Kanopi hutan menutup rapat tanpa celah. Semak bebatuan, berlumut hijau basah tumbuh di antara akar pepohonan yang mencuat keluar dari persemayaman. Ranting dahan Para menjalar mencakar langit kelam legam mendung berarak. Selenting jeritan binatang hutan sayup – sayup terdengar menggugah gendang telinga.
Tengkukku meremang, bulu kuduk berdiri. Sendiri ....
Hanya sendiri, berdiri terpaku di tengah – tengah lingkaran alam liar, tersesat. Kutelan saliva pelan, serasa tercekat. Di mana aku?
Kuedarkan pandangan ke sekitar. Tidak ada siapa – siapa?Â
Cuma aku.
Sesuatu tak kasat mata, tiba – tiba menabrak keras tulang punggung belakang hingga membuatku tersungkur di tanah. Sontak menoleh, mencari tahu. Sepi! Tidak ada siapa pun.Â
Ack! Kaki kananku terkilir, segaris sobekan di atas mata kaki membuat darah segar merembes perlahan. Lengan kananku pun tak pelak dari luka gores. Perih ....
Kukerahkan segenap tenaga, bertumpu pada kaki kiri yang baik – baik saja. Menggeleng pelan. Apa yang baru saja terjadi? batinku bermonolog heran.Â
Aku tak mengerti, seperti ada yang menyeruduk. Tapi, tidak ada siapa – siapa di sini. Lidahku kelu, sebuah kata hampir terlontar tapi kuurungkan.
Apa yang harus kulakukan sekarang? Apa aku harus lari?
Ataukah ….
DEG!Â
Rintih lirih terdengar dari kejauhan, bulu kudukku meremang seketika itu juga, tersedu – sedu menyayat hati—terdengar mirip orkestra pemakaman siang bolong. Kulayangkan pandangan ke belakang.
Bola mata. Tanpa kelopak, bola mata hitam pekat sebesar jeruk itu menatapku nanar. Air liurnya berbau busuk, menusuk hidung, napasnya memburu berembus menggelitik kulit wajahku.
Yah, dia berada di depan ujung hidungku sekarang. Sepotong kepala berambut hitam panjang menjuntai. Mendelik lebar. Mulut menganga.   Â
Aku berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar sedikit pun dari tenggorokan ini. Aneh!
Berlari, berlari sebisa kakiku berlari kencang. Menjauh dari kejaran makhluk aneh mengerikan itu. Kucoba menoleh ke belakang, sepotong kepala dengan lidah bersimbah darah menjulur menggapai – gapai, seram.
Dekat …, semakin dekat, hanya jarak beberapa langkah dariku. Kutambah speed berlariku, ketakutan. Aku tidak mau tertangkap.
Terbirit – birit. Kepalaku mendongak ke belakang, ujung lidahnya hampir menyentuh kulit tubuhku, sampai di mana aku tersandung …, tersungkur.Â
Kayu!
Aku mendongak menengadah ke atas dalam posisi telungkup. Langit biru! Matahari seakan berada di atas kepala, bersinar terik membakar kulit. Suara cuitan beberapa ekor burung camar terdengar jelas di telinga, terbang rendah. Menghela napas sejenak. Kuubah posisi dalam duduk bersila. Aku. Kenapa aku di sini?Â