2097, ATLAS
Di tepi sebuah ponton, berbanjar rapi hewan langka dari kedalaman yang berhasil dikumpulkan oleh Mino, petugas konservasi muda Atlas. Warna putih susunya memandu nostalgia Anggun pada satu masa. Selintas terlihat indah, tetapi terumbu ini sedang sekarat.
Dengan persentase kurang satu persen dari laut dunia, karang berperan menopang seperempat kehidupan bawah laut. Sebuah angka besar jika terumbu-terumbu ini mati dan manusia sudah merasakan dampaknya ketika ikan-ikan mulai menghilang dari menu di meja makan mereka. Rencananya, terumbu-terumbu ini akan mereka restorasi lagi di sebuah tempat terisolasi dalam sebidang kubah barier yang terpancang di dasar laut. Susah payah para ilmuwan biologi kelautan dulu membangun dan menjaga tempat ini sebagai suaka. Madagaskar yang terpilih karena pulau di Samudera Hindia ini berada dalam daftar daratan pertama yang lenyap dari peta dunia akibat naiknya permukaan laut. Tempat ini jualah yang akhirnya menjadi basis kekuatan Atlas di masa depan.
Tatapan Anggun dan Mino sama-sama tertuju barisan karang dengan rasa melilit di perut. Mereka terlalu sayang untuk menempatkan terumbu karang di lautan lepas. Berharap hewan-hewan itu siap beradaptasi, sama saja berjudi dengan kematian. Andai mereka bisa menemukan cara untuk meregenerasi hewan ini lebih cepat atau menerapkan mutasi genetika seperti yang dilakukan pada manusia. 'Teguh bagaikan karang' nyatanya hanya imajinasi para pujangga naif yang tidak punya landasan ilmiah.
Sebuah memori kekanakan melintas di kepala Anggun. Sepertinya, dulu ia pernah menyaksikan sebuah tayangan iklan yang menggunakan karang mati sebagai gigi keropos akibat direcoki makanan asam. Sejak menonton iklan tersebut, Bunda sering menambah soda kue ekstra dalam pasta gigi mereka, meski tidak diperlukan. Iklan televisi itu berhasil membuat Bunda paranoia. Konyol. Namun kini, Anggun merasakan ketakutan yang sama. Ada apa dengan dirinya?
"Bagaimanakah penampakan salju itu, Nona Anggun?”
Pertanyaan di luar topik dari Mino sungguh mencengangkan. Bahkan, karang-karang ini menghanyutkan imajinasi Mino terlalu jauh. Ketika tatapan mereka bertemu dan melihat Mino masih menunggu, Anggun bertanya-tanya apakah pertanyaan dangkal tadi hanya sebuah jebakan? Pemuda itu lantas menyerahkan karang yang ia petik dengan robot penyelam kendali jarak jauh ke tangan Anggun.
Salju.
Sebenarnya, itu bukanlah pengalaman pertama bagi Anggun. Dulu, waktu masih seusia Mino, ia pernah mengalami langsung fenomena salju di tengah iklim global yang tak menentu akibat penghangatan bumi. Hujan es dan salju tumpah dari langit, mengepung negara tropis mereka yang semula hangat dan ramah. Semua orang tidak akan pernah melupakan bencana yang pernah diukir oleh sejarah. Namun, bagi seorang pemuda yang lahir di tengah Atlas, sebuah kisah kecil mengerikan sekalipun seolah bagai hiburan berharga untuk menjejak peradaban bumi yang kini terdengar seperti dongeng baginya. Ah, pemuda yang malang.
“Putih dan dingin.” Sebuah jawaban klise meluncur keluar dari mulut Anggun.
“Pasti menyenangkan bisa menyentuh salju.” Bola mata pemuda itu berpijar seakan sedang menatap fatamorgana di hadapannya.
Bagaimana rasanya tidak pernah melihat atau memijak daratan? Masih lekat dalam ingatan Anggun hari di mana Mino lahir. Bayi mungil itu seakan mewakili harapan baru yang sayangnya kini terancam lenyap oleh D-48.
“Mino.” Anggun berusaha menjentik kesadaran pemuda yang sedang larut dalam imajinasinya. “Maukah kau tahu apa yang kulihat selain salju di luar sana?”
