Attar

Nadia Fitri Muliawan
Chapter #2

2. Awal Mula

Nomor telepon Fatah sudah tersimpan rapi di ponselku. Aku mengambilnya dari grup angkatan. Kebetulan juga, ia menyertakan nickname dengan nama kepanjangannya di sana. Untuk itu, aku tidak perlu repot-repot mengecek satu per satu foto profil mereka ataupun bertanya pada setiap pemiliknya.

Sekarang, yang menjadi permasalahanku adalah aku merasa tidak punya nyali untuk menghubunginya. Arumi benar juga ternyata, rasanya sulit jika Fatah tidak mengenalku sama sekali. Mau menyapa seperti apa dan membahas apa pun aku tidak tau caranya. Belum lagi jika Fatah tidak berniat menggubris. Dan terlebih jika ia enggan untuk membaca pesan basa-basiku. Ah, sulit sekali. Padahal aku melakukannya untuk orang lain, bagaimana lagi jadinya jika ini urusanku sendiri?

Aku teringat sesuatu. Dari banyaknya informasi yang aku dapat, dia satu divisi denganku. Divisi pendidikan. Mengapa tidak membahas itu saja? Aku sontak menepuk jidat. Oke, tarik napas, mulai.

Aku

Assalamualaikum. Fatah ya? Dari Divisi Pendidikan, kan?

Ya Allah, konyol sekali. Dan sekarang rasanya deg-degan bukan main. Sangat lucu dan membuatku sontak loncat-loncat sendiri. Buru-buru aku jauhkan ponsel tersebut dari pandanganku. Aku tidak ingin melihatnya. Lebih baik aku bergegas makan terlebih dahulu, kemudian salat Zuhur.

Usai makan dan salat, aku kembali meraih ponselku. Tertera tiga notifikasi baru di sana. Aku meneliti, ada nama Fatah terletak paling atas. Huaaa!

Fatah

Waalaikumsalam. Iya, kamu siapa?

Padahal hanya itu, tapi keadaan jantungku lagi-lagi tidak stabil. Fokus, Sha, perintahku dalam hati.

Aku

Aku Arisha. Divisi pendidikan juga di Komplek santriwati.

Fatah

Oh, oke. Dapat kontakku dari mana?

Aku

Dari grup angkatan.

Fatah

Untuk keperluan apa?

Detail sekali. Aku agak kikuk rasanya berkomunikasi dengan orang-orang sejenis Fatah ini.

Aku

Kebetulan aku memang ingin menyimpan semua kontak angkatan kita. Baik putra ataupun putri.

Fatah

Baiklah. Aku simpan kontakmu juga kalau begitu.

Aku

Ha? Kamu mau?

Fatah

Kenapa tidak? Oh, atau kamu tidak mengizinkannya, ya?

Aku

Bukan begitu maksudku. Dari yang aku dengar, kamu hanya ingin terlibat dengan orang-orang yang kamu kenal saja.

Fatah

Tau dari siapa?

Aku

Berita angin, dengar-dengar.

Fatah

Jangan kebanyakan dengar-dengar. Enggak baik.

Aku

Jadi, sekarang kamu simpan kontakku?

Fatah

Kamu masih ingin melarang?

Aku

Tidak. Dengan senang hati.

Aku berpikir sejenak, semudah ini? Kalau begitu kenapa tidak langsung saja tadi. Atau jangan-jangan Fatah memang gampang terbuka? Atau mungkin dia akan bersikap lain jika sedang tidak di pesantren? Ah, tidak tidak. Mungkin ini adalah salah satu bentuk keramahan Fatah untuk menghormati lawan bicaranya. Secara aku juga sempat terang-terangan menanyakan siapa dirinya dan posisinya di pesantren. Dan aku juga satu angkatan dengannya, satu divisi pula. Apa masalahnya? Menurutku.

Melihat Fatah yang mulai terbuka, aku jadi ingin langsung to the point saja. Terlalu berlama-lama juga akan membuatku semakin bingung dan terus berkomunikasi panjang dengannya. Aku tidak ingin.

Aku

Boleh aku bicara sesuatu?

Fatah

Tentu. Tentang?

Aku

Temanku.

Fatah

Lihat selengkapnya