“Merdeka!”
Bunyi tembakan meriam meluncur di udara, lantas mendarat telak di gendang pendengaran seorang gadis--tubuhnya berguling menyamping untuk bertahan dalam kenyamanan tidur. Gadis itu mendesah, tak kuasa melawan kesejukan kasur yang masih merayu untuk membuatnya kembali meringkuk malas. lantas manuver itu kandas ketika alarm kembali memekik.
Duh! Ia lupa menyetel ulang perangkat global otomatis tadi malam. Pelantang suara--pas ukuran liang telinga yang sementara dilepaskan dan sedang bertengger pada tangkai magnetik--berkedip merah, menandakan level volume maksimal. Sambil mengusap mata berair, jemarinya turut menggaruk hidung yang tiba-tiba terasa gatal, “Hatsyiii!” Gusar, ia malah bersin. Bantal di bawah kepala ia renggut kasar, lalu menjadi korban kejorokan ingusnya yang meleleh. Seolah belum cukup menambah daftar dosa, bantal itu pun ia lempar ke arah gawai tidak bersalah tadi.
“Merdeka!” Tangan Anggun terentang ke atas menyertai sorak penuh kemenangan.
Tidak ada lagi tugas harian. Tidak ada lagi teror menyebalkan.
Sesungguhnya, hari-hari kemarin tidak terlalu buruk. Bagaimanapun, ia gagal membayarnya dengan pelbagai skenario menyenangkan di masa mendatang. Betapa ia lalai untuk bersyukur ….
***
"Di manakah kita berada sekarang?"
Kelopak mata Archimadea melebar. Pertanyaan dari Anggun terdengar seperti pembuka debat berkepanjangan jika itu dilontarkan dua puluh tahun yang lalu. Nyatanya, kesempatan untuk menyanggah sudah habis karena di sinilah mereka berada sekarang, pada tonggak peradaban yang nyaris runtuh--sisa-sisa fondasi kemanusiaan yang mendiami "Koloni di Atas Air". Hanya segelintir orang berhasil bertahan sampai di sini. Dirinya, juga Anggun.
"Aku tidak tahu!" tandas Archie gusar. Wanita di sampingnya ini selalu saja hidup dalam kenangan masa lalu yang tidak terjangkau oleh titik buta mata penghuni akhir peradaban. Meski jauh dalam lubuk hati Archie juga terpupuk rasa kerinduan yang sama, tetapi ia cukup tahu diri untuk tidak menunjukkan gejolak itu sekarang, sementara mereka terapung di tengah-tengah samudra asa tak bertepi. Pantai-pantai harapan telah tenggelam bersama wajah "bumi" yang leleh mencair.
"Alfa, segera melapor ke ruang pertemuan." Terdengar panggilan dari perangkat global yang meringkuk di liang telinga Archie. Suara tenor Sekjen Maurich terlalu jelas untuk diabaikan. Sebuah perintah.
"Apakah Anggun bersamamu? Bila iya, bawa juga dia ke sini."