Pak Mandala datang agak terlambat untuk memenuhi sebuah panggilan penting di sore hari. Pria itu baru saja pulang ke rumah yang belum lama ia tempati dalam masa bulan madu. Saat itu, sang istri tercinta tengah menghidangkan kue labu kukus daun pisang khas Kalimantan yang masih mengepul panas dan menguar harum. Belum sempat pula dirinya menyuap sepotong penganan lezat itu ke dalam mulut, alat komunikasinya berbunyi. Asalnya dari kantor keamanan dan kabar yang ia terima sungguh meresahkan: ketiga dominator dari sekolah yang ia ampu, digiring ke tempat itu. Pak Mandala terperenyak.
Sekali lagi, ketiga remaja itu berhadapan dengan sang kepsek di ruang interogasi khusus penanganan konflik antarras. Harus diakui, terdengar rasial memang. Di tingkat global, ada badan keamanan khusus yang menangani pelanggaran semacam ini. Baiklah, ini bukan dalam konotasi golongan bangsa, tetapi telah berkembang menjadi antara mutan dengan ras murni, dan antarmutan lainnya.
Sang kepsek tercenung sejenak, mencoba menyelisik telah berapa bilangan kasus serupa yang ia tangani sejak ketiga dominator ini resmi menjadi siswa di sekolahnya awal tahun lalu. Tak kurang dari 48 kali pelanggaran dari tingkat nakal, brutal, hingga fatal. Kalau dirata-ratakan, setiap minggunya ada saja kasus yang terjadi, terutama antara Archie dan Anggun.
Ya, Anggun selalu berakhir sebagai korban, tentu saja. Namun, gadis ini turut bersalah karena selalu melibatkan diri dengan si biang masalah. Sementara Levi, ia mungkin hanya alat yang digunakan oleh Archie untuk meretas keamanan sekolah, termasuk Pseudorealm. Beberapa memang tidak serius, tetapi Anggun menyebutnya sebagai kejahatan energi. Mau tidak mau, sang kepsek pun setuju dalam hal ini. Jadi, ia tatap lekat si werewolf berstatus alfa tersebut. Hanya satu kalimat yang ia ucap kemudian: “Nak, kau butuh waktu yang banyak-sangat banyak untuk merefleksikan diri, sebelum mereka benar-benar mengirimmu ke penangkaran hewan di pusat konservasi Rimba Raya.” Sang kepsek tidak peduli apakah Archie bisa memahami. Ia sungguh-sungguh serius ingin menerapkan konsekuensi atas catatan panjang kenakalan Archie.
Nah, setelah urusan dengan Archie tuntas dan ditutup oleh satu kalimat yang mampu membungkam protes remaja itu, sang kepsek beralih pada si protagonis, Anggun. Entah kenapa, ia selalu merasa bersikap kejam terhadap gadis ini. Tuntutan tugas memang tidak boleh pilih kasih. Anggun adalah seorang dominator terpilih. Jadi, ia harus diperlakukan sebagai dominator pula. Titik.
“Kalian berdua,” katanya lunak pada Anggun, sekaligus Levi di samping gadis itu, “persiapkan diri kalian. Saya telah diberitahu. Sebentar lagi, jadwal perjalanan pertama kalian sebagai kadet akan tiba. Akan ada tim yang menjemput di akhir minggu ini. Dan, untukmu, Anggun ... saya akan bicara langsung kepada orang tuamu, sekaligus mengantarmu pulang. Harap rahasiakan kedatangan saya kali ini untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.” Pasti alasan tidak ada di rumah yang biasanya selalu dilontarkan oleh orang tua Anggun setiap kali pria itu berniat berkunjung secara pribadi. Anggun tidak bisa membantah.
***
“Wow, aku tidak menyangka kalau orang tuamu bakal mengizinkan semudah itu, Anggun,” sambut Levi takjub ketika gadis itu hadir di saat terakhir sebelum pesawat yang akan membawa mereka ke pangkalan komando militer di Pontianak, Kalimantan Barat, berangkat. Octagon meminjam pakai sebagian fasilitas di sana sebagai markas sementara, juga di wilayah-wilayah lain tempat misi mereka dilaksanakan.
“Keputusan ini sudah ditetapkan, bukan? Orang tuaku tidak punya pilihan,” sahut Anggun pasrah. Masih terbayang di benaknya bagaimana reaksi sang ayah ketika Pak Mandala sendiri yang menyampaikan maksud Octagon untuk mempersuntingnya sebagai kadet Alfa One di masa depan. Di hari keberangkatan ini, Pak Mandala sendiri yang menjemputnya ke rumah untuk mengantar ke bandara, berjaga-jaga andai orang tuanya berniat menyembunyikan atau menghilangkan jejaknya. Tatap pilu sang ayah saat itu bagai mengantar dirinya ke tempat pemakaman saja.
Mereka menumpang pesawat pengangkut berukuran ramping dengan sayap panjang penuh panel surya, serta tambahan sepasang sirkuit lagi di bagian ekornya. Ini adalah pesawat masa depan dengan energi tanpa batas yang sanggup lepas landas untuk waktu lama. Mendarat hanya untuk keperluan membongkar muatan persediaan di pesawat atau menurunkan penumpang.
