Makassar, 2013
Selalu ada panggilan untuk melamun usai melepas rindu di makam Emma. Aku dan Mufidah selalu melewatkan episode yang sama. Hening. Tapi sunyi itu sesungguhnya adalah undangan untuk berdialog. Hati dan pikiranku tiada bisa kuhentikan untuk meluncur ke sebuah lorong tempat satu-satunya suara yang kudengar adalah napas ibuku. Kurasakan kehadirannya dalam getaran yang kuat. Selanjutnya aku tahu, langkahku pulang dari makam selalu menjadi sejarah yang bergerak mundur. Aku akan tenggelam dalam kenangan.
Aku merengkuh bahu istriku dan kami menapaki tanah merah pemakaman. Di Makam Arab ini selalu bertiup angin semilir yang mengimbangi terik matahari. Kami menghayati setiap langkah. Perenungan di makam seperti belum mencapai akhir. Kami masih membawa sisa haru.
“Menemui” spirit Emma di makam selalu membawaku berjalan jauh ke belakang. Bayangan-bayangan masa lalu mengalir lagi dan mengentakkan perasaanku pada banyak peristiwa. Mengingatkan aku pada detak emosi demi emosi. Dan, akhir dari semua kenangan itu adalah rasa syukur. Telah ada perempuan indah dalam hidupku yang membuatku tak pernah merasa berhenti diasuh. Bayangan Emma membimbingku setiap waktu. Ia ada dalam kesadaranku dalam menjalani kehidupan.
Mufidah telah sangat mahfum pada perasaanku. Ia tahu bahwa beberapa saat setelah kami bangkit dari kunjungan ke makam Emma, aku akan dihentikan waktu. Aku akan beku oleh lamunanku. Kami berjalan tanpa bicara.
Rasa rileks mulai muncul ketika mobil telah menggelinding perlahan, meninggalkan pemakaman Arab, mengarah ke kawasan Karobesi, terus menyusuri Pantai Losari. Kami akan berkunjung ke Jalan Andalas. Rumah masa kecilku. Menghampiri lagi masa lalu.
Dan, layaknya orang yang tengah terbang ke kehidupan lampau, benakku terus menukar pemandangan yang kulihat menjadi gambaran yang telah lewat. Aku melihat Pantai Losari yang telah diwarnai pagar modern yang kukuh. Beberapa tempat hiburan megah ada di sekitar situ, lengkap dengan plang warna-warni. Pantai telah menjadi riuh oleh berbagai bendawi. Sekian detik kemudian pemandangan yang kulihat telah berganti rupa.
Lebih dari setengah abad lalu, Pantai Losari masih begitu murni. Ombaknya membawa buih keemasan. Perahu pinisi menerbitkan bebunyian indah dari pelaut yang melantunkan lagu-lagu Bugis dengan gendang sederhana. Pohon nyiur berpijak pada pasir yang tidak dikotori bungkus minuman dan makanan. Orang-orang di Makassar akan menemukan kebahagiaan yang bersahaja di sana. Keindahan yang tidak dibuat-buat.
“Kuharap Kak Nur sehat dan bisa bercakap-cakap banyak dengan kita.” Istriku bersuara, memecah lamunanku. Aku telah mulai luruh dari renungan kuatku terhadap Emma.
“Ya ….” Aku menghela napas. Aku selalu rindu menghabiskan waktu mengobrol banyak dengan kakakku, Nurani. Ia masih tinggal di rumah masa kecil kami. Ia lebih dari sekadar kakak. Nurani adalah sahabat dekatku yang mengikuti tumbuh kembangku, termasuk perjalanan emosiku. Aku mencintai kakakku. Sangat.
“Kau tahu,” Mufidah menoleh kepadaku, “setiap kali kita pulang dari makam Emma, aku selalu mengingat saat ia bertandang ke rumah kita, berbaring di ranjang dan bercerita banyak kepadaku. Ia selalu betah mengilas balik hidupnya, mensyukuri kondisinya, memaafkan Bapak. Ia sering mencari bahuku. Menangis di situ, atau ia hanya ingin aku diam mendengarkan saja ….” Suara Mufidah rapuh digulung haru.