Ah, bola mata itu berkilat takjub.
“Saat musim semi, bunga-bunga bermekaran dan padang rumput akan menghijau seperti permadani. Hewan-hewan keluar dari sarang mereka, bumi akan ramai sekali oleh kicau burung dan bunyi berisik serangga yang bangkit dari tidur panjang mereka.” Anggun yakin, Mino pasti tak paham soal hewan-hewan dalam ceritanya, tetapi Anggun berusaha menghadirkan mereka dalam versi terbaiknya. Tentu saja kisah-kisah semacam ini adalah karangannya semata karena sejatinya dia tidak hidup di negara empat musim. Memori yang tertinggal dalam benak Anggun hanyalah distopia berkelanjutan yang menyisakan kesedihan. Namun, Anggun ingin berbagi kenangan indah semacam itu kepada anak-anak muda seperti Mino agar bisa turut menikmati, meskipun sekadar dusta.
Fakta di masa itu, generasi mereka mulai merasakan pukulan menyakitkan dari whitening effect. Pemutihan masif yang menimpa kawasan barier--terumbu karang-- dunia, menyebabkan populasi ikan berkurang drastis. Sementara, gagal panen di mana-mana. Umat manusia harus menelan pil pahit akibat kombinasi maut tersebut, yakni kelaparan global pascabencana. Tak seorang pun luput dan merasa selamat. Semua menanggung derita sama rata. Kecuali di sini, tempat yang dibangun untuk menanggulangi distopia semacam ini, segelintir pemrakarsanya sudah memprediksi dan bersiap-siap sejak lama. Yang selamat kala itu pun ingin ke Atlas. Namun sayang, tak cukup banyak tersedia tempat untuk menampung semua orang.
Anggun terus saja bercerita sambil menimang-nimang karang di tangan, hingga seseorang merebut karang tersebut dan meremukkannya seperti pasir di sela-sela jemari kasarnya. Archie. Kesenangan mereka pun terhenti.
“Mulai lagi dengan kebiasaan burukmu, Amara?” Wajah Archie memerah padam seolah yang sedang dilakukan oleh Anggun barusan adalah dosa tak termaafkan. Mino memucat. Pemuda itu segera berhenti di tengah pekerjaan yang sedang ia lakukan dan beranjak meninggalkan mereka tanpa suara. Tidak seorang pun tahan untuk berada di dekat Archie yang sedang marah, kecuali Anggun seorang.
“Archie, kau terlalu keras pada semua orang,” desis Anggun kecewa.
“Dunia ini akan berakhir dan kau masih saja menebar mimpi kosong di benak orang-orang. Apa kaupikir cerita dongengmu itu sehat untuk mental mereka?”
Anggun segera menyadari kalau Archie tidak mampu berdamai dengan sisa waktu menjelang prediksi Profesor Senora. Pria ini sedang sekarat.
“Kumohon, Archie. Jangan memperburuk keadaan.”
“Kaulah yang melakukannya! Dunia kita akan musnah seperti karang ini, tapi kau terus saja berusaha menghidupkannya dalam kebohonganmu!”
Archie menghamburkan sisa-sisa serbuk karang di tangannya kesal ke udara dan membalikkan harapan Anggun pada satu titik. Tidak peduli seberapa gigih para ilmuwan mengerahkan darah, keringat, dan air mata untuk mencegah pemutihan karang di berbagai belahan dunia, nyatanya, efek ini terus berlanjut tak terbendung. Tidak ada terumbu karang, tidak ada barier, dan juga kehidupan di pesisir. Itu berarti tidak ada ikan, sumber daya laut yang berharga. Salah satu tanda kiamat di laut adalah sudah lama tak terlihat hiu, salah satu predator puncak di masa kejayaan kerajaan hewan laut. Separah itulah penderitaan yang sedang ditanggung oleh bumi mereka. Generasi sezaman Mino boleh dikatakan hanya menumpang hidup sementara di sini.
Anggun terduduk dan memejamkan mata. Archie benar. Lantas, tidak bolehkah mereka yang tertinggal ini sedikit mengecap janji manis bernama harapan?