Hampir tiga tahun berada di pesantren telah mengubah banyak hal dalam hidupku. Ada banyak hal di dalamnya yang tidak pernah kutemukan di luar. Apa yang orang bilang ada benarnya, hidupmu belum keren kalau belum masuk pesantren. Dan aku benar-benar membuktikannya sekarang.
Oh iya, tentunya sedari tadi sebagian dari kalian sedikit bertanya-tanya, “anak pesantren kok malah pengen deketin lawan jenisnya?” kurang lebih begitu. Oke, mari kujelaskan.
Semenjak masuk pesantren, aku sering sekali merasa grogi jika berinteraksi dengan lawan jenis secara langsung. Menurutku, itu adalah efek dari lingkungan pesantren yang sangat jarang menggabungkan antara laki-laki dan perempuan. Aku jadi merasa tidak terbiasa lagi untuk bercengkerama dengan mereka.
Namun, soal berteman, aku merasa terbuka dengan siapa saja. Selama tidak pernah melibatkan perasaan, aku welcome. Kalau saja iya, akan beda lagi ceritanya. Dan dalam hal ini tentunya aku juga akan meneliti dan memastikan mereka satu per satu. Kalau sudah aneh-aneh, aku akan memberi jarak.
“Ada yang ingin sampaikan tentangnya,” kataku lagi-lagi memberanikan diri. Aku mencoba rileks. Jangan sampai kata-kata yang sedari tadi terekam di kepalaku malah buyar.
“Silakan, Arisha. Aku siap mendengar.”
“Saat kamu berbicara dengannya hari itu, ada banyak hal yang berubah ke depannya. Terlebih saat itu beberapa temanku menyaksikan langsung. Kamu tentu tau kan bagaimana santri? Ada yang beda sedikit, langsung jadi gosip. Apalagi hal-hal yang seperti itu, cepat sekali menyebarnya.”
“Iya. Jadi santri itu lucu, ya? Apa-apa menyebar. Padahal kalau di luar mah, hal yang seperti itu terlihat biasa. Apalagi hanya berbicara sepatah dua kata begitu, orang lain merasa tidak ada urusannya dengan mereka.” Di sela kalimatnya, Fatah sempat menyelipkan tawa. Dan entah kenapa, rasanya adem sekali.
“Nah, iya. Selanjutnya, mulai ada banyak yang meledeknya. Bukan meledek sih, apa ya istilahnya? Intinya mulai ada banyak yang 'mencie-ciekan' Arumi denganmu. Dan kamu tau apa efek dari 'mencie-ciekan’ orang lain?”
“Seseorang yang awalnya biasa saja, malah jadi suka. Benar begitu, kan?” tebaknya tepat sasaran.
“Dan ada juga yang sudah suka, malah semakin suka,” tambahku.
“Hmm,” sahut Fatah yang dalam bayanganku sedang menganggukkan kepalanya. “Lalu? Apakah Arumi ada di salah satu poin tersebut?”
“Menurutmu bagaimana?” Aku ingin Fatah menebaknya lebih dulu.
“Aku hanya tidak ingin percaya diri.”
“Bisa jadi pada poin pertama, bisa jadi juga pada poin kedua. Intinya, efek dari ledekan teman-teman tadinya sangat berpengaruh.”
Kemudian, terjadi hening sekitar 30 detik.
“Arisha...,” panggilnya begitu lembut.
“Iya, Fatah....”
“Sampaikan padanya, aku tidak tau harus merespon yang bagaimana untuk saat ini. Soal perasaan, hal tersebut adalah urusan yang tidak bisa aku bawa ke mana-mana sekarang. Pacaran? Tentu saja aku tidak mau. Aku sudah punya target nikah di usia 25 sampai 26 tahun. Aku ingin sukses lebih dulu. Apakah dia bisa menunggu selama itu? Jika iya, aku akan mendatanginya.”
“Walaupun saat ini kamu belum mengenalnya sama sekali?” tanyaku kemudian.
“Tentu. Untuk urusan yang seperti ini, aku memang tidak ingin mengenal pasanganku lebih dulu. Sewajarnya saja jika sebelum menikah. Dan itu pun saat proses khitbah saja, didampingi orang tua.”
Aku diam seribu bahasa. Fatah benar-benar sangat mengharukan. Aku bahkan lupa sudah beberapa kali memuji sejak aku mengenal dirinya.
“Baiklah, aku tidak menyangka jawabanmu akan sejauh itu. Aku akan sampaikan ini pada Arumi nantinya.”
“Sampaikan dengan sebaik-baiknya ya, Arisha. Jangan sampai Arumi merasa rendah.”
“Pasti, Fatah. Ya sudah, aku tutup ya.”
“Iya,” lirihnya pelan.
“Assalam....”
“Sebentar, Arisha....”
“Ada apa?” ujarku heran.