Pengalaman terberat seorang anak dalam kasus poligami, ketika harus menyaksikan salah satu dari orangtua menahan pedih atas peristiwa menekan itu. Kadang tak kupikirkan lukaku sendiri. Lebih sedih memikirkan luka seseorang yang menjadi payung hidupku. Emma.
Sejak Bapak menikah lagi, rumah kami redup. Tapi ibuku adalah perempuan pemantik cahaya. Aku bisa menangkap sedihnya walau dunia selalu melihat kebahagiaannya.
Aku tahu ibuku mati-matian menciptakan hari yang wajar. Sejak menikah hingga hari itu, ia dikenal sebagai perempuan kuat, dan ia ingin terus seperti itu. Ia ingin melewati hari yang tidak pernah ada jejak sakit hati. Kalau boleh, barangkali, ia ingin melupakan itu. Tapi realitas punya kuasanya sendiri.
Ketika membuka mata pada pagi hari, perasaan sakit menjelma ada.
Emma membuka hari sejak pagi. Ia menghidupkan dapur. Aku mendengar gemerencing bunyi peralatan masak logam beradu, talenan kayu yang menubruk meja, dan bunyi pisaunya yang berulang saat mengiris sesuatu. Ia menyiangi ikan segar, melumurinya dengan tomat dan bawang. Aku juga mendengar bunyi minyak panas, dan kemudian masakan yang memekikkan kelezatannya melalui aroma harum yang membubung.
“Bangun ….” Ia biasa membunyikan kata ini dengan lembut sambil berjalan mondar-mandir mengurusi pekerjaannya. Ia membangunkan kami. Suaranya menelusup melalui celah pintu. Tak ada teriakan. Tapi sangat mengelus telinga dan selalu berhasil membuat kami membuka mata.
Ia lincah, tapi sangat halus. Ia selalu terjaga walau terburu. Beberapa pekerja di rumah kami biasanya selalu langsung terbangun, juga sepupu-sepupuku yang tinggal di rumah kami. Setelah Bapak tak tinggal di rumah lagi, Emma melihat sisi ini sebagai berkah. Ia nyaris tak pernah sunyi dengan banyaknya kerabat yang berkumpul walau aku bisa menebak sepi hatinya.
“Jusuf, kau jagalah kerukunan kerabat kita dengan saudara-saudaramu yang tinggal di rumah ini. Jangan kau buat mereka sungkan di sini ….” Suatu kali Emma mengatakan itu. Tanpa harus disarankan, aku jelas akan melakukan itu.
Entahlah, aku semakin mensyukuri keramaian di rumah kami.
Rumah di Jalan Andalas itu sebetulnya tidak mahaluas. Kamar-kamar di dalam rumah telah penuh oleh kami, anak-anak Emma. Tapi Emma dan Bapak kemudian berinisiatif membuat bangunan sederhana di tanah belakang rumah, lengkap dengan dapur yang cukup besar, beranda nyaman dan kamar mandi. Sepupu-sepupuku hidup nyaman di tengah kami. Setelah Bapak menikah lagi, keramaian di rumah kadang berfungsi sebagai penghibur. Seseorang bisa menyadari kelebihan-kelebihan dalam hidupnya ketika sedang bertimbun lara.
Aku selalu meniru cara Emma menyempurnakan hari, sungguhpun sebetulnya hidup kami tak lagi sempurna. Aku tak pernah berbicara apa pun kepadanya tentang perasaanku terhadap pernikahan kedua Bapak. Mana aku berani. Dan, mana aku tega. Laki-laki belasan tahun sepertiku telah tahu betapa berharganya wajah indah perempuan dengan pikiran bersih. Tak ingin kurusak wajah damai Emma dengan ucapan yang tak patut dan melenyapkan senyumnya.
Jadi, pada tahun pertama Bapak tidak tinggal lagi di rumah, aku mati-matian menjaga sikapku. Juga bibirku. Aku sadar betapa inginnya aku cerewet kepada Emma. Mempertanyakan mengapa ia mengizinkan Bapak menikah lagi. Dan, mengapa ia membiarkan Bapak pergi, tinggal di rumah istri barunya.