Aku meraih tangan istriku, mencium jemarinya dan menatap keluar jendela mobil. Pantai Losari menjelang sore seperti berpesta memainkan cahaya. Ombak berpendar keperakan berlumur merah senja menghasilkan riak yang hangat. Anak-anak muda bercengkerama di sana. Nuansa emosi yang tak pernah berubah dengan saat aku remaja, walau telah banyak pembaruan yang terjadi di situ. Kota ini sangat berarti untukku.
Makassar yang hangat. Makassar yang menjadi wadah bagi perjalanan awalku mengenal dunia. Makassar yang menempaku menjadi laki-laki dewasa. Makassar yang mengajariku untuk memahami hidup, perempuan, dan luka hati Emma.
Aku menghela napas lagi. Mataku hangat. “Mufidah.” Aku menatap istriku. “Terima kasih, kau telah menjadi bagian yang sangat berharga bagi ibuku ….”
1955. Sebuah percakapan sederhana. Aku tak pernah menyangka bahwa percakapan singkat itu akan membawa perubahan besar dalam hidup kami. Diucapkan saat Makassar sedang dibakar matahari pada tengah hari. Itulah kali pertama aku melihat ibuku disakiti dunia.
Aku anak laki-laki yang beruntung. Setidaknya begitu menurut perasaanku. Sejak kecil hidupku berlumuran cinta. Aku memiliki dua orangtua yang sempurna. Saudara-saudara yang hangat. Dan, kami adalah keluarga berkecukupan di Makassar. Ayahku memiliki kantor empat lantai, dan bisnisnya membuat dirinya banyak mengenal orang penting di kota kami. Rumahku besar dan kukuh. Hidupku kunilai sempurna sejak mataku baru melihat dunia. Oleh karenanya, aku sangat jarang merasa gelisah, apalagi dirundung duka. Jika kesedihan datang, hawa kegembiraan dalam hidupku yang berlimpah ruah dengan segera akan membersihkan perasaanku. Aku nyaris tak pernah berduka.
Tapi hari itu, aku merasakan sesuatu yang tak enak. Sesuatu yang seperti hadir sebagai pertanda. Ibuku, perempuan paling tenteram yang kukenal, mendadak mengalirkan gelombang gelisah. Pertanda ia dikalahkan ketakutan. Yang entah apa.
“Ayahmu aneh belakangan ini, Jusuf. Kau lihatlah gerak-geriknya. Ia menyisir rambutnya hampir setiap jam. Memakai krim rambut berulang-ulang hingga wanginya mencolok. Sering keluar rumah tanpa kopiah.” Emma menarik tirai dari tenun sutra berwarna gading dengan corak garis putih yang sangat lembut. Aku melihat sesuatu yang tak terlihat. Ibuku gelisah dalam ketenangan yang kentara ia ciptakan susah payah. “Apakah kau lihat perubahan itu, Jusuf?”
Aku masih tercenung. Awal percakapan yang belum kumengerti arahnya.
Usai mengucap kalimat itu, ia terduduk di kursi tamu. Empasan tubuhnya jelas terdengar. Aku percaya, jika tak berkata-kata, perempuan akan menunjukkan amarah dengan bebunyian benda. Ibuku, yang kupanggil Emma, menunjukkan itu dengan suara empasan lembut tubuhnya di jok kursi empuk. Aku tak pernah melihatnya emosi.
Usiaku 14 tahun saat itu. Makassar sedang diguyur cahaya matahari yang membakar kulit. Sudah lebih dari sebulan tak turun hujan. Tapi aku melihat kilat yang lebih terik di mata Emma.
Selanjutnya kulihat wajahnya membatu. Matanya lurus terhunus ke depan. Aku mengenal hati Emma. Ia tak pernah membiarkan kulitnya membiaskan emosi sedikit pun. Apalagi matanya. Ia orang yang sangat halus. Aku beringsut. Itulah kali pertama aku melihatnya sangat berbeda. Kali pertama aku melihat rona keberatan di wajahnya.
