuti tadi pra-acara hingga acara inti. Basa-basi. Haha-hihi. Menyertai semua kegiatan yang mereka lakukan. Membuat video TikTok hingga pemotretan. Selebihnya mereka juga tidak sok kenal sok dekat, jadi lebih baik aku jaim, sok manis saja.

Aku bergeser dari Novi. Mencari kursi karena mulai kelelahan berdiri. Sandal heels, kebaya press body, kain jarik batik yang kencang melilit, ditambah perutku penuh, aku mulai sempoyangan.

"Permisi, Bu, boleh saya duduk?"

"Silakan, Nak. Silakan. Sudah makan?"

"Sudah, Bu. Ibu apa sudah?"

"Sudah. Ibu makan kambing guling tadi. Dua kali. Mau ketiga sungkan, hihihi. Enak, Ibu suka."

Aku menengok wajah sepuh di sampingku itu. Hampir tiga kali??

"Ibu tidak takut asam urat? Hehe."

"Gak apa-apa. Ibu rajin olahraga. Konsumsi cairan ibu juga cukup."

Aku tersenyum. Memberikan senyum termanis. Juga memamerkan perut buncitku.

"Saya semua, Bu. Semua sudah masuk."

"Itu yang gak boleh. Nanti komplikasi karena kolesterol tinggi. Haha."

"Gak apa-apa. Nanti saya olahraga dan konsumsi cairan yang cukup."

Kami tertawa bersama.

Belum sempat aku menanyakan nama ibu itu, Novi menghampiri. Bukan perkenalan, adegan selanjutnya setelah tertawa bersama adalah ucapan perpisahan.

"Ibu saya pamit dulu ya. Saya masih ingin mengobrol, namun teman saya sudah menjemput."

"Iya, Nak. Gak apa-apa. Hati-hati."

Novi mendahuluiku berjalan di depan. Aku mengekorinya. Kami tidak berfoto lagi dengan Silvia. Meski resepsi telah selesai digelar, aku pikir dia masih akan beramah-tamah dengan Silvia. Nyatanya tidak. Novi lurus saja jalan ke samping, ke arah pintu keluar. Tanpa berkata-kata. Kenapa dia? Marah? Ganti dia yang jealous? Hah, sama ibu sepuh tadi? Aneh sekali dia. Dia mengarah ke parkiran mobil. Wah, iya, mutung dia. Titah mengajak pulang ini.

Masih tidak berkata-kata. Aku melirik ke arahnya. Ia serius mengarah ke depan. Fokus menyetir. Hening. Aku takut menyalakan radio. Hanya memainkan lipatan jarik batikku. Melepas sandal dan menyelonjorkan kaki. Aku juga diam saja, tidak menanyakan apa-apa. Kami adu kuat-kuatan. Semacam siapa yang bertanya duluan, dia yang kalah. Tidak ada yang mengalah. Sampai tiba di rumahku, kami masih saling diam.

Een .... Twee .... Drie ....! Aku memejamkan mata. Menutup kedua mata dengan ponsel. Membuka pintu, menenteng sandal, lalu berjalan setengah berlari mengangkat jarik batik. Aku buru-buru masuk rumah. Melemparkan sandal, menuju kamar. Melepas kebaya, menggantinya dengan daster. Sambil menggosokkan kapas di wajah membersihkan make up yang menempel, aku keluar kamar.

"HAH. KAGET. Kenapa di sini?!!"

Novi duduk di kursi depan tidak memindahkan pandangan dari layar ponsel yang dipegangnya.

Aku duduk bersedekap di hadapannya. Menatapnya tajam-tajam.

"Bayar bill ndampingin groomsman!"

Ia mengangkat kepalanya. Melengos. Berdiri lalu pindah ke ruang tengah. Selonjoran di karpet. Apa sih, gak jelas banget dia. Aku tinggalkan dia di dalam rumah. Aku mengambil alat pemotong rumput. Kukeluarkan seluruh tenagaku menyiangi rumput.

Aku tidak melihat Mbak Pur pun Mbak Wati lalu lalang lewat depan rumah. Ke mana mereka, tanyaku dalam hati. Tumben tidak rempong ada temanku menumpang selonjoran di dalam. Biasanya berpatuah.

Lihat selengkapnya