“Hei! Hei! Nea, bangun. Nea, Nea sadar. Bangun,” terdengar suara lirih mengguncang-guncang pundakku. Suaranya tak hanya satu, beberapa orang. Mereka menepuk-nepuk pipi kiri dan kananku.
Kubuka mata perlahan, tampak Emma, Lia, Meisya dan Serly menatap cemas. Kuedarkan pandangan ke jendela kamar dengan tirai yang terbuka, ternyata sudah pagi. Huf!
“Nea, apa kau tidak apa-apa?” tanya Emma khawatir, dahinya mengerut.
“Pasti dia mimpi buruk,” sahut Meisya dan Lia bersamaan. Tebakan mereka 100% tepat. Kupikir mereka berdua ada bakat terpendam untuk jadi ahli nujum.
Lia membantuku duduk berbaring membetulkan bantal untukku bersandar sembari menoleh ketiganya sambil berkata, “Sudah, sudah. Kalian mandi sana. Gantian, nanti keburu siang.” Berdiri cepat, mengambil segelas air minum, menyodorkannya padaku.
Emma masuk ke dalam kamar mandi lebih dulu, sedangkan Meisya dan Serly berlomba mengambil ponsel dan memainkannya.
“Apa sudah baikan?” tanya Lia, cewek berambut sebahu ini memang gadis yang paling perhatian di antara ketiga teman sekamarku.
“Sudah, terima kasih.”
“Selesai Emma, mandilah. Biar segar. Badanmu keringatan.”
Meisya dan Serly spontan melirikku, ekspresi mereka tidak terima aku menyerobot giliran. Aku tersenyum angkuh pada mereka berdua lalu beralih tersenyum manis pada Lia sambil berkata, “Okey, terima kasih Lia. Baik deh!”
Aku sengaja melenggang melewati mereka berdua, setelah mendapati Emma keluar dari balik pintu kamar mandi. Ho-ho-ho pastinya mereka berdua 'dongkol' sangat.
Panasnya .... Matahari seakan berada tepat di atas kepala, kuseka peluh yang menetes garis dagu. Menenggak separuh isi botol air minum, megap-megap persis cacing kepanasan.
Cuaca pagi di Bali hari ini sungguh terik menyiksa, aku berdiri di hamparan tebing menjulang tinggi yang menutup sebagian pemandangan laut lepas di belakangnya. Suara deburan ombak mendayu-dayu menenangkan jiwa. Beberapa teman sekelasku sibuk ber-wefie, selfie, groufie, apalah itu yang berbau swafoto bahkan ada salah satu teman yang berani berdiri dengan satu kaki di atas tebing.
Jangan pernah lakukan itu teman, sayangi nyawamu karena tidak bisa dibeli bahkan digantikan.
Selepas dari "Tanah Lot" bus kami berhenti di "Gedung Ksirarnawa", kawasan Art Center Bali, Denpasar, Bali. Sebagian kursi hampir penuh dengan penonton, bahkan ada yang segelintir murid yang duduk lesehan karena tak kebagian tempat duduk.
Beberapa menit kemudian pertunjukan dimulai menghibur para penonton yang menyaksikan. Pandanganku tak terlepas sedetik pun dari jalannya pertunjukan. Takjup akan kesenian negeri yang luar biasa memukau, ‘Tari Legong Lasem’. Mulai dari kostum, aksesoris rangkaian gerakan-gerakan abstrak yang luwes penuh ekspresi dan penghayatan pada alur cerita diiringi 'instrumen gamelan' Bali, gangsa, jublag, jegogan, kempur, kemong, dan lain-lainnya. Menampilkan keagungan, keelokan yang sarat akan budaya Bali.
Kulirik tipis jam tanganku, hampir 45 menit berjalannya pertunjukan. Aku duduk di kursi barisan kedua paling atas, mengerjap-ngerjap pelan.
DEG!
Tersentak kaget saat mendapati teman sebelah kursi tiba-tiba menghilang bergantian satu per satu. Hei! Kemana mereka?
Toleh kanan kiri, hal sama terjadi sampai akhirnya mereka yang ada di dalam gedung teater―lenyap ‘semua menghilang’. Tinggal tersisa …. Aku! Sendirian!
Aku mengerjap bingung. Ada apa ini?