“Orang-orang bilang ….” Emma menghentikan ucapan- nya. “Ah, barangkali ini hanya kegelisahan Emma saja.” Ibuku memandang tak jelas ke arah pintu. Ia tidak sedang memandang pintu. Pandangannya jauh menembus pikirannya sendiri.
Kini aku yang gelisah. Jika benar masalah itu ada, aku pun ingin tahu.
“Jadi, ada apa sebenarnya, Emma?” Aku mulai khawatir.
“Kau tak melihat sesuatu yang aneh pada diri Bapak, Jusuf?”
Aku menggeleng. Memang tidak.
Emma menghela napas. Tertunduk sedikit, lalu menggelengkan kepalanya perlahan. Aku semakin penasaran.
Inilah susahnya menghadapi kaum hawa. Kau tak akan mendapat jawaban ketika kau membutuhkan jawaban. Dan, kau diajak berputar dalam perjalanan rumit ketika kau bahkan tak melihat sesuatu yang rumit.
Aku bersabar menanti ucapan Emma berikutnya. Kupandangi lututku sendiri. Ada bekas luka jatuh. Aku mengenakan celana pendek, usai main bola. Kausku masih sedikit basah oleh keringat. Tadinya, aku berhenti sebentar di ruang tamu hanya untuk mencicipi kue yang ada di meja. Tak kusangka kemudian ada percakapan misterius seperti ini. “Jika Bapak pergi lama, lalu tak pulang. Apakah kau takut?” Emma kini menatapku.
Ini semakin membuatku bingung. Aku harus menjawab apa?
“Jika ada sedikit perubahan Bapak, apakah itu sesuatu yang perlu dikhawatirkan, Emma?” Aku bereaksi sopan.
Kupikir, ada hal-hal yang perlu kupahami dari perempuan. Bagaimana mereka mengelola kegelisahan. Meskipun masih remaja bau kencur, aku memiliki teman-teman wanita di sekolah. Dan, kulihat ada satu ciri yang menonjol pada diri mereka. Sering gelisah untuk sesuatu yang bahkan belum jelas apa masalahnya.
“Emma khawatir ….” Ibuku semakin misterius. Aku duduk di dekatnya. Tak paham mengapa ia mendadak dikepung mendung. Tapi aku tahu ia butuh teman bicara.
“Barangkali Bapak sedang ingin mencoba sisiran rambut baru, Ma. Tak aneh laki-laki seperti itu …,” ujarku. Aku sendiri tak yakin apakah kalimatku memiliki pengaruh untuk membuat ibuku terhibur. Tapi itulah kalimat paling sederhana yang bisa kususun untuk meredakan terik di wajahnya.
“Tidak begitu tingkah lakunya. Emma tidak pernah melihatnya seperti ini.” Emma mengelus-elus sarung sutra warna hijau daun yang ia kenakan dengan diikat begitu saja, bersimpul di pinggang. Pakaian atasnya, kebaya katun bermotif bunga berukuran kecil berwarna kuning dan putih tulang. Saat itu usianya telah 30 tahun. Ia masih memancarkan kecantikan gadis. Usia kami terpaut hanya belasan tahun saja. Ia menikah muda.
Aku berpikir keras. Tak sedap melihat Emma dengan wajah kencang seperti itu. Sejujurnya, pada saat itu aku tak bisa menemukan petunjuk apa-apa dari kalimat Emma. Apa salahnya seorang laki-laki sering menyisir rambut dan memakai krim rambut tebal-tebal? Dua tahun lagi aku pun mungkin akan melakukan hal yang sama.
“Emma, daripada pusing menebak-nebak apa yang terjadi dengan Bapak, mengapa tak kita selesaikan bertanam anggrek di belakang? Sudah kudapat pupuknya, Ma. Kuletakkan di dekat pompa air.” Akhirnya kuucapkan niatku, yang memang hendak kusampaikan kepadanya.
