Tempat ini selalu mengantarkan rasa hangat. Makam Arab. Aku telah datang ke sini di dalam beragam musim, dan kehangatan itu tak pernah berubah. Mengalir diam-diam, merayapi tubuhku dan semakin menguat ketika kulihat papan nisan yang menampakkan sederet tulisan artistik. Athirah, 1924–19 Januari 1982. Itu nisan ibuku. Perempuan berhati surga.
Kau mungkin telah kehilangan ibumu. Dan, kau merasa ia telah benar-benar pergi. Kau tahu ia berada di suatu tempat yang kau yakini sebagai pelabuhan paling abadi.
Kau mendoakannya setiap waktu, menaburkan kembang dengan jemari yang menyimpan rindu, lalu meninggalkan pemakaman dengan hati kehilangan. Lalu, kau menciptakan jarak, atau lebih tepatnya secara alamiah kau diarahkan untuk membuat jarak. Dan, ibumu tinggal menjadi kenangan.
Atau, kau juga sepertiku. Laki-laki yang selalu merasa tetap bocah ketika kukenang paras ibuku. Ia, walau telah lama mangkat, tak pernah beranjak dari seluruh tubuhku. Aku melintasi puluhan tahun yang sangat riuh. Sangat hiruk pikuk. Tapi ibuku selalu berhasil menarikku ke ruang yang hening. Tempat aku mendengarkan kembali suaranya. Menemukan surga dari petuahnya yang serupa telaga bening. Ia membuatku memahami hidup yang rumit. Kami bercengkerama. Dan, kudapati perasaanku masih tetap sama kepadanya. Masih sama sakitnya ketika kuingat lukanya. Masih sama bahagianya ketika kukenang bunyi tawanya.
Ibuku tak pernah pergi. Ia berjalan bersamaku. Ia hilang timbul mengikuti pikiranku yang habis tersedot dunia. Tapi seperti yang kukatakan, ia selalu bisa menarikku kembali ketika dunia terlalu hiruk pikuk untukku. Aku, bocah yang selalu diasuhnya. Masih, hingga kini.
Meskipun ia telah ada pada diriku, aku rajin mengunjunginya di Makam Arab, pemakaman tempat jasadnya berbaring di sudut sunyi Kota Makassar. Bayangan pertama yang selalu muncul setiap kali jemariku mulai membuka botol bening berisi air mawar dan memercikkannya perlahan adalah dini hari yang pekat dan berlumur duka pada 19 Januari 1982.
Aku ingat harum tubuhnya yang telah bercampur aroma rumah sakit. Kubopong ia dari rumah sakit ketika para dokter mengatakan tak ada lagi harapan yang bisa membangunkannya. Ia bernapas dari selang-selang yang mencengkeram tubuhnya. Wajahnya beku, bukan diam. Ia dilumpuhkan rasa sakit.
Kami memutuskan membawanya ke rumah, ke kamarnya yang bernuansa serbaputih dan memiliki jendela besar menghadap sepetak taman yang sangat mungil. Tempat ia tak akan lagi merasa asing. Aroma seprai sutra dari Sengkang yang ia sukai akan kembali memeluknya. Lalu, ia juga akan menghirup lagi asap masakan yang menjalar-jalar dari dapur. Azan sejuk yang menggema dari masjid yang bersisian dengan rumah akan membuatnya terjaga. Ia akan menemukan kembali kehidupannya, ketika napas mulai menjauh darinya.
Tepat saat azan Subuh bergema, ia lunglai. Wafat. Itu adalah hari ketika air mataku jatuh tanpa bisa kuhentikan.