Menjelang lima hari kembali ke pesantren, pertemananku dengan Fatah kian akrab. Aku sering bertukar banyak hal dengannya. Dimulai dari hal-hal lucu di komplek santriwan dan santriwati, menerangkan kebiasaan sehari-hari, hobi, cita-cita, keluarga dan lain sebagainya. Aku merasa klik saja ketika berbagi padanya. Dan juga, banyak hal yang ternyata menjadi kesamaan antara aku dan Fatah.
“Kenapa bisa terpilih di Divisi Pendidikan?” tanya Fatah kala itu.
“Enggak tau. Tapi katanya, karena sering datang paling awal ke sekolah. Padahal seringnya karena sekalian pengen sarapan di kantin. Kebetulan kantinnya kan dekat banget sama kelasku.”
“Oh, gitu.”
“Kalau kamu, kenapa terpilih di bagian itu juga?” kataku kembali bertanya.
“Sama sekali enggak tau, Sha. Dari kebiasaan atau gerak-gerikku enggak ada yang selaras dengan divisi itu deh kayaknya. Eh, tiba-tiba malah terpilih.”
“Sebenarnya kamu pengen jadi divisi apa waktu itu?”
“Divisi Bahasa.”
“Loh, kok sama?” ucapku sedikit tergelak. Sama-sama ingin menjadi Divisi Bahasa, dan sekarang sama-sama ditempatkan di Divisi Pendidikan pula.
“Serius, Sha? Kalau gitu, kamu lebih dominan yang mana? Bahasa Inggris atau Bahasa Arab?”
“Oh kalau itu Bahasa Inggris dong,” pungkasku tanpa harus mikir panjang.
“Masya Allah. Sama banget, Sha. Aku juga lebih suka Bahasa Inggris,” jelasnya. Tuh kan, kenapa jadi sama-sama suka Bahasa Inggris?
Selama liburan, aku juga mendapat banyak pelajaran dari Fatah. Awalnya ia kuanggap teman, dan sekarang Fatah sudah kuanggap sebagai guru. Darinya, aku belajar banyak hal-hal kecil yang selama ini tidak pernah kuperhatikan.
Pernah sesekali ketika aku bertukar cerita dengan Fatah, aku menyebutkan nama seseorang yang berkaitan dengan cerita tersebut. Dan setiap aku begitu, Fatah selalu mengingatkanku.
“Jangan pernah membicarakan orang lain, Arisha. Mana tau ketika kamu sedang membicarakan tentangnya, pada saat yang bersamaan orang tersebut sedang mencoba untuk berubah menjadi lebih baik. Selain membuka aibnya, kita juga tidak menghargai prosesnya, bukan?”
Begitulah nasihat dari Fatah yang dalam sekejap langsung mengubah pola pikirku. Soal membicarakan orang lain, sebenarnya aku hanya akan bercerita jika seseorang tersebut ada sangkut pautnya dengan masalahku. Tidak asal ceplos dan menjadikan hal tersebut sebagai hiburan tersendiri. Namun, Fatah benar-benar membuatku merasa harus lebih membatasi lagi, bahkan jika itu adalah masalahku.
Setelah tiga tahun lamanya berteman dengan banyak tipikal orang di pesantren, Fatah lah yang kuanggap paling bisa diandalkan. Aku sedang tidak melebih-lebihkan tentangnya. Aku benar-benar merasa sangat beruntung bisa berkenalan dengannya di penghujung masa SMA ku ini.
Jika orang lain hanya bisa menjadi pendengar,