Tahun Seribu dua ratus delapan, Kekaisaran Talmira, Ibukota Della. Aula kerajaan dipenuhi oleh orang-orang penting. Sebuah pertemuan telah diadakan oleh Kekaisaran Talmira dan orang-orang yang menjabat dari seluruh wilayah Talmira pun dipanggil guna menghadiri pertemuan tersebut.
“ Dengan ini, aku perintahkan untuk mengambil kembali apa yang kita punya.”
Seorang pria paruh baya yang sedang berdiri sambil memanjangkan tangannya kanannya ke arah orang-orang yang sedang berlutut hormat didepannya. Tangan kirinya memegang tongkat bantuan untuk berdiri. Terlihat dari tubuhnya yang susah untuk menyesuaikan, bahwa dirinya tidak sanggup berdiri. Wajahnya tampan walaupun di usianya yang telah beranjak usia, tetapi entah kenapa keletihan tertulis diwajahnya. Bahkan kesedihan pun ikut berdansa-dansa di matanya. Tinggi badannya sudah tercoreng dikarenakan tongkat berjalan yang memaksakan dia untuk membungkuk. Mahkota menghiasi rambut-rambunya yang sudah mulai memutih.
Orang yang sedang berdiri di depan aula ini tidak lain ialah Kaisar Talmira, Hernasdy IV sang penguasa Talmira dan orang-orang yang sedang berlutut di depannya ialah para jenderal yang sedang mendengarkan titah kaisar.
Seremonial ini disebut pertemuan sakral, karena apabila kaisar Talmira sudah memanggil seluruh jenderal Talmira, maka demikian, akan ada terkadinya sebuah peristiwa penting, seperti acara lahirnya anak kaisar, pernikahan, upacara kremasi, atau sebuah perang.
“Untuk itu, aku menyatakan, Er Beny Aryana akan menjabat memimpin seluruh pasukan dan memegang penuh seluruh kendali maupun tanggung jawab terjadap invasi kota Kalas.”
Lalu dibarisan para jenderal, berdiri seseorang lelaki yang cukup pendek, berkulit hitam dan bertubuh kurus ceking. Wajahnya dibalut dengan hawa kebencian dan kepercayaan diri yang kuat, sehingga siapapun yang melihatnya, orang-orang akan tahu, bahwa dia adalah orang yang serius. Beny pun mengindahkan perkataan kaisar dengan menundukkan kepala sambil mengepalkan tangan kannannya ke lantai.
“Kemudian Prasetyo Mayrary dan Yudhi Gumilar, untuk kalian berdua, aku perintahkan kalian untuk membantu Er Beny sebagai pelindung dan bergerak dibawah perintah Jenderal Er Beny Aryana.
Lalu dua lelaki yang berada di barisan para jenderal menundukkan kepala mereka lebih rendah dan mengepalkan tangan kanan mereka ke lantai seraya mengindahkan perkataaan kaisar.
“Untuk Jenderal yang menjaga pos perbatasan Karinda, ataupun yang sedang melakukan latihan dan yang menjaga kota, bersiaplah, karena dengan hari ini, Talmira resmi, menyatakan perang dengan Camarra.”
Seketika ruangan dipenuhi dengan perasaan yang bergidik. Titah kaisar benar-benarh merubah alur suasana, memang benar, bahwa seorang penguasa dapat menentukan apapun, apapun itu. suasana, ataupun hidup seseorang. Benar-benar sebuah kekuatan absolut.
Lalu, penasihat kaisar menyerukan bahwa upacara telah selesai dan masing-masing jenderal yang sudah di wajib tugaskan kembali ke pos mereka masing-masing.
