Anggun pulang ke rumah dengan dengan segumpal kemarahan di dada. Segala hal mengerikan yang ia alami di Pseudorealm hari ini masih terekam dengan jelas dalam kepala. Belum pernah Anggun merasakan emosi yang begitu memuncak. Namun, kekacauan itu tidak boleh terlihat terang-terangan di wajahnya. Bagaimanapun juga, Anggun sadar akan posisinya yang begitu terekspos; ia adalah seorang dominator, maka segala kemungkinan bisa saja terjadi jika orang-orang di Octagon menghendaki sesuatu. Pembicaraan sensitif apa pun terkait posisi tidak menguntungkan itu, tentu akan terdengar mengkhawatirkan di telinga orang tuanya. Anggun tidak ingin menjadi beban pikiran bagi mereka.
Akan tetapi, Anggun tetap seorang gadis biasa. Ada batasan yang tidak sanggup ia tanggung sendiri. Sebuah dorongan besar untuk meluapkan sebagian pikiran yang terpendam, akhirnya tidak terbendung juga, dan momen itu terjadi di meja saat makan malam.
“Apa yang Ayah ingat tentang dominator-dominator di masa Ayah dulu?”
Pertanyaan Anggun terdengar tidak biasa, hingga mengundang tatapan heran dari Ayah dan Bunda di seberang. Topik ini sama sekali belum pernah dibahas di meja makan sebelumnya. Biasanya, pembicaraan Anggun tidak berkisar jauh dari aktivitasnya sebagai Nona Bumi, serta diskusi-diskusi hangat tentang perubahan lingkungan yang selalu menjadi perhatian serius mereka bertiga. Sesuatu tentang dominator adalah hal baru. Jujur, mereka lebih senang untuk tidak membicarakannya, meskipun putri mereka sendiri terlibat dalam hal semacam ini. Maka, wajah Pak Arthaguna tampak menegang saat berucap, “Seingat Ayah, mereka siswa-siswa hebat. Dulu, dipilih dari siswa lelaki. Tapi kini, sepertinya Alfa One tidak pilih-pilih jenis kelamin dan ras lagi, mereka seperti dikejar-kejar monster saja.”
“Lalu, apa yang terjadi pada siswa-siswa itu?”
Terdengar hela napas berat dan sorot mata tanpa cahaya dari sang ayah. Sikap yang dirasa sangat tidak biasa di mata Anggun.
“Awalnya, mereka tampak puas dan berbangga diri. Tapi, ketika tahu harga yang harus dibayar di balik semua kejayaan semu itu, tidak sedikit yang akhirnya mengundurkan diri.”
“Benarkah? Sebelumnya, benar-benar ada yang meminta begitu?” Anggun tampak tertarik. Kalau pilihan seperti itu ada, ia merasa lebih lapang.
“Ya, tapi semuanya ditolak. Tidak ada kata mundur kalau sudah masuk dalam progam ini, Gun, kecuali ada yang cedera dan tidak bisa lanjut lagi. Kalau tidak, meskipun orang tua dan wali mengajukan petisi, sudah dipastikan Octagon tidak mau tahu.”
“Maksud Ayah … mereka semua akhirnya dipaksa? Jadi, kami tidak punya pilihan di sini?”
“Apa maksudmu, Gun?” Sepasang mata ayah dan anak itu saling mengunci penuh tanda tanya.
“Tolong, jangan berpikir yang tidak-tidak, Ayah. Aku hanya bertanya.”
“Apa telah terjadi sesuatu?” Pria itu berusaha menanggapi perkataan putrinya dengan serius. Ia gagal menepis rasa curiga akibat pertanyaan Anggun barusan.
“Maksudku, aku hanya berpikir; perbedaan apa yang akan terjadi seandainya program dominator ini tidak ada?”
“Sudah lama orang-orang menduga proyek ini hanyalah akal-akalan dan konspirasi sebuah organisasi tingkat dunia. Mereka mengumpulkan para generasi terbaik dalam Alfa One, entah apa tujuan mereka, tapi orang-orang menduga kalau itu tidak lebih untuk mengamankan posisi kelompok tertentu di tingkat global. Tujuannya jelas, menjadi nomor satu dan dominasi ada di tangan mereka.”
“Maksud Ayah, mereka sedang membuat sebuah pasukan?”
“Mungkin, siapa tahu?” Ayah mengedik dan menggeleng kesal. “Kabarnya, mereka mencuci otak para rekrutan untuk memperoleh kesetiaan mereka. Jika suatu hari kau menjadi bagian dari mereka, Ayah harap kau tidak akan pernah melupakan kami sebagai orang tuamu.” Perut Anggun melilit mual.
“Ayah terlalu berlebihan.” Bunda segera meredakan ketegangan yang tercipta. Wanita itu seolah bisa melihat kegelisahan bergejolak dalam diri sang putri saat ini; terjebak di antara integritas keluarga dan posisi istimewanya.
