ATLAS

Ravistara
Chapter #5

Dominator

Kepsek muda berusia pertengahan tiga puluh itu meletakkan kacamata gawai nirkabel di atas meja. Ia berusaha duduk tenang mengendalikan situasi antara dua kubu di hadapannya. Sebelum berakhir di meja sang kepsek, kekacauan di ruang Pseudorealm berbuntut panjang dan menemui jalan buntu di tingkat Pengawas Disiplin. Meskipun bukan kejadian pertama, tetapi ini pelanggaran terbesar yang pernah dicatat oleh Borneo International School karena sampai jatuh korban serius.

Konsekuensinya pun tidak main-main. Tidak ada yang dianggap kecil jika sudah berhubungan dengan Pakta Ras Unggul. Lagi-lagi melibatkan dua spesies berbeda, subjek yang sama, dan biang keladinya itu-itu saja.

"Silakan, Anda berdua boleh menyampaikan sesuatu." Pak Kepsek berbicara penuh empati pada Bapak dan Ibu Arthaguna yang duduk kaku di seberangnya dengan raut wajah gelisah.

"Boleh saya bicara terus terang, Pak?" Ayah Anggun meminta izin. Pria itu melayangkan pandang sekilas pada orang tua Archimadea lantas mendesah. "Saya berharap, mulai sekarang putri saya tidak dilibatkan lagi dalam proyek dominator di sekolah ini. Sebagai orang tua, saya hanya ingin jaminan dari pihak sekolah bahwa putri saya terlindungi karena dia berasal dari kaum minoritas."

Giliran sang kepsek mendesah sambil mengusap wajah. Sementara, pihak keluarga satunya tampak tegang menunggu reaksi Pak Mandala mengenai perbuatan sang putra yang sudah melampaui batas. Archimadea akan dihukum, kata-kata itu terus berputar dalam benak mereka. Syukur-syukur kalau pihak sekolah tidak mengeluarkan Archie. Semoga orang tua Anggun juga tidak mengajukan tuntutan.

"Maaf. Soal itu, saya tidak punya wewenang untuk menarik Anggun dari proyek dominator, Pak Arthaguna. Semua yang berkaitan dengan Pseudorealm adalah kebijakan langsung dari otoritas Octagon." Punggung Pak Arthaguna pun menegak seiring harapannya yang kandas. Raut pria itu seolah sedang menggigit jari. Yah, pembicaraan ini terdengar bagai formalitas semata demi keuntungan pihak sekolah.

"Pak Mandala." Bapak Arthaguna mencondongkan tubuh ke depan. "Apa antisipasi dari Bapak agar hal seperti ini tidak menimpa putri saya lagi?" Ditanya secara pribadi begitu, Pak Mandala menelan ludah. Ia bisa melihat kemarahan dalam mata orang tua Anggun karena sang putri kini terbaring di ruang perawatan sekolah. Bukan kasus pingsan akibat kelelahan atau sakit biasa, tetapi serangan maut yang bisa saja menyebabkan nyawa Anggun dalam bahaya.

"Kita semua tahu bahwa Anggun istimewa." Ini dia masalahnya.

"Maka, karena itulah Anggun berada di bawah pengawasan Octagon sepenuhnya." Pak Mandala, sang kepsek tak bosan-bosan mengingatkan. "Anggun akan tetap berada dalam proyek ini, bahkan setelah keluar dari BIS." Ia padamkan sinar di mata ayah Anggun hingga putus asa.

"Pak Mandala, tolonglah. Bukankah sekolah ini sudah punya dua dominator calon rekrutan Alfa One? Itu cukup, 'kan?"

"Tidak pernah ada kata cukup untuk kondisi dunia kita yang sulit ini, Pak Arthaguna. Semua sumber daya potensial selalu dibutuhkan." Entah musti tersanjung atau tersinggung, emosi ayah Anggun tersulut.

"Putri saya bukan objek, Pak."

"Maaf, saya tidak pernah menyebut begitu."

"Tapi, beginilah cara Anggun diperlakukan, bukan? Apa bedanya dia dengan kelinci percobaan? Dia masih enam belas dan hanya gadis biasa yang kebetulan memiliki gen menyimpang!" Istri dari pria itu lantas mengusap-usap bahu sang suami untuk menenangkan. Bukan salah mereka berada di zaman yang serbaspekulatif. Kemungkinan bumi tenggelam, ancaman kelangkaan sumber daya alam, juga sistem klasifikasi masyarakat yang berada dalam taraf tak wajar untuk ukuran keluarga konservatif mereka.

"Kalau Anda memang punya masalah, sampaikan hal itu langsung pada saya, Pak Arthaguna!" Orangtua Archie angkat bicara karena merasa posisi mereka diabaikan.

"Bapak Ibu, saya mohon tenang!" Kedua tangan Pak Kepsek terentang sebagai isyarat untuk menengahi mereka. Tidak boleh ada pertengkaran orang tua dalam ruangannya. Ia sampai melonggarkan dasi kemeja.

"Saya akan memberi Archie tindakan tegas, asal Pak Leo ketahui." Orang tua yang dimaksud sang kepsek hanya mengangguk pasrah, sementara pihak orang tua Anggun tampaknya belum puas. "Maafkan saya sekali lagi, Pak Arthaguna. Saya hanya berharap pengertian dari Bapak soal posisi Anggun. Selama dia masih menjadi siswi di sini, saya akan berusaha semaksimal mungkin agar kejadian seperti ini tidak kembali terulang."

Janji diplomatis yang sama. Andai tidak melibatkan mesin bernama Pseudorealm.

Lihat selengkapnya