Asap dibuatnya
Dekat-dekat dada sesak jua
Api hendak mendewasa
Diurung-urung sebab kau korek api atas kodrat saja
Air dibuatnya
Menggigil di pagi buta
Menggigil di malam durja
Kau dimana dicari jua
***
''Kau adalah kedekatan yang meresahkan. Kau adalah kejauhan yang merindukan.''
***
Sang Pemilik Detik masih menurunkan cinta-Nya sampai di lima tahun kemudian. Kepada seisi rumah yang berdiri tak jauh dari sawah warga. Terpencil tempatnya. Salah satu rumah di antara pekarangan yang ramai karena beragam jenis tanaman milik penduduk desa tumbuh di sana. Sekiranya satu kilometer jalan panjang itu patut ditempuh untuk menemui kehangatan sosialisasi antar tetangga. Setidaknya, tak hanya keluarga Najla yang menetap di sana. Dua belas rumah berdiri menjadi kawan antara pagi sampai sore yang diramaikan para petani di ladang, serta antara malam sampai pagi yang disibukkan dengan bisikan dedaunan pohon.
Setumpuk buku dijatuhkan di atas tikar oleh Najla. Satu mata pelajaran saja teruntuk esok hari tak segan-segan jumlah bukunya. Bahkan, ketebalannya pun tak main-main. Daya pikir yang mulai serius perihal masa depan terus berkecamuk memenuhi isi kepala tiap malam. Jangan sampai pijar lampu patromax yang redup itu pengibaratan jalan hidup Najla sampai selamanya nanti. Najla ingin hidupnya semegah rembulan yang malam ini siap bertengger kembali.
''Teh, nanti abis salat sama ngaji beli obat nyamuk ya?''
''Tempat Wa Entin kan, Bu?''
''Iya. Masa atuh mau tempat Wa Jamal. Kejauhan atuh, Teh.''
Dinanti-nanti sajalah azan Maghrib tiba. Seraya dimanfaatkannya waktu pendek itu sekadar menyesap lembut rumus-rumus Matematika ke dalam otak. Ibu kembali ke dapur, menutup rendaman kacang kedelai di dalam baskom untuk membuat tempe.
''Teteh!!!'' Dari dalam kamar depan Aini bersuara bagai merobek segala barang yang siap menghambat rambatannya.
''Jangan teriak-teriak atuh, De. Mau Maghrib bentar lagi teh.'' Perasaan jengkel dan wajarnya disatukan jua. Najla menggeleng-geleng kepala.
Dari sebuah tirai cokelat Aini menyembulkan kepalanya. Air muka gadis kecil itu dibuat tegang hanya saja menggemaskan. Lalu ia menghampiri Najla dan menyodorkan sebuah buku cetak IPA kelas 4 Sekolah Dasar.
''Adek pu-''
Kalimatnya urung selesai tapi mulut Aini sudah oleh Najla. Seraya kakaknya itu menempelkan jari telunjuk pada permukaan bibirnya sendiri. Alangkah indah sebab Najla nyatanya mengisyaratkan kepada Aini agar diam sejenak. Kumandang azan samar-samar menelusup lorong pendengaran jadilah sebabnya.
Aini dan Najla sama-sama membeku dalam bahasa suara. Selepasnya azan itu keduanya mensyairkan dalam hati doa setelah adzan.