“Karena senyum yang kamu anggap biasa itu akan selalu menjadi bagian terindah dalam setiap hariku.”
Athlas menutup pintu kamar setengah kesal. Menghindari menyakiti hati ibunya, dia lebih memilih pergi daripada terpancing emosi karena terus-terusan membicarakan ayahnya. Cowok itu melangkahkan kakinya ke tempat tidur, lalu telungkup di atasnya.
Setelah diam beberapa saat, Athlas menengadahkan kepala—memandang malas kepala tempat tidur yang ada di depannya. Dia meraih benda 6 inch tipis yang ada di dekat bantal dan menyalakannya. Seketika, benda hitam pekat itu berubah menjadi transparan selama 3 detik dan menggantinya dengan gambar seorang cewek berambut panjang yang terpampang cantik pada layar utamanya. Dia Laudia, pacar Athlas.
“Kamu lagi apa?” gumam Athlas, kemudian memutar posisi tubuh menjadi telentang. Athlas membuka salah satu aplikasi talk dan mencari kontak yang bertuliskan “Pacarku” .
Setelah dihubungi, ponsel Athlas langsung menyorotkan hologram ke langit-langit, memenuhi seisi kamar dengan wajah seorang cewek yang sedang berkutat di depan buku. Hologram tersebut berbeda dengan hologram pada komputer belajar milik Athlas. Ia tampak keperakan, dengan pendar-pendar kebiruan yang agak redup, menyesuaikan dengan kondisi cahaya ruangan.
“Belum tidur?” sapa Athlas.
“Belum, lah,” jawab cewek dalam proyeksi hologram tersebut. Dia mengangkat sebuah buku menutupi setengah wajahnya. “Kan, udah kubilang, aku ada tugas kelompok. Ngerjainnya harus malam-malam karena ada satu anggota kelompokku yang digital training buat kompetisi dance setiap sore. Jadi, kami baru bisa conference call jam sebelasan. Kamu kenapa belum tidur juga? Makan mi lagi kayak kemaren- kemaren?”
“Enggak bisa tidur, nih. Hehehe.”
“Kenapa lagi?” Laudia menolehkan kepalanya ke arah belakang. Athlas dapat melihat ada proyeksi hologram lain di dinding kamar Laudia, terdiri dari sorotan kepala-kepala kecil yang masing-masing tampak sibuk membaca. Itu adalah sambungan konferensi antara Laudia dan teman sekelompoknya.
“Kepikiran kamu,” jawab Athlas.
“Gombal!” Beberapa orang dari teman sekelompok Laudia cekikikan. “Ada apa, nih? Aku lagi riset buat materiku. Mau googling dulu.”
“Ih, bener, aku kepikiran kamu. Ciyus, deh, mioyeng.”
“Apaan, sih, kamu? Alay, deh.”
“Alay-alay, kamu sayang juga, kan?”
“Iya, deh, iya.” Kemudian, ada sorakan, “Ciyeee ..., ” dari belakang Laudia. Cewek itu melempar mereka dengan buku, tetapi buku tersebut hanya jatuh menabrak dinding, menembus sorotan hologram. Teman sekelompok Laudia mulai terbahak. “Tuh, kan, jadi aja aku digodain.”
“Gapapa kali. Kan, kamu pacal aku. Hihihi .... Eh, aku mau kirim foto, nih!”
“Foto apa?”
Athlas tidak menjawab. Dia membuka file attachment dan mengirimkan foto. “Tuh, cek!”
“Ya, ampun, kamu ngapain?” seru Laudia.
“Selfie. Pake panci. Ganteng, yah?”
“Enggak!”
“Ya, udah ....”
Laudia menjulurkan lidahnya sambil tertawa. “Bercandaaa .... Jangan ngambek, dong!”
Athlas mengangkat dagunya, pura-pura ngambek. “Ga
papa, yang penting ganteng.”
“Iya, kamu ganteng. Pacarnya aku! ”