Sang kaisar yang terlihat lelah beranjak dari singgasana dan berjalan menuju keluar aula. Para jenderal hanya berdiam diri melihat kaisar yang terburu-buru meninggalkan ruangan. Penasihat kaisar yang tadinya ingin menemani sang kaisar berjalan ke kamar, membatalkan niatnya. Diketahui bahwa kaisar telah mengalami sakit keras beberapa tahun terakhir dan kondisinya makin memburuh di setiap tahunnya. Para tabib ataupun dokter, tidak dapat mengetahui penyakit tersebut dan alhasil, kaisar hanya bisa menunggu. Mennggu untuk mati, menunggu untuk ditangisi dan menunggu untuk dikremasi. Sungguh, bukan sebuah akhir yang diinginkan oleh kaisar.
Kabar resmi pun terdengar ke seluruh masyarakat di kekaisaran Talmira, bahwa agresi militer telah dilakukan. Penduduk yang berdiri di alun-alun kota Della membicarakan hal ini dengan antusias. Dua belas tahun yang lalu, Talmira melakukan agresi militer ke Kerajaan Camarra dan berhasil dengan sangat baik. Beberapa kota Camarra berhasil ditaklukkan dan kini sudah menjadi bagian dari dataran Talmira. Kini, para prajurit Ibukota Della berkumpul di alun-alun kota. Mereka sedang berbaris, beribu-ribu tentara yang sedang menunggu perintah Jenderal. Disela-sela waktu sebelum mereka diberi perintah untuk melaksanakan tugas militer, para lelaki yang menjadi prajurit pun berpamitan dengan orang-orang yang dicintainya dimulai dari, seorang ibu, saudara, kekasih, istri bahkan kepada anak-anak mereka. Mereka yang sedang berpamitan, bahkan tidak mengetahui apakah mereka bisa kembali dengan selamat. Setidaknya perang dua belas tahun yang lalu menghilangkan hampir sepuluh ribu korban jiwa dari kedua sisi. Oleh karena itu, untuk seseorang yang sudah mengikuti perang berkali, kali, tidak menjamin bahwasanya kalau mereka bisa pulang dengan selamat, karena sejatinya tidak ada yang bisa mengetahui nasib mereka sesampainya mereka berada di medan perang.
Para komando dari setiap pasukan mengisyaratkan kepada para prajurit bahwa sudah waktunya mereka meninggalkan ibu kota. Berbondong-bondong prajurit melewati gerbang kota dan mulai meninggalkan kota.
Dari alun-alun kota Della, sang Kaisar melihat dari atas menara, wajahnya dipenuhi degan kekecewaan dan penyesalan. Dia selalu mengeluh dengan napas beratnya, sambil memegang tongkat berjalannya, dia mengetuk-ngetuk lantai seakan marah kepada sesuatu.
Disampingnya, berdiri seorang lelaki yang sangat tampan, badannya tinggi dan kekar, kulitnya pucat pasi, dan rambutnya panjang dan halus seperti kain katun melingkari seluruh bahunya. Alisnya tajam, sehingga orang-orang yang memandangnya mempunyai perasaan takut saat menatapnya. Ia adalah Yudhi, salah satu jenderal Talmira yang dikirim subjugasi wilayah Camarra. Hernas dan Yudhi bersama-sama menatap ke keramaian prajurit Talmira yang meninggalkan kota Della. Tanpa ada sepatah kata, mereka berucap, mereka hanya saling menunggu, siapa yang akan berbicara lebih dahulu, sayangnya, keduanya sangat bersikeras untuk berdiam diri. Beberapa detik, sampai beberapa menit berlalu. Yudhi pun akhirnya melepaskan Egonya.
“Ayah, Terima kasih sudah menepati janjimu, aku akan mengembalikan apa yang seharusnya menjadi leluhur kita.”
Kaisar yang tadinya gusar melihat keramaian, menatap wajah Yudhi, lalu mengangkat tangannya dan menampar wajah Yudhi sekeras-kerasnya. Tongkatnya terlempar, dia langsung tergugur dari pijakannya dan terjatuh. Dia terbatuk dengan berat sambil mengeluarkan darah hitam yang sangat pekat. Yudhi menatap ayahnya dengan perasaan jijik, sembari membenarkan baju zirahnya.