Sejak membuka mata kali pertama aku telah memiliki Bapak. Dan, hingga ia diambil Tuhan kelak baru aku mau berpisah. Bagiku, Bapak lebih pantas ada di rumah kami, dengan seorang istri dan anak-anak yang sangat mencintainya, Nurani, aku, Saman, Zohra, Ahmad, Suhaeli, dan Siti Ramlah. Dari Nur yang telah merekah remaja hingga Siti Ramlah yang masih berupa bayi merah. Kami semua membutuhkan kehadiran Bapak. Sungguh ingin aku memaksa Emma untuk bercerita. Apa gerangan yang dipikirkan Bapak hingga ia bisa meninggalkan rumah kami?
Tapi mana berani aku mengatakan itu. Sama seperti Emma yang membuka pagi dan menutup malam dengan sikap-sikap yang menjaga perasaan kami, aku pun menjaga wajah damai Emma dengan tidak banyak berkata-kata. Cukup kuikuti saja apa maunya.
Dan, pada tahun sulit itu, mula-mula Emma tampak baik- baik saja.
Ia sudah mengalirkan cahaya sebelum matahari benar-benar ada. Masih kurasakan lembut suaranya. Mengayun empuk di telinga kami saat Subuh datang. Setelah pekerjaannya di dapur beres, Emma akan memasuki kamar kami. Aku tidur dengan Saman. Ahmad tidur dengan Suhaeli. Nurani tidur dengan adikku, Zohra. Siti Ramlah, tidur bersama Emma.
“Shalat …,” bisik Emma.
Ujung jemarinya menyentuh jemari kaki kami. Itu adalah panggilan surgawi. Aku dan adik-adikku, Saman dan Ahmad, selalu terjaga dengan cepat, mengambil air wudhu, lalu berjalan kecil menuju masjid yang hanya berjarak beberapa langkah dari sisi rumah kami. Nurani dan Zohra juga selalu bangun pagi. Emma shalat di kamarnya.
Emma tetaplah seorang ibu yang sempurna dan tanpa masalah, sungguhpun hidup kami tak lagi sempurna. Kami menghargai caranya melupakan luka. Oleh sebab itu, aku dan saudara-saudaraku tak pernah membiarkan Emma terlalu lama membangunkan kami. Kami akan segera bangkit dan memperlihatkan semangat di depannya. Demi Emma, kami melakukan itu.
Sesudah itu, apa yang terjadi? Pagiku selalu kutunggu karena itu mengartikan akan ada napas Bapak di rumah kami.
Pada pagi yang masih gulita itu aku selalu berpapasan dengan Bapak di masjid. Ia selalu ada, seperti janjinya. “Bapak akan ada di rumah ini ketika kalian bangun tidur dan akan tidur,” ucapnya, pada hari terakhir ia masih tinggal bersama kami. Setelah menikah lagi Bapak memang mengatakan langsung kepada kami, ia akan ada di rumah saat shalat Subuh dan sarapan, serta shalat Magrib dan makan malam. Aku percaya.
Dan, seperti juga janji Bapak yang selalu ia hormati, maka kedatangannya pada pagi hari tak pernah ingkar. Aku tak pernah kehilangannya saat shalat Subuh. Ia berjalan kaki dari rumah istri mudanya, sejauh satu kilometer dari rumah kami. Orang-orang mengatakan Bapak selalu bersemangat mengayunkan langkahnya. “Dia selalu ingin bertemu kalian, hendak berlari menuju rumahmu,” tutur seorang kerabat yang tinggal tak jauh dari rumah baru Bapak.
Bapak tetap shalat di depanku. Ia imamku. Di masjid kami bersimpuh berdekatan. Aku memandang tubuhnya dari belakang. Menatap punggungnya yang agak lebar dan kukuh walau tidak terlalu tinggi. Aku melihatnya tertunduk, tafakur. Entah apa yang ia pikirkan. Aku selalu berusaha menyaring hatinya dengan menatap punggungnya.