Emma tak bicara. Beberapa detik kemudian wajahnya melembut. Ia melipat bibirnya sebentar, lalu membuang napas dengan lenguh yang jelas, kemudian menarik lagi udara dengan dagu sedikit mendongak. Ia jelas menyimpan beban. Mencoba menyelesaikannya tanpa bicara. Emma selalu begitu.
“Jusuf, perasaan Emma sangat tidak enak. Kau anak laki- laki tertua. Kau jaga adik-adikmu bila terjadi sesuatu.” Emma berdiri. “Kau shalat dulu. Emma juga akan shalat. Nanti Emma ke belakang ….”
Ia kemudian menghilang.
Seperti biasa aku shalat di masjid sebelah rumahku yang besar di Jalan Andalas nomor 2, di jantung Kota Makassar. Masjid itu hanya berjarak beberapa langkah kaki. Damainya telah menjadi rumah kami yang kedua. Emma, lebih sering shalat di kamarnya yang berukuran sedang dan berplafon tinggi. Itu kamar ternyaman di rumahku yang dibangun Bapak pada awal 1950. Rumah yang menjadi bukti pencapaian kerja keras Bapak, pedagang gigih yang terus menembus perubahan nasib dari kios pasar ke toko di jalan raya, dari toko jalan raya menjadi importir. Bapak, salah satu pemuda Bone yang sukses di Makassar.
Percakapanku dengan Emma siang itu adalah awal dari perjalanan batin yang tak pernah kuduga akan datang pada hidupku. Sebagai anak remaja tanggung, aku telah mencoba-coba untuk melihat peta masa depanku. Dengan melihat keadaan hidupku saat itu, seorang ayah yang sukses berdagang dan seorang ibu yang sangat cakap mendampingi suaminya, setidaknya aku tahu. Di depan nanti aku akan menjadi orang muda yang sangat bersemangat memburu keberhasilan. Sekolahku akan lancar diiringi Bapak dan Emma yang tak pernah kehabisan energi untuk memperhatikanku. Sukses mereka berdagang akan menjadi cermin yang sangat dahsyat bagiku untuk bergerak. Hidupku sempurna.
Aku bersyukur.
Tapi percakapan dengan Emma siang itu mengalirkan ketakutan yang aneh. Seperti ada ancaman.
Aku membawa gelisah Emma dalam shalatku. Aku tafakur berlama-lama di masjid. Mataku terbang di permukaan karpet berwarna hijau tua yang melapisi masjid besar itu. Masjid Raya, yang dibangun menjadi besar oleh campur tangan Bapak dan kawan-kawan pedagang. Aku selalu merasakan masjid ini bagai rumahku. Karpet hijau tua itu bagai kerabat yang mengenal baik diriku. Kumaki diriku yang kurang cakap menebak isi kepala Emma. Apa yang bisa kuterjemahkan dari keterangannya? Ayahku gemar menyisir dan memakai krim rambut berwangi mencolok. Dan, Emma melihat itu sebagai sinyal bahaya. Ah, Jusuf, kau minim pengalaman sebagai laki-laki! Gerangan petunjuk apa yang bisa kau temukan dari sana?
Nihil.
Aku tak pernah membayangkan ada sesuatu yang buruk di rumahku. Tidak ingin. Dan, tidak akan pernah. Seharusnya.
Rumahku adalah pelabuhan damai. Pagi senantiasa datang dengan tenteram, malam selalu berjalan dengan tenang. Orang-orang keluar-masuk dengan senyum. Juru masak selalu menciptakan asap beraroma sedap, menghasilkan makanan-makanan yang akan terbagi dengan ramah kepada setiap orang yang datang. Pintu rumah kami terbuka bagi siapa saja.
Setiap Ramadhan kami merayakan ritual mengasyikkan setiap hari, berkumpul dalam sahur yang hangat dan waktu berbuka yang sejuk. Kami membagi-bagikan sarung dan bahan makanan setiap Lebaran kepada orang-orang tak mampu. Aku bahagia. Rumah kami sumber sukacita, bukan saja untuk keluarga sendiri, melainkan juga untuk orang- orang di sekitar rumah kami. Tak pantas ada masalah yang membuat penghuninya dicekam sedih.