“Aku tidak mungkin menjadi bagian dari Alfa One, Ayah. Aku bukan yang mereka cari.” Anggun tersenyum pahit dan pura-pura melanjutkan makannya dengan kepala tertunduk dalam. Ia hanya tidak ingin menentang tatapan sang ayah saat ini atau kebohongan dalam kata-katanya tadi akan terbaca.
Yah, kedua orang tuanya mungkin bisa ditipu, tetapi ada beberapa orang yang tidak. Keesokan hari, ia kembali harus berhadapan dengan masalah. Levi sengaja menunggu di luar gerbang. “Nona Bumi.” Levi menyapa Anggun dengan sarkasme ala Archie. Langkah Anggun berhenti tepat di luar gerbang. Cowok itu mencekal lengannya dengan tatapan yang sangat serius. “Aku ingin bicara denganmu.”
Ironis, Anggun justru berharap Archielah yang sekarang menjegal langkahnya. Berurusan dengan Levi terasa jauh lebih rumit. Jika Levi telah bersikap frontal, Anggun tidak tahu cara untuk menolak. Bukan rahasia umum kalau cowok ini berada di pihaknya dan Levi jelas-jelas menaruh hati padanya--hal merepotkan lain yang harus ia hadapi sebagai seorang gadis.
“Tolong, bicaralah dengan singkat sebelum teman-temanmu curiga dan lepaskan tanganku,” pinta Anggun serba salah.
“Maaf.” Levi melepaskan tangan Anggun, tetapi ia meminta Anggun ikut ke suatu tempat yang cukup tersembunyi dari pandangan semua orang--salah satu sudut di belakang sebuah pantamera, kotak deposit sampah plastik besar ala Swedia seukuran kotak telepon yang berdiri di dekat gerbang. Sempurna.
Terimpit di antara gerbang dan pantamera, Levi memojokkan Anggun. Jika orang yang berada di posisinya sekarang adalah Mirna si penggemar cowok serigala ini, pasti sahabatnya itu sudah melayang ke bumantara. Sayang, orang itu adalah dirinya. Ia rela seandainya bisa bertukar tubuh dengan Mirna yang mungkin kini sedang menunggu dengan aman di balik tembok sekolah.
“Hei, Nona Bumi.” Sekali lagi cowok itu memanggil Anggun dengan cara yang lebih terdengar untuk menutup kecanggungan dalam suaranya, seakan merasa tidak nyaman berada dekat Anggun. Tidak heran. Mungkin karena sikap Anggun terlalu kaku.
“Apa yang sebenarnya terjadi di Pseudorealm kemarin?”
Giliran Anggun menelan ludah. Pertanyaan semacam ini adalah sesuatu yang ingin ia hindari seharian, juga besok, dan besoknya lagi. Semua orang begitu tertarik dengan apa yang terjadi pada dirinya, seakan ia adalah sosok yang tidak bisa dibiarkan begitu saja menyendiri dengan masalah pribadinya.
“Tidak ada apa-apa dan itu tidak penting untuk kauketahui.”
Levi tampak terpukul dengan penolakan telak itu. Ah, mungkin Anggun bersikap keterlaluan.
“Sungguh?” Cowok itu terdengar benar-benar khawatir.
“Archie yang lebih pantas kauperhatikan. Bukan aku” Anggun mengelak.
“Tapi, bukan dia yang dipanggil setelah semua orang sedang memulihkan diri di ruang perawatan, kemudian pulang dengan wajah pucat seolah-olah ada monster mengisap energi kehidupan darimu kemarin.” Penggambaran yang sungguh dramatis dari Levi. Entah, apakah Anggun harus berterima kasih atas semua perhatian tersebut.
“Levi, mereka hanya menginterogasiku dengan pertanyaan-pertanyaan tak penting dan itu sungguh mengganggu serta menguras energiku.” Anggun tidak sepenuhnya berbohong. Orang-orang itu kemarin memang menanyai ia panjang lebar setelah ia berhasil keluar hidup-hidup dari ujian kedua yang menguras emosi habis-habisan. Bagaimana tidak? Anggun nyaris mati. Bukannya berempati, para tim penguji dari Alfa One malah mencecarnya bertubi-tubi dengan beragam pertanyaan seperti bagaimana reaksinya saat berada di dalam sana selama masa-masa mengerikan itu!
“Anggun, kau baik-baik saja?” Tampaknya Levi mulai curiga saat menangkap perubahan di wajah gadis itu. Anggun pun menggeleng tegas.
“Sudah cukup? Kembalilah pada Archie atau aku akan terlibat masalah jika dia tahu kau ada di sini bersamaku,” tolak Anggun halus. Levi terbungkam. Cowok itu kemudian hanya membiarkan Anggun berlalu menuju gerbang sekolah.