Kami menikmati hening setelah shalat dan membiarkan kibasan angin pagi menemani sepi kami beberapa saat. Tak berapa lama, Bapak akan bangkit, melipat sajadahnya dengan perlahan, menyampirkan di pundaknya yang bidang, meninggalkan masjid berkarpet hijau tua itu, dan berjalan pelan menuju rumah kami.
Aku menghirup aroma rindu dalam setiap langkahnya. Selalu kuburu langkah Bapak sebab itulah saat paling lama aku akan melihatnya ada di rumah. Ia tidak banyak berkata- kata. Bapak laki-laki yang dingin. Tapi kami tahu sepenjuru hatinya peduli kepada kami.
Jadi begitulah, Bapak selalu shalat Subuh di Masjid Raya samping rumah dan sarapan di meja makan kami, di kursi yang sejak semula telah ia duduki. Emma tak pernah absen menyediakan hidangan yang istimewa. Sama seperti kerinduanku melihat Bapak, Emma juga memanfaatkan pagi untuk sebanyak-banyaknya memperhatikan Bapak. Disiapkannya meja dengan taplak sutra yang bersih dan perangkat makan yang telah ia lap dengan saksama. Lauk-pauk ditata dengan pandangan cinta. Tak seorang pun dari kami boleh menyentuhnya sebelum pria yang sangat dicintai Emma menyentuhnya.
Kadang Bapak berdialog dengan kami. Selalu ia yang bertanya terlebih dulu. Kami tak pernah berani membuka percakapan. Bukan, bukan karena ia seorang ayah yang tak hangat. Benar, Bapak memang dingin, tapi ia memiliki kehangatan yang hanya ia yang tahu. Dan, kami bisa merasakan getaran sayangnya yang terbungkus itu. Ia biasanya bertanya tentang sekolah kami.
“Kau harus makin banyak belajar berniaga, Jusuf,” katanya. “Bukan hanya membantu Bapak, kau juga harus masuk ke dalamnya. Lakukan sejak kau masih bersekolah,” katanya. Aku mengangguk. Aku memang banyak membantunya di kantor untuk hal apa saja yang bisa dilakukan remaja seusiaku. Tapi aku memang belum berani berniaga secara langsung seperti Bapak.
“Kau sudah cakap mengurus surat-surat pengambilan barang di pelabuhan, Bapak dengar itu.” Bapak melanjutkan ucapannya. Ia memandangku dengan senyum. Sebentar saja. Senyum tak akan berlama-lama mendekam di bibir Bapak. Ia akan kembali menampakkan mimik serius.
Aku selalu takzim di hadapan Bapak. Ia memiliki segala yang dibutuhkan laki-laki untuk menenangkan hati anak- anaknya. Bapak bertanya tentang nilai-nilai kami. Saman, Nurani, dan Ahmad yang masih kecil ikut ditanya-tanya.
Dan, pada akhir dialog ia selalu bertanya, “Apa yang kalian butuhkan untuk sekolah?”
Bapak tidak “meninggalkan” kami. Pikirannya selalu ada untuk kami.
Kadang ia menggendong Siti Ramlah berlama-lama. Pernah kudapati ia menggenggam jemari adik bungsuku itu, yang berbeda ukuran kiri dan kanan. Bapak menciumi jemari itu dengan mata memejam. Sesekali kulihat matanya berkaca-kaca. Sangat sulit aku marah kepada Bapak. Sebagai seorang ayah, aku tidak menemukan kesalahan apa pun pada dirinya. Hanya saja kadang mata hatiku juga mewakili perasaan Emma. Mengapa Bapak meninggalkan rumah kami? Itu selalu menjadi pertanyaan bertalu di batinku.