“Anggun, kau takut?” Levi iseng bertanya karena dirinya diam saja sepanjang perjalanan. Gadis itu lantas menggeleng. Alih-alih takut, ia lebih merasakan sedih karena harus berpisah dari kehidupan dan sahabat-sahabatnya yang normal. Meskipun dipikir-pikir, terjebak dalam perjalanan ini tidak buruk juga. Ia bisa bernapas sesaat, terbebas dari rongrongan Archie. Saat ini, mereka berdua memang sedang butuh jarak yang jauh seperti dari bumi ke bulan. Ah, mungkin lebih jauh lagi. Setahun cahaya menyeberangi galaksi, tempat di mana dunia mereka tidak akan bertemu dalam waktu yang sangat lama.
“Sepertinya, banyak sekali yang kaupikirkan. Baiklah, aku tidak akan mengganggu,” kata Levi membiarkan Anggun bergelut sendiri dengan lamunannya. Cowok itu kemudian memilih untuk menyandarkan punggung dan bersedekap, lantas mendengkur damai di sisinya. Anggun tercengang. Tak heran jika Levi selalu kelihatan bahagia. Cowok ini santai sekali. Bibirnya pun tergelitik untuk mengulum senyum. Ah, dasar …. Mungkin, Levi akan menjadi teman yang menyenangkan selama sisa perjalanan nanti, hanya saja kalau cowok itu tidak mulai melancarkan aksi konyolnya yang kadang menjengkelkan.
Setelah melalui beberapa jam terbang di udara yang begitu tenang tanpa disertai bunyi berisik mesin, suara interkom dari dalam kabin membangunkan mereka berdua.--tahu-tahu, Anggun sempat tertidur. Rasa lelah berumpuk penyebabnya. Setelah sel-sel otak dan tubuh mereka beregenerasi dalam fase tidur yang cukup singkat, seluruh beban itu seakan terangkat.
“Bagaimana penerbangan kalian?” sambut Letnan Supit, seorang perwira yang bertugas menjadi pendamping mereka dalam beberapa hari ke depan.
“Sungguh bersih,” puji Anggun. Levi mengernyit, tak memahami apa maksudnya. Letnan Supit hanya tersenyum kecil memperlihatkan lesung pipit di salah satu pipinya yang sedikit ditumbuhi cambang.
“Kau pasti Nona Bumi.” Komentar pria itu membuat Anggun memerah. Tampaknya, informasi pribadi mereka telah bocor ke telinga pria itu. “Saya pastikan kau akan menyukai perjalanan tugas kita kali ini, Miss Arunika.” Ia berkedip penuh arti. Pria yang ramah dan menyenangkan.
“Kau tak punya orientasi pada pria yang jauh lebih tua, ‘kan?” Anggun mengerling karena Levi tiba-tiba berbisik. Cowok ini mulai lagi.
“Aku tidak punya orientasi pada siapa pun, Levi!” tegas Anggun. Levi hanya meringis mendengar. Letnan Supit memang menarik secara fisik dengan wajah keturunan bangsawan dari Tanah Madura, juga kulit bersih khas Asia-mungkin Levi pantas merasa khawatir, apalagi dengan kepribadian pria itu yang terkesan mudah membaur. Letnan Supit seolah mampu menggali informasi mengenai seseorang hanya dari memandang wajah mereka. Tak heran jika Alfa One kemudian merekrutnya sebagai ahli di Departemen Sumber Daya Manusia.
Bakat Levi pun tak luput dari pengamatan cermatnya. “Kau seorang British.” Matanya menilai cepat. “Punya pengalaman memanjat? Inggris terkenal dengan atlet dan teknik memanjatnya.”
Levi semringah. “Beberapa tebing kecil, panjat bebas. Tapi, bukan di England.”
Pria itu pun berdecak maklum. Tentu saja tebing-tebing granit di Kalimantan Timur. “Saya tidak sabar melihat kemampuanmu. Apakah saya bisa menunjukmu untuk mengajari seorang pemula? Bantu dia belajar menggunakan peralatan dan teknik memanjat dasar. Saya akan mengevaluasi kalian.” Letnan Supit memberi isyarat ke arah Anggun, tetapi Levi langsung terlihat ragu karenanya.
“Satu pelajaran untukmu, Bocah Besar. Jangan pernah menilai rendah rekanmu. Kalian adalah kandidat Alfa One yang dituntut untuk menguasai banyak kemampuan, termasuk rappeling-climbing di alam bebas. Kau tidak bisa melindunginya selamanya.”
Levi tertegun. Nasihat itu mencengkeram hatinya.
“Tidak ada waktu bersantai, Anak Muda. Mulailah berlatih sebelum keberangkatan kita ke Bukit Kelam besok!” Letnan Supit memberi perintah untuk segera memulai.
Anggun dan Levi pun bergegas mengikuti langkah-langkah besar pria itu. Mereka menuju suatu area yang terletak di luar hanggar pesawat. Berjajar beberapa bidang panjat buatan, tegak menjulang dengan beragam bentuk serta permukaan. Di sana juga telah disediakan berbagai macam peralatan yang bebas digunakan. Tepat sesuai yang dibutuhkan.