“Rumah tidak selalu menjadi tempat yang nyaman. Namun, rumah akan selalu menjadi tempat terbaik untuk kamu kembali.”
Athlas berjalan mengendap-endap keluar dari kamar menuju dapur. Melirik kiri dan kanan untuk memastikan tidak ada satu pun penghuni rumah yang melihatnya saat ini.
Sesampainya di dapur, dia membuka tudung saji di atas meja makan. Ternyata, sudah tidak ada makanan di sana. Athlas mengembuskan napas berat.
“Papa tajir, tapi makanan aja enggak ada di meja makan,” gumam Athlas.
Kemudian, pandangannya teralihkan pada kulkas besar hitam yang berdiri tegak di sebelahnya. Dengan lidah menyapu bibir atas, Athlas mendekat, lalu membuka kulkas itu. Dia mendapati banyak sekali makanan di dalamnya.
Kedua mata Athlas berbinar. Ada seiris Red Velvet Cake menganggur di dekat cookies, yang langsung dia tarik keluar dari kulkas.
“Mama! Red Velvet aku enggak ada.”
Tiba-tiba saja, jeritan Athilla muncul dalam kepala Athlas. Entah mengapa, dia merasa hal tersebut akan terjadi jika dia tetap mengeluarkan kue itu, meski dia tidak tahu pasti siapa pemiliknya.
Athlas meletakkan kembali Red Velvet itu ke tempat semula.
Pandangannya kini teralihkan pada kotak susu murni cokelat yang ada di pintu kulkas. Seraya tersenyum, dia mengambil susu itu dari tempatnya.
Tidak ada bayangan Athilla muncul dalam kepala Athlas ketika memegang susu itu. Namun, wajah dingin Athalan mendadak berkelebat seperti hantu. Athlas merinding. Dengan cepat, dia mengembalikan susu itu kembali ke tempatnya. Wajah dingin tanpa ekspresi Athalan sangat mirip dengan Papa, dan itu bikin Athlas malas.
Putus asa karena semua makanan tampaknya “bertuah”, Athlas menutup kembali pintu kulkas. Dia tidak perlu ragu lagi bahwa donat atau jelly di bagian sana, pasti punya Athalan atau seenggaknya Athilla. Dan, mengambil tanpa izin membuat Athlas merasa enggak enak. Athlas enggak pernah mau membuat Athalan atau Athilla merasa sedih.
Cowok berambut cokelat itu mendengus pasrah. Tampaknya, dia harus kembali ke menu langganannya setiap malam.
Athlas menyalakan kompor dan meletakkan panci berisi air di atasnya. Dari laci dapur, dia mengeluarkan mi instan favoritnya.
“Hm ... makan mewah lagi.”
Dalam waktu 10 menit, Athlas sudah duduk di depan meja makan bersama semangkuk mi instan dicampur sawi, bakso, cabai rawit, dan telur kocok. Dia mengangkat tangan untuk berdoa sebelum dengan lahap mengunyah mi.
Bagi Athlas tidak ada hal yang lebih nikmat selain menyantap mi malam hari. Sebenarnya ini kegiatan rutin Athlas setiap malam karena dia enggak pernah mau ikut makan malam jika Nakula sedang ada di rumah.
Padahal, Nakula sedang mendedikasikan dirinya pada cabang-cabang perusahaan di Kalimantan dan Jakarta. Namun, sudah tiga bulan belakangan ini, Nakula lebih sering nongol di rumahnya di Bandung, meski setiap hari melakukan perjalanan pulang-pergi Bandung-Jakarta.