Kemudian, setelah ia mencukupi kebutuhannya untuk bertemu dan berdialog dengan kami, Bapak melesat lagi ke luar rumah. Mengerjakan bisnisnya. Kami juga berpencaran ke sekolah. Dengan kehadiran Bapak pada pagi hari di rumah, saat melangkah ke sekolah kami merasa tetap memiliki Bapak dengan utuh.
Lalu, sepanjang hari Emma membereskan hal-hal yang perlu ia bereskan di rumah, termasuk pekerjaannya membantu bisnis dagang Bapak. Ia lakukan semua itu tanpa menunjukkan aroma wajah yang berbeda. Begitu rapi ia sembunyikan sedihnya. Ketika kami pulang sekolah dan hari terus berjalan menuju petang, Emma kembali berkutat di dapur. Ia menanti Bapak shalat Magrib di masjid sebelah rumah, berdebar-debar menanti langkah perlahan Bapak, dan menyajikan kesempurnaan di meja makan. Itulah penutup hari yang dipersembahkan Emma.
Yang paling menguliti perasaan kami adalah jika Bapak keluar dari rumah kami menjelang shalat Isya dan kembali menuju istri keduanya. Kurasakan ada sesuatu yang hilang dari batin. Seperti ada ruang kosong yang mencekam. Keropos. Rasanya seperti ditinggalkan. Kami merasa telah menjadi pelabuhan untuknya, tapi ia tetap mencari pelabuhan lain. Rasa itu sangat menyiksa. Biasanya aku segera menenggelamkan diri di kamar, mengaji. Kuredakan pikiranku yang gelisah untuk menemukan tenang kembali. Aku marah, sedih, galau. Tapi mana berani aku protes kepada Bapak?
Paling perih jika kudengar dan kusaksikan bagaimana Emma melewati malam, setelah Bapak tak ada. Emma membereskan meja makan tanpa bicara. Senyap. Gerakannya lembut dan hampa. Caranya membereskan piring-piring kotor dari meja makan sangat berbeda dengan saat ia menata meja menyambut kedatangan Bapak. Tidak terlalu lincah dan tak ada nyawa. Panggungnya sebagai seorang istri telah berakhir. Ia melangkah pelan menuju dapur besar di belakang. Sepupu perempuanku membantunya mengangkut perangkat makan dan mencucinya di belakang.
Hening mengantarnya memasuki malam. Ia kadang memilih masuk ke dalam kamar, menghabiskan waktu dengan perasaan yang entah seperti apa. Atau, ia ada di tengah kami yang berbaring di atas tikar di ruang tengah sambil menidurkan Siti Ramlah. Emma tidak berbicara tentang sakit hatinya, tidak pernah. Senyap membersamakan kami. Sepertinya kami memang harus membisu untuk sebuah perkara yang masih bergelombang di batin kami.
Jadi, begitulah kami menutup hari. Melewatkan malam dengan sunyi. Hanya Nurani yang banyak berceloteh dengan Saman. Aku lebih sering berdiam diri, menekuni buku pelajaran. Sesekali kulirik Emma yang mengelus-elus wajah Siti Ramlah. Emosi sedihnya kental betul saat memandang adik bungsuku. Malam di Makassar pada awal 1957 hanya diwarnai sesekali saja bunyi kendaraan bermotor. Telah banyak orang kaya di kota kami. Saudagar hasil bumi dan tekstil. Juga pedagang sutra yang mampu menjual sampai ke Jawa. Mereka memiliki mobil. Tapi hanya sedikit yang mau mengendarainya pada malam hari.
Kadang Emma mengaji pada malam hari. Lirih saja. Halus dan sangat cantik suaranya. Ia mengenakan kerudung berwarna lembut, baju terusan longgar dan sarung. Lalu, duduk melipat kaki di atas tempat tidur dengan Siti Ramlah berbaring manis di sisinya. Ia terlihat tabah dan tanpa masalah.
Tapi hati laki-laki berusia belasan tahun sepertiku, telah cukup mengerti ada luka di batin Emma. Baginya, Bapak tetap sempurna walau telah menikah lagi. Sungguh itu sebuah kedewasaan yang berat.